NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 25

Zia berdiri di halte sambil memegang ujung tali tasnya erat-erat. Angin sore berhembus pelan, membuat rambutnya sedikit berantakan. Dari tadi matanya tak lepas dari jalan raya, berharap ada kendaraan umum yang lewat. Tapi sudah hampir sepuluh menit, tak ada satu pun yang muncul.

“Aduhh… kalau aku pulang sore lagi nanti Kak Azka marah,” gumamnya pelan, sedikit gelisah. Ia menggoyangkan kakinya, mencoba mengalihkan rasa resah, tapi bayangan wajah kakaknya yang dingin dan marah langsung terlintas di pikirannya.

Tiba-tiba, sebuah mobil putih berhenti tepat di depannya. Jendela bagian pengemudi perlahan terbuka, menampakkan wajah Raka yang tersenyum ramah.

“Halo, Pak,” sapa Zia sambil menunduk sopan.

“Bilangnya ‘Kak’ aja. Sekarang kita nggak di area sekolah,” ucap Raka santai, tapi tetap menjaga nada bicara yang lembut.

“Okk, Kak,” jawab Zia singkat.

“Kamu mau saya antar pulang?” tanya Raka dengan nada formal, seolah ingin memastikan tawarannya terdengar wajar.

Zia menggeleng pelan. “Nggak perlu, Kak. Zia nunggu kendaraan lewat aja.” Suaranya sopan, tapi matanya menatap ke arah jalan, pura-pura sibuk mencari kendaraan yang sebenarnya tak kunjung muncul.

“Gak apa-apa, Zia. Kalau kamu nunggu di sini, nanti pulangnya bisa kemaleman,” bujuk Raka sambil sedikit mencondongkan tubuh ke arah jendela.

Zia terdiam. Dalam hatinya, ia bimbang. Di satu sisi, ia ingin menerima tawaran itu karena tahu perjalanan dari sini kemansion cukup jauh. Tapi di sisi lain… ia tahu bagaimana reaksi Kak Azka kalau sampai tahu ia pulang bersama seorang laki-laki, apalagi guru baru di sekolah.

“Euumm… gimana ya…” gumam Zia pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara motor yang mendekat cepat. “Ziaaa!” teriak seseorang dari jauh. Zia menoleh dan melihat Aksa, duduk di atas motor sport berwarna hitam. Tatapan Aksa langsung mengarah pada mobil Raka, tajam dan penuh kewaspadaan.

Motor itu berhenti mendadak tepat di belakang mobil Raka. Aksa turun tanpa basa-basi, langkahnya cepat dan mantap mendekati Zia. Begitu sampai, ia langsung berdiri di sisi Zia, menatap Raka sekilas sebelum mengucapkan dengan nada tegas, “Dia pulang sama saya, Pak.”

Ucapan itu diiringi tangan Aksa yang langsung meraih tangan Zia dan menggenggamnya cukup kuat. Terlalu kuat, sampai Zia sedikit meringis kesakitan.

“Aksa…” bisik Zia, mencoba menarik tangannya, tapi genggaman itu tak longgar.

“Iya, Pak. Saya pulang sama Aksa aja,” ucap Zia cepat-cepat, berusaha menyamarkan rasa canggungnya.

Raka hanya tersenyum tipis. “Oh, baiklah. Kalau begitu, hati-hati di jalan.” Ia kemudian menutup kaca mobilnya dan melajukan mobilnya pergi, meninggalkan mereka.

Aksa menuntunnya ke motor tanpa banyak bicara. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan jelas bahwa ia tidak suka dengan apa yang baru saja terjadi. Zia hanya bisa diam, menatap tanah, mencoba mengatur napasnya. Ia tahu, setelah ini, Aksa pasti akan bertanya banyak hal. Dan itu… membuat jantungnya berdebar tak karuan.

★ ★

Motor sport Aksa melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Angin sore yang mulai dingin berdesir kencang, membuat rambut Zia berantakan. Kedua tangannya berusaha bertahan, memegang ujung jaket kulit Aksa erat-erat.

“Sa… bisa gak sih pelan-pelan?” teriak Zia dari belakang, suaranya hampir tertelan oleh suara deru mesin motor.

“Gak bisa, ini udah mendung. Pasti bentar lagi hujan,” jawab Aksa tanpa menoleh. Nada suaranya tegas, seolah keputusan itu tidak bisa diganggu gugat.

Zia hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu kalau Aksa memang tipe yang jarang mendengarkan orang lain saat sudah memutuskan sesuatu. Benar saja, tak sampai lima menit kemudian, langit yang gelap mulai menumpahkan air hujan. Butir-butirnya besar, jatuh cepat dan dingin, membasahi seragam sekolah mereka.

Aksa akhirnya memperlambat laju motor. “Kita cari tempat berteduh,” katanya singkat. Ia memutar setang ke arah sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung itu tampak sudah tutup, tapi ada atap seng yang cukup lebar untuk menampung mereka berdua.

Motor berhenti. Zia buru-buru turun sambil mengibas-ngibaskan rok seragamnya yang basah. “Ssshh…” gumamnya sambil merapatkan kedua tangan ke tubuh, berusaha menahan dingin.

Aksa menoleh. “Lo kedinginan?” tanyanya.

Zia menatapnya sinis. “Pake nanya lagi?”

Tanpa banyak bicara, Aksa melepas jaket kulit yang tadi Zia pegang di perjalanan. “Nih, pake. Biar gak sakit nanti.”

Zia sempat ragu, tapi akhirnya mengambil jaket itu dan memakainya. “Makasih…” ucapnya lirih.

“Kita tunggu sampai hujannya reda,” ujar Aksa sambil duduk di kursi kayu tua yang ada di depan warung.

“Iya,” jawab Zia, lalu ikut duduk. Suara hujan di atap seng terdengar nyaring, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas.

Sementara itu, di mansion keluarga mereka, suasana jauh berbeda. Di ruang kerja yang luas dan rapi, Azka berdiri memandangi jendela besar yang dipenuhi tetesan air hujan. Tangannya memegang cangkir kopi yang dari tadi tak disentuh. Pandangannya kosong, pikirannya tidak tenang.

Di meja kerjanya, layar ponsel menyala. Pesan yang tadi ia kirim ke Aksa masih centang dua, tapi belum dibalas. Azka mengetik pesan baru: Udah pulang? … lalu dihapus lagi sebelum mengirim.

Ia bersandar di kursinya. “Kenapa mereka belum pulang juga?” gumamnya pelan, tapi nada suaranya mengandung rasa kesal bercampur cemas.

Azka menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia tahu sore tadi Zia masih di sekolah, dan biasanya Aksa dan Zia akan pulang bersama, Tapi entah kenapa, bayangan Zia bersama orang lain—terutama laki-laki—membuat dadanya terasa sesak.

Kilatan kilat menyambar di luar, membuat ruangan sejenak terang. Azka membuka mata, lalu berjalan ke lemari kaca di sudut ruangan. Tangannya meraih sebotol air mineral, mencoba mengalihkan pikiran. Namun justru yang muncul di kepalanya adalah kemungkinan terburuk.

---

Kembali ke warung pinggir jalan, Zia masih duduk sambil memeluk tubuh. Jaket Aksa memang membantu, tapi dinginnya hujan tetap menusuk tulang. Ia melirik ke arah Aksa yang sedang sibuk memeriksa ponselnya.

“kamu ngecek HP mulu, lagi chat sama siapa?” tanya Zia.

“Bukan urusan lo,” jawab Aksa santai, tapi wajahnya tampak serius. Ia sebenarnya sedang membaca pesan dari Azka, tapi memilih untuk tidak membalas dulu.

Zia memutar bola matanya. “Halah, pasti sama gebetan kamu ya?” godanya.

Aksa menoleh sekilas. “Lo banyak bicara deh Zi.”

Zia terkekeh pelan, tapi tatapannya segera kembali ke hujan yang mulai sedikit mereda. Dalam hati, ia merasa agak bersalah karena tadi menolak tawaran Raka lalu malah ikut Aksa. Apalagi, ia tahu Azka pasti marah kalau tahu ia pulang telat begini.

Aksa tiba-tiba berdiri. “Udah agak reda, kita jalan lagi.”

Zia mengangguk. Mereka kembali menaiki motor, dan kali ini Aksa melaju dengan kecepatan lebih wajar. Sepanjang perjalanan, Zia hanya diam. Hatinya mulai tak tenang membayangkan ekspresi Azka saat ia pulang nanti.

Di mansion, Azka masih di ruang kerjanya, menunggu suara pintu depan terbuka. Ia sudah menyiapkan banyak pertanyaan di kepalanya—dan beberapa di antaranya, ia tahu, akan membuat Zia tidak nyaman. Tapi ia tidak peduli.

Bagi Azka, yang terpenting adalah memastikan Zia tidak lagi mengulangi kesalahan yang bisa membuatnya marah seperti sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!