Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25 Determine Nathanael
Nathanael dan Vivian duduk berhadapan di sofa kecil. Suasana canggung tergantung tebal. Sarapan mewah yang dibawa Nathanael masih tertutup rapat di atas meja kopi.
“Maaf, Pak... rumahnya kecil dan... berantakan,” ucap Vivian, matanya menunduk memperhatikan pola di lantai.
Nathanael menggeleng, senyum kecilnya tidak sampai ke mata. “Ah, tidak. Ini nyaman.”
Vivian menarik napas. “Terima kasih sudah datang... jadi merepotkan Anda...”
“Vi,” Nathanael memotong, dahinya berkerut. “Gak perlu se formal ini. Aku cuma khawatir karena kamu tiba-tiba keluar rumah sakit saat belum sembuh benar.”
“Maaf,” jawab Vivian cepat, jari-jarinya meremas-remas ujung jaket yang gak sadar dari tadi dia peluk.
“Tidak, Vi,” Nathanael menghela napas. “Aku tidak berusaha menyalahkanmu. Hanya...khawatir...”
Tiba-tiba, matanya tertuju pada jaket besar yang masih dipeluk erat Vivian. Itu jelas bukan jaket wanita.
Nathanael membeku. Tenggorokannya terasa mengering, dada sesak.
Nathanael tahu jaket siapa itu.
“A... apa dia yang mengantarmu pulang... dari rumah sakit?” tanyanya, suara serak penuh upaya untuk tetap tenang.
Mini-Vivi langsung muncul di balik punggung Vivian, wajah panik dan tangan melambai-lambai. “JANGAN JAWAB! JANGAN BILANG KALAU ZEKE YANG NGANTAR! BILANG AJA TAKSI! ATAU MIA! ATAU... ATAU PAK SATPAM!”
Vivian menggigit bibirnya, jaket Zeke terasa semakin berat di pelukannya. Dia tidak bisa berbohong.
“Iya,” jawabnya akhirnya, suara kecil seperti nyaris tidak terdengar. “Zeke yang antar aku pulang.”
Udara di ruangan itu seketika menjadi beku.
Nathanael duduk kaku, wajahnya pucat tapi matanya masih berusaha menjaga kehangatan.
“Vi...” suaranya serak, dihantam rasa sakit tapi berusaha tetap tenang. “Aku... gak akan memaksa mu menerima perasaan ku...”
Vivian hanya bisa menunduk lebih dalam, air mata akhirnya menetes menghantam jaket Zeke yang masih dipeluknya. Dia menyesal. Dalam. Seharusnya dia berbohong.
Tapi... Nathanael menarik napas dalam, suaranya bergetar tapi penuh tekad.
“Aku ingin kamu tidak menolak ku...”
“Aku juga ingin membuktikan kalau aku bisa... kalau aku lebih baik darinya...”
Kata-kata itu menggantung di antara mereka, penuh dengan kerentanan yang tidak pernah ditunjukkan Nathanael sebelumnya. Ini bukan lagi bos yang dingin, tapi seorang pria yang sedang berjuang untuk hatinya.
Mini-Vivi muncul di bahu Vivian, tapi kali ini tanpa canda. Wajahnya sedih. “DIA... DIA LAGI BUKA JIWANYA NIH. KAYANYA KITA BARU SAJA MELUKAI ORANG YANG SALAH...GIMANA NIH,.."
Vivian tidak bisa bicara. Kepalanya kembali berdenyut sakit, tapi yang lebih sakit adalah rasa bersalah yang menghantamnya. Dia melihat Nathanael, pria yang biasanya begitu dingin sekarang terlihat rapuh di sofa kecilnya.
“Aku...” Vivian akhirnya berhasil berbisik, suara hancur. “Aku cuma... gak mau menyakiti siapapun...”
Tapi terlambat.
Dia sudah menyakiti salah satu dari mereka.
Dan mungkin, keduanya jika permainan perasaan ini gak berhenti.
Nathanael berdiri perlahan, wajahnya yang biasanya tegar kini tampak lelah dan penuh luka. Dia tidak marah, tidak membentak, hanya menerima kenyataan dengan diam yang lebih menyakitkan daripada amarah.
“Aku akan pergi... untuk sementara,” ucapnya, suara rendah dan datar, seolah setiap kata harus dikeluarkan dengan usaha keras.
Dia menatap Vivian yang masih terpaku di sofa, jaket Zeke masih terpeluk erat di tangannya.
“Jangan lupa sarapan, Vi,” bisiknya, matanya menyapu makanan yang masih tertutup di meja. “Jaga kesehatanmu...”
Itu saja. Tidak ada tuduhan, tidak ada tuntutan. Hanya kepedulian yang tersisa meski hancur di dalam.
Dia berbalik dan berjalan ke pintu, langkahnya berat tapi pasti. Tidak menoleh lagi.
Pintu tertutup perlahan.
Vivian terduduk diam, terdengar bunyi suara mobil Nathanael yang menyala dari luar, lalu suara mesin yang menjauh.
Dan di keheningan itu, Vivian akhirnya menangis.
Tangisnya pecah, menyapu semua penyesalan dan kebingungan.
Jaket Zeke basah oleh air matanya.
Mini-Vivi duduk di lantai, wajahnya sedih. “KITA BARU SAJA MELUKAI ORANG YANG SELAMA INI DIAM-DIAM MENYAYANGI KITA...”
Tangis Vivian masih belum reda ketika suara ketukan pintu kembali terdengar. Dengan wajah basah oleh air mata, dia membuka pintu dan menemukan Mia berdiri di sana dengan wajah penuh ke khawatiran.
“Vi! Aku dengar dari ”Nathanael kamu...” Mia terhenti, matanya langsung melebar melihat keadaan Vivian. “Oh, Vi...”
Tanpa banyak bicara, Mia langsung menarik Vivian ke dalam pelukan erat.
“Ada apa, sayang? Kenapa kamu nangis begini?” tanya Mia, suara lembut penuh khawatir sambil tangan nya menepuk-nepuk punggung Vivian dengan lembut.
Vivian tersedu-sedu di bahu Mia, tubuhnya gemetar. “Aku... aku sudah melukai Nathanael, Mi...”
Mia mendengarkan dengan saksama sambil terus memeluk Vivian yang semakin lemas.
“Dia bilang... dia tidak akan memaksaku... tapi dia ingin membuktikan kalau dia bisa lebih baik...” Vivian menarik napas tersendat. “Dan aku... aku hanya diam. Aku melihat dia pergi dengan wajah yang hancur...”
“Oh, Vi...” Mia menghela napas, pelukannya semakin erat. “Kamu tidak sengaja, kan? Kamu hanya jujur.”
“Tapi kenapa rasanya sakit sekali?” isak Vivian, suara nya parau. “Aku tidak ingin menyakiti siapapun...”
“Kadang, kejujuran itu memang menyakitkan,” bisik Mia, memberikan Vivian tisu. “Tapi lebih baik jujur daripada berbohong dan membuat luka yang lebih dalam.”
Mia memandang Vivian yang masih tersedu-sedu. “Nathanael mungkin sakit sekarang, tapi dia akan mengerti. Dia dewasa.”
“Aku merasa bersalah...”
“Itu karena kamu punya hati, Vi,” Mia tersenyum kecil. “Tapi sekarang, kamu harus tenang. Kamu masih sakit, ingat?”
Mia memegang bahu Vivian, matanya berbinar dengan energi positif.
“Udah cukup mikirin cowok-cowoknya, Vi!” serunya, menggoyang-goyang tubuh Vivian pelan. “Ini waktunya kita buat kabur sesaat!”
Vivian mengangkat wajahnya yang masih bermata merah dan bengkak, memandang Mia dengan bingung. “ Kabur? Tapi... tapi...”
“Gak ada ‘tapi-tapian’!” potong Mia, senyumnya lebar dan penuh semangat. “Kita pergi ke pantai! Aku udah cek, cuaca bagus buat minggu depan! Kita bakal nginep di hotel tepi pantai, berenang, makan seafood, lupa sejenak sama Nathanael dan Zeke!”
Dia berjongkok di depan Vivian, memegang tangan Vivian yang dingin. “Pikirin diri kamu sendiri, Vi. Kamu udah lama banget gak liburan. Terakhir kali liburan kapan?”
Vivian diam, teringat kalau terakhir kali liburan memang sudah sangat lama. Pikirannya masih ragu. “Tapi kerjaan...”
“Aku udah ngobrol sama Pak Nathanael...sebelum kejadian tadi...dan dia setuju kasih cuti buat kamu,” jelas Mia cepat. “Bahkan dia bilang kamu butuh liburan.”
“Dia bilang begitu?” Vivian terkejut.
“Iya!” Mia mengangguk antusias. “Jadi... kita berangkat 3 hari lagi! Aku jemput kamu pagi-pagi! Gimana?”
Mini-Vivi tiba-tiba muncul di pundak Vivian dengan kacamata hitam dan topi pantai. “YES! AKU UDAH BOSAN DENGAN DRAMA CINTA! AKU PENGEN COCKTAIL DAN SEAFOOD! LET’S GO!”
Vivian akhirnya tersenyum kecil, angin segar seolah masuk ke jiwanya yang penat. “Oke. Aku mau.”
“YES!” Mia melompat kegirangan dan memeluk Vivian erat. “Ini akan jadi liburan terbaik kita! Gak ada laptop, gak ada meeting, dan especially...gak ada cowok!”
________