“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Langganan
“Kamu!” Renaya menunjuk tajam ke arah Dodi, seorang polisi yang hampir saja menjebloskannya ke tahanan dengan tuduhan sebagai perempuan penghibur.
Dodi yang baru saja datang sontak melongo, matanya membelalak, seolah tak percaya dengan pemandangan di depannya. “Loh, Yudayana… ngapain kamu nongkrong sama perempuan ini?” tanyanya dengan nada heran, pikirannya langsung melayang ke stigma lama yang masih mengendap di benaknya.
Renaya menyipitkan mata, sebal mendengar nada merendahkan itu. “Oh, jadi ini temanmu, Yudayana?” suaranya menyiratkan nada sinis.
Belum sempat Yudayana menjawab, Dodi sudah lebih dulu menyelipkan komentar bernada menuding, “Astaghfirullah, Yudayana… jangan salah jalan. Kalau udah kena penyakit baru nyesel nanti.”
Kalimat seenaknya itu membuat emosi Renaya membuncah. Ia berdiri, menghentak meja dengan keras hingga perabotan bergoyang. “Maksudmu apa ngomong seperti itu?!” sentaknya geram.
Dodi pura-pura membuang muka, seakan tak sudi meladeni amarah Renaya. Yudayana yang menyadari situasi mulai memanas cepat mengambil alih, menarik kursi di sampingnya. “Duduk dulu, Dodi,” katanya, mencoba meredam tensi yang membara.
Dengan malas, Dodi akhirnya duduk. Namun tatapannya masih menyorot penuh curiga ke arah Renaya, seolah perempuan itu benar-benar tak pantas berada di dekat mereka.
“Langsung aja, Yudayana. Kamu nyuruh aku ke sini buat apa?” tanya Dodi dengan nada ketus, tak mampu menyembunyikan kejengkelannya.
“Kenalin dulu, Dodi… ini Renaya, kakaknya Sandrawi,” kata Yudayana sambil mengedikkan dagu ke arah Renaya.
Dodi sontak tertegun. Tatapannya membulat, bibirnya sempat terkatup kaku sebelum akhirnya tergerak menggumam, “Kakaknya nggak jauh beda, ya, sama adiknya…”
Renaya mengerutkan dahi. Ia tak paham maksud Dodi, namun jelas pria berseragam itu mengenal adiknya, Sandrawi.
“Jadi, Dodi… kamu udah dengar kan kabar Sandrawi? Dia meninggal… bunuh diri,” ungkap Yudayana, suaranya berat menahan rasa getir.
Dodi mendadak terbatuk kecil, hampir tersedak. Tangannya gemetar saat meraih gelas minuman Yudayana dan meneguknya cepat. “Apa… Sa-Sandrawi… meninggal?” Suaranya terdengar patah-patah.
Renaya mengangguk ringan. “Iya, sekitar seminggu yang lalu… kenapa?” tanyanya, curiga dengan reaksi berlebihan Dodi.
Dodi makin pucat, jari-jarinya gemetar, gelas di tangannya tak sengaja miring hingga isinya menetes membasahi seragam dinasnya. Nafasnya memburu.
“Ada apa, Dodi?” Yudayana mulai curiga melihat perubahan sikap rekannya.
Dodi menggeleng cepat, mencoba menepis bayangan yang mulai mengusik pikirannya. Ia teringat kejadian tempo hari, ketika ia sedang patroli di kawasan rawan. Ia sempat melihat sosok perempuan duduk di sudut ruangan, perempuan yang sangat mirip dengan Sandrawi.
Sejenak, ia terdiam, mencerna ulang segala ingatan. Dahulu, Dodi tahu Sandrawi pernah menjalin hubungan dekat dengan Yudayana. Ia bahkan sempat bertemu dengannya di sebuah tempat gelap, saat Sandrawi beralasan sudah tak lagi bersama Yudayana.
Tapi sekarang? Sandrawi sudah meninggal?
Dodi menelan ludah, menyingkirkan segala dugaan gila yang bersarang di kepalanya. “Mungkin… aku cuma salah lihat,” desisnya, meletakkan gelasnya di meja. Ia mengatur nafas, berusaha menormalkan raut wajahnya.
“Jadi, kenapa kamu ajak aku ketemu dia, Yudayana?” tanya Dodi, pandangannya beralih pada Renaya yang kini terlihat lebih tenang.
Yudayana meneguk kopinya sebelum menjawab, “Begini, Dodi… kami rasa ada sesuatu yang janggal dari kematian Sandrawi. Mbak Renaya butuh bantuanmu untuk menyelidiki.”
Dodi mengangkat alis, merasa aneh. “Janggal bagaimana? Bukannya sudah jelas dia bunuh diri?”
Renaya mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapannya menusuk tajam. “Bagaimana kalau ternyata Sandrawi tidak bunuh diri… tapi dibunuh?” ucapnya pelan namun menghantam.
Dodi menyipitkan mata, kerutan muncul di dahinya. “Kamu punya bukti?”
Renaya tak menjawab dengan kata-kata. Ia mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam tasnya, meletakkannya di atas meja. “Aku menemukan ini di kamar Sandrawi. Selain itu ada surat… tapi Yudayana bilang tulisan tangan di surat itu bukan tulisan adikku,” jelas Renaya dengan penuh keyakinan.
Dodi menggeleng pelan setelah menatap barang bukti yang tergeletak di tangan Renaya. “Sayangnya, benda ini sudah tercemar. Dengan kondisi seperti ini, hampir mustahil melacak sidik jari yang menempel di sana.”
“Oh, begitu?” Renaya spontan menjatuhkan pulpen itu ke atas meja, rasa kecewanya begitu jelas terpancar.
Minimnya pengetahuan tentang teknis penyidikan membuatnya gegabah. Ia bahkan tidak tahu sudah berapa banyak orang yang menyentuh pulpen tersebut. Yang pasti, benda itu tak bisa lagi dijadikan bukti utama.
“Selama ini, kamu sudah mencurigai seseorang?” tanya Dodi kemudian, nadanya kembali serius.
Renaya menghela napas, mencoba menyusun kalimat. “Ada. Kemarin aku sempat membuntuti seseorang ke tempat… semacam lokalisasi. Dan sepertinya pulpen ini juga miliknya.”
Dodi mengerutkan kening. “Jadi, maksudmu selama ini kamu ke sana untuk...”
“Benar,” sela Renaya cepat, “aku memang mengikuti orang itu.”
Dodi menghela napas panjang, menyadari kesalahpahaman fatal yang telah ia lakukan. Pantas saja malam itu Renaya marah besar dan menolak ikut ke kantor polisi.
“Ngomong-ngomong soal malam itu…” Dodi berdeham kecil sebelum melanjutkan, “aku minta maaf. Aku sudah salah sangka padamu.”
Renaya hanya mendengus ringan, senyuman sinis bermain di sudut bibirnya. “Maaf saja nggak cukup, Pak Polisi. Sebagai gantinya, kau harus membantu aku menyelidiki kematian adikku.”
Yudayana hanya duduk menyimak tanpa banyak komentar. Namun ia berharap Dodi setidaknya bersedia membantu Renaya menyingkap misteri ini.
“Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Dodi akhirnya.
Senyum puas merekah di wajah Renaya. “Jadi kamu setuju?”
Dodi mengangguk, namun ekspresinya berubah serius. “Tapi sebelum kita melangkah lebih jauh, ada sesuatu yang harus kamu ketahui.”
Renaya mengerutkan dahi. “Apa itu?”
Dodi tidak menjawab langsung, melainkan bangkit dari kursi. “Ikut aku. Kita bicara di tempat lain,” ucapnya, tak ingin membuka rahasia itu di hadapan Yudayana.
Renaya merasa aneh, tapi ia menuruti langkah Dodi. Ia tidak bertanya banyak, hanya mengikuti pria itu hingga keduanya menaiki motor.
“Mau ke mana kita?” tanya Renaya heran, tatapannya tak lepas dari jalanan yang mulai akrab di matanya.
“Nanti kamu akan tahu,” jawab Dodi datar, suaranya tertelan hembusan angin.
Renaya menyimpan semua pertanyaan yang berdesakan di kepalanya hingga Dodi berhenti di sebuah kawasan yang tidak asing baginya—lokalisasi yang kemarin ia datangi.
“Tempat ini lagi?” gumam Renaya penuh kebingungan. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”
Dodi melepas helm, menoleh ke arah Renaya. “Kamu ingin tahu kebenaran tentang adikmu, bukan?”
Renaya mengangguk mantap.
“Baik. Ayo turun,” ajak Dodi.
Renaya mengikuti, meski dalam hati terselip kecemasan. Sebelum melangkah masuk, Dodi melepaskan seragam dinasnya, menyisakan kaos hitam yang membalut tubuhnya.
“Sebelum kita menyelidiki siapa pelaku sebenarnya, kamu berhak tahu… pekerjaan apa yang dijalani adikmu selama ini,” ujar Dodi lirih, namun cukup jelas terdengar di telinga Renaya.
Ucapan itu menusuk seperti belati. Ada desakan di dada Renaya yang seketika membuatnya sulit bernapas. Ia belum siap mendengar kenyataan yang mungkin akan mengoyak hatinya.
“Ayo,” ucap Dodi seraya menarik tangan Renaya agar lebih dekat dengannya. “Jangan takut, aku di sini. Tak akan kubiarkan orang iseng mengganggumu.”
Renaya mengencangkan genggamannya. Jalan sempit yang mereka lalui terasa semakin menyesakkan.
“Masih jauh?” tanya Renaya, napasnya sedikit terengah.
Dodi hanya menggeleng pelan. Tak lama, mereka berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai, mencolok di antara rumah-rumah reyot lainnya.
Dari dalam, dentuman musik menghantam gendang telinga, aroma alkohol dan asap rokok menyergap. Di terasnya, beberapa perempuan berpakaian minim menggoda pria yang datang, namun saat mata mereka menangkap sosok Dodi, semua bungkam seketika.
Renaya meneguk ludah. Pemandangan ini membuat perutnya terasa melilit.
“Kita masuk?” tanya Dodi.
Renaya hanya mengangguk singkat, menggenggam lengan Dodi lebih erat seolah menemukan tameng di tengah kegaduhan.
Di dalam, suasana semakin pekat. Roni menghentikan langkahnya secara mendadak. Matanya menatap tajam ke sudut ruangan.
“Ada apa?” tanya Renaya, ikut menghentikan langkahnya.
Dodi tidak menjawab. Pandangannya tak bergeming dari sebuah titik gelap di pojok ruangan.
“Renaya… aku harus jujur… malam saat kita bertemu, aku… aku sempat melihat Sandrawi duduk di sana,” bisiknya pelan.
Renaya menggeleng pelan. “Sandrawi sudah meninggal… mungkin saja yang kamu lihat itu orang lain.”
“Tidak mungkin,” Dodi menyahut cepat, sorot matanya menyiratkan keyakinan penuh. “Kursi di pojok itu memang selalu jadi tempat Sandrawi. Tak ada satu pun yang berani duduk di sana, katanya… tempat itu sial, kurang laku.”
Renaya membeku sejenak, lalu mendekat. “Tunggu dulu… kenapa Sandrawi menampakkan diri ke kamu? Apa jangan-jangan… kamu juga...”
“Eh, stop! Jangan ngawur!” Dodi langsung memotong tajam sebelum tudingan Renaya meluncur lebih jauh. Ia menarik napas, kemudian kembali melangkah menuju pojok ruangan.
“Aku ke sini cuma untuk patroli, bukan… cari perempuan!” sergahnya mantap, menegaskan posisinya.
Renaya masih terpaku, pikirannya berkelindan, penuh tanya. “Terus… rencanamu apa sekarang? Kamu pasti sudah punya tujuan kenapa mengajakku ke sini.”
Dodi mengangguk singkat. “Aku ingin tahu… siapa pria yang sering bersama Sandrawi sebelum dia… sebelum dia dinyatakan bunuh diri.”
Renaya menyipitkan mata. “Dan caranya?”
Dodi tak menjawab dengan kata-kata. Ia memberi isyarat ke salah satu perempuan yang tengah berdiri di dekat bar, sosok yang cukup sering ia lihat bersama Sandrawi.
“Kamu,” panggil Dodi, suaranya berat namun santai.
Perempuan itu menoleh, kemudian berjalan menghampiri dengan langkah ragu. “Saya, Mas?” tanyanya setengah berbisik.
Dodi mengangguk tegas. “Duduklah di sini sebentar.”
Perempuan itu pun mengambil kursi, duduk di samping mereka. Matanya bergeser, menatap Renaya dengan pandangan samar.
“Kamu teman dekat Sandrawi?” tanya Dodi mengawali.
Perempuan itu tampak bimbang, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya, Mas… kenapa ya?”
“Aku cuma ingin tanya… kalau aku mau… pesan Sandrawi, masih bisa nggak?” pancing Dodi dengan nada santai, matanya mengamati tiap perubahan ekspresi perempuan itu.
Dan sesuai dugaan, perempuan itu langsung menggeleng cepat. “Kayaknya nggak bisa, Mas… Sandrawi sudah lama nggak kelihatan di sini.”
Renaya dan Dodi sempat saling berpandangan, perempuan ini sepertinya tidak tahu kabar kematian Sandrawi.
“Oh ya? Kamu tahu tarifnya Sandrawi berapa, biasanya?” Dodi kembali menyelidik.
Perempuan itu mengangkat bahu. “Saya nggak tahu pasti, Mas… tapi kayaknya Mas juga nggak bakal bisa pakai Sandrawi…”
“Kenapa?” Dodi menyipitkan mata.
“Karena Sandrawi itu cuma… ya, dia cuma melayani satu orang. Ada pelanggan tetap,” jawab perempuan itu pelan.
Dodi bersandar di kursinya, kedua tangannya menyilang di dada. “Pelanggan tetap?”
Perempuan itu mengangguk mantap, kemudian melirik sekeliling, matanya mencari sosok yang dimaksud.
“Nah, itu dia Mas…” bisiknya sambil menunjuk ke sudut ruangan.