“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 7
“Aaaakh!”
Nyai Lastri menjerit keras. Tubuhnya terjerembab ke lantai, punggungnya terbanting ke lantai kayu yang dingin.
Lemari itu masih terbuka setengah, rambut panjang itu masih tergantung, dengan mata yang semakin membulat besar. Menatapnya tanpa berkedip.
Nyai Lastri merangkak mundur ketika sosok ghaib itu perlahan keluar dan mendekat.
“Jangan kemari! Jangan dekati aku, jangan ganggu aku ...!” Pekiknya dengan tubuh bergetar hebat dan deru napas yang memburu tak terkendali.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan itu kembali terdengar, kali ini dari belakang cermin, lalu dari bawah tempat tidur—lalu dari semua arah.
Nyai Lastri berteriak, terisak, menutup kedua telinganya dengan telapak tangan—lalu menjerit. “PERGI! PERGI KAU!”
TOK!
TOK!
TOK!
Ketukan di balik cermin semakin terdengar, kali ini lebih nyaring. Kemudian disusul dengan teriakan tertahan—
“NYAI! NYAI!”
Terdengar suara Madun berteriak, tetapi tak tampak pula wujudnya.
“Madun?! Dun? Di mana kau, Madun?!” jerit Nyai sambil terisak.
PLAK! Madun menampar pelan punggung Nyai Lastri yang sedang tertidur di depan meja rias dengan wajah penuh peluh.
“NYAI, BANGUN!”
Nyai Lastri tersentak, membuka matanya lebar-lebar dan segera mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Manik setajam mata elang itu menatap lurus ke arah lemari yang sedikit terbuka, bibirnya bergetar hebat.
“DUN! PANGGIL MBAH SOSRO, DUN!” Perintahnya dengan suara bergetar, nyaris berteriak.
Nyai Lastri memegang lengan Madun erat-erat. Matanya masih menyapu sekitar ruangan, seakan-akan sosok itu masih mengintai dari kegelapan.
“Nyai, tenang, Nyai—Anda cuma bermimpi buruk. Ada saya di sini, tenang ...,” kata Madun.
Nyai Lastri menunjuk ke arah lemari. “Dun! Di lemari ... di dalam lemari itu tadi ada ....”
Kalimatnya terputus, napasnya masih tersengal. Ia memeluk tubuhnya sendiri, gemetar, seperti anak kecil yang ketakutan.
Madun menoleh ke arah lemari. Tak ada yang aneh di sana. Namun, entah kenapa, pintu lemari yang sedikit terbuka—membuat bulu-bulu halus Madun meremang seketika.
“Dun, panggil Mbah Sosro kemari ... sekarang juga!” desis Nyai Lastri, suaranya lemah tapi tegas. “Aku nggak mau malam ini sendirian!”
Madun menenangkan. “Tenang, Nyai ... Orang kita sudah menjemput Mbah Sosro sejak siang. Mungkin, kalau tidak terhambat hujan badai di lereng, malam ini Mbah Sosro bakal nyampe.”
Nyai Lastri tak lagi menanggapi, ia hanya terdiam waspada—dengan kedua lutut yang masih terasa lemas.
...****************...
Langit malam menggantung kelam. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Dari kejauhan, suara serangga malam dan kodok bersahutan lirih, tapi di belakang rumah besar Juragan Karta, segalanya terasa berbeda.
Seorang pria sepuh berpakaian serba hitam, memasuki ruangan di mana tempat Arum disiksa kemarin. Dia adalah Mbah Sosro, dukun yang pernah dipercayai Nyai Lastri untuk membereskan kekacauan sepuluh tahun yang lalu.
Di tangannya, ia membawa sebuah keranjang anyaman berisi kembang telon, secawan kecil minyak kelapa, dan seekor ayam cemani yang tak berhenti untuk berusaha kabur.
Langkahnya tergopoh-gopoh, memindai lantai kayu yang banyak terdapat tetesan darah.
“Jadi, kalian kembali melakukan perbuatan itu di tempat ini lagi? Di tempat yang sama, seperti sepuluh tahun yang lalu?” Mbah Sosro mendengus, menggeleng pelan.
Baik Madun ataupun Nyai Lastri hanya terdiam, memilih tak menjawab.
Mbah Sosro mengeluarkan seekor ayam cemani. Warnanya hitam legam, termasuk lidahnya. Dengan gerakan cekatan, pria sepuh itu menyembelih ayam tersebut di atas tempurung kelapa, menampung darahnya yang kental dan panas.
Dengan darah tersebut, Mbah Sosro mulai membentuk lingkaran besar di lantai gudang.
“Mana barang gadis itu, Madun? Sudah kau persiapkan?” tanya Mbah Sosro tanpa menoleh.
“Sudah, Mbah.” Madun menyerahkan pakaian kotor dan sisir Sekar Arum yang masih tertinggal di Paviliun. Mbah Sosro lekas menyambarnya.
Di tengah lingkaran darah ayam cemani, pria tua itu meletakkan pakaian Arum yang terlipat rapi. Di atasnya, ia menabur kembang telon dan rambut Arum yang tersangkut di sisir, serta keris pusaka kecil yang telah dimandikan sebelumnya.
Kemenyan mulai dibakar. Asap putih mengepul, memenuhi gudang dengan aroma menyengat.
Mbah Sosro duduk di depan bokor tembaga berisi air bunga tujuh rupa yang sudah dipersiapkan oleh Madun. Ia mulai merapalkan mantera sakti.
Mbah Sosro mengiris telapak tangannya, meneteskan darah di air bunga tujuh rupa—lalu memercikkan minyak kelapa ke arah empat penjuru mata angin.
“Sing mati sing urip, tunjukken wujudmu!” gumamnya.
Ia mencelupkan jarinya ke air bokor, kemudian mengoleskannya ke kedua pelipis dan kedua matanya. Dalam sekejap, tatapannya berubah kosong, lalu mulai berganti dengan tatapan seolah sedang menerawang “melihat ke alam lain.”
Tiba-tiba, tubuh pria sepuh itu menegang.
Air di dalam bokor mulai beriak. Pakaian Arum yang tadi diam, kini bergerak perlahan, seperti ditarik tangan yang tak kasat mata. Mbah Sosro mendesis. Keringat membasahi dahinya, meski suhu ruangan dingin menggigit.
Namun kemudian, riak air di bokor mendadak berhenti.
Mbah Sosro mengerutkan alis. Matanya membelalak. Ia mendekatkan wajahnya ke dalam bokor ... namun tak ada bayangan yang dapat ia terawang.
“Aku tidak bisa melihatnya, Lastri,” gumam Mbah Sosro.
Nyai Lastri maju selangkah, wajahnya pias. “Apa maksudnya, Mbah? Gadis itu sudah mati, ‘kan?”
Mbah Sosro mendengus kasar. “Mata batinku tak dapat menjangkau nya. Ada yang melindunginya.”
“Melindunginya? Siapa? Siapa dia? Singkirkan sekalian dengan ilmu sakti mu, Mbah!” Suara Nyai Lastri mulai meninggi.
Mbah Sosro menunduk sejenak, lalu mengeluarkan sebuah cermin antik. Ia kembali merapalkan mantera. Asap kemenyan seketika kembali menyeruak.
Pria sepuh itu mengangkat cermin perlahan, menggerakkannya ke segala arah seolah mencari sesuatu yang tak kasatmata. Namun tiba-tiba, tangannya gemetar. Cermin antik itu nyaris jatuh dari genggamannya.
Tatapan Mbah Sosro menajam. Di dalam pantulan cermin itu, sesosok wanita muncul—berwajah pucat, rambutnya tergerai.
Bibir Mbah Sosro sedikit bergetar. “Larasmi?” bisiknya lirih, seperti nama itu berat keluar dari kerongkongannya.
“Larasmi?” tubuh Nyai Lastri seketika bergetar mendengar nama keramat itu disebut.
Di dalam ruangan temaram itu, angin tiba-tiba menderu lewat sela jendela. Lampu minyak berkedip seperti akan padam, lalu menyala kembali.
Nyai Lastri buru-buru bersembunyi di balik tubuh besar Madun.
Dan, di saat Mbah Sosro tengah mencoba memahami sesuatu, suara samar terdengar di telinganya.
“Tunggu waktumu, Mbah ....”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣