Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak mudah pulih..
Udara dalam mobil terasa pengap meski pendingin menyala. Raka menyetir dengan satu tangan di kemudi, sementara matanya sesekali melirik ke spion tengah, seolah masih bisa melihat kembali wajah Nayla ketika ia tinggalkan beberapa menit lalu. Suara bentakan Tania di kontrakan itu masih menggaung di telinganya, dan tatapan Nayla—yang biasanya teduh—tadi dipenuhi amarah dan luka yang dalam.
Dan lelaki itu…
Lelaki bernama Aldi.
Raka mengepalkan tangannya di atas stir. "Siapa dia sebenarnya, Nay?" batinnya mendesak. "Kenapa harus ada lelaki lain di kontrakanmu? Secepat itu kamu buka hati, padahal kita belum selesai benar-benar?"
"Apa maksudmu diam saja dari tadi?!" Tania akhirnya bersuara, tajam dan dingin. Ia melipat tangan di dada, menoleh dengan wajah kesal. "Jangan bilang kamu masih mikirin perempuan itu."
Raka tak langsung menjawab. Hatinya masih belum mampu diajak berkompromi. Sosok Aldi di kontrakan Nayla bukan hanya mengganggu pikirannya, tapi juga melukai egonya sebagai pria.
"Aku cuma... kepikiran aja," jawab Raka pelan, berusaha terdengar tenang.
"Kepikiran?" Tania menatap tajam. "Tentang dia? Atau tentang lelaki di sebelahnya? Kamu marah, ya? Karena Nayla udah punya pengganti?"
Raka menarik napas dalam. Ia tahu Tania sedang memancing, dan sayangnya, umpannya kena.
"Dia bilang Nayla udah siap bercerai, kan? Jadi, kalau dia punya hubungan sama siapapun, itu hak dia," kata Raka akhirnya.
"Hak dia?" Tania menoleh, nadanya meninggi. "Raka, kamu sadar gak, kamu yang bikin skenario seolah-olah aku mau minta maaf ke dia! Kamu permalukan aku di depan perempuan itu! Dan sekarang kamu malah pasang badan buat dia?"
"Tania, cukup!" Raka membentak, matanya menatap tajam ke depan. Mobil sempat oleng ke kanan sebelum ia kembali stabilkan.
Tania terdiam. Tapi hanya sebentar.
"Jadi kamu masih cinta sama dia, ya? Makanya kamu gak bisa terima kalo dia udah punya cowok baru!"
"Enggak!" suara Raka meninggi lagi. "Aku cuma... aku kaget, Tan. Dia gak pernah cerita siapa orang itu. Aku tahu Nayla bukan tipe yang gampang dekat sama laki-laki, apalagi setelah semua yang dia alami..."
"Tapi kamu sendiri yang pergi. Kamu yang ninggalin dia buat aku," ujar Tania pelan, tapi menyakitkan. "Kamu gak bisa milikin semuanya, Raka."
Perkataan Tania menusuk, dan untuk pertama kalinya, Raka kehilangan kata-kata.
Kepalanya mendadak penuh oleh bayangan-bayangan yang membuat dadanya sesak—Nayla dengan perut membuncit, menatapnya dengan air mata tertahan. Nayla yang berkata tegas bahwa ia akan bercerai. Nayla yang menampar Tania, mempertahankan harga dirinya.
Dan lelaki bernama Aldi itu... berdiri tenang, memandang situasi dengan profesional. Tapi justru sikap tenang itulah yang membakar hati Raka. Apalagi ketika pria itu mencoba memperkenalkan diri.
"Aldi, kuasa hukum Nayla."
Hanya tiga kata, tapi cukup membuat Raka ingin menghancurkan apapun di hadapannya.
Mobil akhirnya sampai di rumah kontrakan yang kini mereka tempati. Raka memarkir mobil tanpa bicara, langsung turun dan membanting pintu. Tania mengikutinya dengan langkah cepat.
Begitu mereka masuk, suasana menjadi dingin. Tak ada percakapan. Raka langsung duduk di kursi ruang tamu, sementara Tania berdiri menatapnya dari dekat pintu.
"Jawab aku satu hal, Raka," katanya akhirnya. "Kalau Nayla memintamu kembali, kamu akan pergi dari aku, kan?"
Raka menatapnya, matanya merah karena marah dan lelah. Tapi ia tak menjawab.
Diamnya cukup sebagai jawaban.
Tania tertawa pendek, sinis. "Bodoh banget aku ini. Kukira kamu udah pilih aku. Kukira kamu mau hidup tenang, ninggalin masa lalu. Tapi ternyata kamu belum bisa move on."
Raka mengusap wajahnya. "Tan... aku cuma... aku gak bisa bohong kalau aku masih peduli sama Nayla. Dia hamil. Dan... aku masih ngerasa bersalah."
"Bersalah atau masih cinta?" Tania mendesak, suaranya mulai gemetar.
"Aku gak tahu," kata Raka jujur, lirih. "Yang jelas, saat lihat dia tadi... ada bagian dari diriku yang runtuh."
Malam itu, Raka duduk sendiri di balkon rumah kontrakan mereka. Tania sudah masuk kamar, mengunci diri setelah pertengkaran hebat tadi.
Angin malam menerpa wajahnya, dan semua kenangan tentang Nayla berputar seperti film lama: tawa Nayla saat mereka pertama pacaran, pelukan hangat Nayla saat ia pulang kerja, wajah kecewa Nayla saat tahu ia berselingkuh. Dan kini, wajah Nayla yang penuh amarah... tapi kuat.
Raka menarik napas berat.
Lelaki itu... Aldi. Siapa pun dia, Raka tahu, dia harus siap jika suatu hari Nayla benar-benar memilih lelaki itu.
Dan entah kenapa, pikirannya tak bisa lepas dari kenyataan bahwa ia mungkin sudah kehilangan Nayla untuk selamanya.