Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Sore itu, langit mulai memerah, sinar mentari condong menyapu kaca depan mobil yang dipacu Rehan menuju apartemen. Tangannya mantap di kemudi, namun sesekali pandangannya kosong, pikirannya berputar.
Di lampu merah, ia mengambil ponsel dari saku jasnya. Jemarinya mengetik cepat namun terhenti sejenak, seolah menimbang kata.
“Aku nggak bisa jemput kamu. Ada urusan yang harus aku selesaikan.”
Pesan terkirim.
Di sekolah, Alya baru saja melangkah keluar kelas. Ia membaca pesan itu sekilas, bibirnya tetap datar. Tidak ada tanda-tanda ia akan membalas. Ponsel kembali masuk ke sakunya, dan ia melanjutkan langkah keluar gerbang tanpa memperlambat langkah.
Begitu sampai di luar, pandangannya tertuju pada mobil hitam yang terparkir rapi di tepi jalan. Di sisinya, Bayu berdiri tegap, matanya segera menangkap sosok Alya.
Bayu bergegas menghampiri, langkahnya cepat namun penuh hormat.
“Maaf, Nyonya,” ucapnya pelan, nada suaranya sedikit kikuk.
“Hari ini saya yang mengantar pulang. Tuan sedang ada urusan mendadak.”
Alya hanya mengangguk singkat, tidak bertanya lebih jauh. Ia masuk ke mobil, duduk tenang di kursi belakang, menatap keluar jendela selama perjalanan. Di luar, lalu lintas sore berdenyut pelan, tapi di dalam mobil hanya keheningan yang menyelimuti.
Di apartemen, Reihan sudah tiba lebih dulu. Ia duduk di sofa abu-abu yang empuk, tubuhnya sedikit merosot ke belakang, kedua siku bertumpu di sandaran sofa, dan pandangannya mengarah ke langit-langit.
Di sebelahnya, ibunya, Lidya. Wanita paruh baya berparas cantik dengan tampilan elegan, duduk tegak, punggung lurus, kaki disilangkan. Aura anggun tapi dingin memancar dari setiap gerakannya.
Reihan bisa merasakan tekanan itu meski belum ada sepatah kata pun terucap. Ia mengusap pelipis, bersiap mental. Ia tahu, pembicaraan ini tidak akan sederhana.
“Reihan…” Lidya membuka suara, tenang tapi penuh kuasa.
“Kapan kamu akan menikah? Usiamu sudah 30 tahun. Itu umur yang… cukup matang. Mama rasa, sudah waktunya kamu punya rumah tangga sendiri.”
Rehan menarik napas panjang, berusaha terdengar santai.
“Ma, aku belum mau memikirkan itu sekarang.”
Lidya menoleh perlahan, tatapannya tajam.
“Belum mau? Sampai kapan? Mama ini sudah tidak muda lagi. Mama ingin lihat cucu mama. Sebelum mama...” suaranya menggantung, seolah ingin mengundang rasa bersalah.
Reihan menunduk sejenak, menyembunyikan riak di matanya. Ia ingin berkata bahwa ia sudah menikah. Namun ia tahu, kalimat itu hanya akan memantik badai, bukan karena ia malu pada Alya, melainkan karena ia sangat mengenal ibunya. Lidya selalu menimbang orang dari kasta, latar belakang, dan nama keluarga.
“Ma…” Reihan mencoba mengalihkan, tapi ibunya sudah melanjutkan.
“Kamu ingat Rani? Teman kecilmu waktu TK? Dia akan kembali ke Indonesia. Mama pikir… dia cocok untuk kamu. Cantik, pintar, sopan, keluarganya terpandang. Setara dengan kita.”
Reihan yang tadi bersandar kini menegakkan tubuh, matanya menajam.
“Ma… aku bisa memilih pasangan hidupku sendiri. Aku sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang baik buat aku, dan mana yang tidak.”
Lidya mengangkat dagu sedikit, nada suaranya menjadi lebih dingin.
“Rey, semua yang Mama lakukan demi masa depanmu. Jangan sampai kamu jatuh pada orang yang… bahkan tidak pantas berdiri di sampingmu.”
Rahang Reihan mengeras, tapi ia berusaha menahan nada suara.
“Kalau ‘pantasan’ yang Mama maksud hanya soal nama besar dan harta. maaf, Ma. Itu bukan ukuran buatku. Aku nggak mau menikah hanya karena cocok di mata orang, tapi tidak untuk ku.”
Sorot mata Lidya berubah. Dari yang awalnya tenang, kini menjadi dingin dan tajam. Perlahan, ia bangkit dari duduknya, tubuhnya tegap, langkahnya mantap. Tatapannya menusuk dalam ke arah putranya, seperti ingin menembus pertahanan terakhir Reihan.
“Reihan…” suaranya terdengar rendah tapi penuh tekanan,
“…Mama tidak ingin ada penolakan. Kamu harus mengikuti ucapan Mama. Bulan depan, pertunangan akan dilangsungkan.”
"Mama sudah bicarakan ini dengan orang tua Rani, dan mereka setuju."
Nada bicaranya bukan sekadar perintah, tapi ultimatum. Lidya bahkan tidak memberi celah untuk diskusi.
Tanpa menunggu jawaban, ia meraih tasnya branded nya dari sofa, lalu melangkah menuju pintu. Hak sepatunya berderap tegas di lantai, meninggalkan gema yang terasa menyesakkan.
Pintu terbuka, lalu tertutup kembali dengan bunyi klik yang dingin.
Reihan masih duduk di sofa, menatap pintu yang kini menutup rapat. Ia menggenggam kedua tangannya, jemarinya mengerut begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menyetujui perjodohan ini. Ingin mengakui bahwa ia sudah memiliki seseorang yang ia cintai, Alya.
Namun, ia tahu… semua itu akan sia-sia. Selama ini, hidupnya berjalan di bawah bayang-bayang keputusan orang tuanya. Apa pun yang ia kerjakan, selalu diatur. Bahkan kebahagiaannya pun kini hendak mereka tentukan.