Cinta yang di nanti selama delapan tahun ternyata berakhir begitu saja. Harsa percaya akan ucapan yang dijanjikan Gus abid kepadanya, namun tak kala gadis itu mendengar pernikahan pria yang dia cintai dengan putri pemilik pesantren besar.
Disitulah dia merasa hancur, kecewa, sekaligus tak berdaya.
Menyaksikan pernikahan yang diimpikan itu ternyata, mempelai wanitanya bukan dirinya.
menanggung rasa cemburu yang tak semestinya, membuat harsya ingin segera keluar dari pesantren.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadhi-faa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Mobil bergerak menjauh, meninggalkan tempat dimana harsa dibesarkan.
Harsa menyandarkan tubuhnya, memposisikan diri senyaman mungkin, namun matanya yang terang itu tak dapat membohongi, bagaimana perasaan wanita muda yang kini harus meninggalkan tempat tumbuh dan kenangan yang dia ciptakan, tempat indah yang mau menerima bayi perempuan yang tidak tahu asal usulnya.
Harsa menggerakkan jemari kecilnya, menyeka sudut mata yang mulai menggenang.
Para pria yang duduk ditempat masing-masing itu tentu tahu betul perasaan wanita muda satu-satunya yang ada didalam mobil, namun memilih diam dan tak ingin mengganggu.
"ini non,"
Max menggeser kotak tisu di sampingnya, meletakkan sedikit ke belakang agar dapat di jangkau istri tuannya itu.
Perhatian kecil dari asisten pribadi axel itu tentu di perhatikan oleh sang tuan. Axel mengambil sapu tangan kecil yang selalu tersemat di saku kemejanya, gerakan pelan yang nyaris sempurna itu tak siapapun sadari.
Dia mengulurkan tangan kokohnya didepan harsa.
harsa melirik ke arah suaminya, kemudian sapu tangan kecil berwarna pastel dengan motif bunga lily of the Valley yang sangat kecil di ujung itu menjadi perhatian harsa.
pria sedingin itu, memiliki benda se_feminim ini?
Batin harsa, namun dia segera sadar, bahwa suaminya itu pernah menjadi suami perempuan lain.
harsa hanya melirik sekilas, jarinya bergerak cepat mengambil tisu di depannya. Entah mengapa dia begitu tidak terima memiliki suami yang pernah memiliki masa lalu dengan wanita lain, dan itu kenyataan yang sulit dia terima sekaligus di ungkapkan.
Tangan Axel yang bergantung di udara tanpa ada sambutan itu segara dia tarik kembali.
Dia menoleh sekilas, kemudian kembali kepada kesibukan. tidak ada satupun tindakan protes atas sikap abai istrinya.
"max, lain kali jangan bertindak sembarangan tanpa seizinku."
"baik tuan."
Max jadi tidak enak, dia baru sadar jika tuannya itu terlalu denial.
Perjalanan masih panjang, namun suasana hening itu cukup membuat jenuh dan bosan.
Max melirik ke arah spion depan, dia jadi gemas sendiri dengan pasangan suami istri yang saling sibuk dengan dunianya masing-masing.
harsa tak lagi menangis, namun gadis itu juga tak menikmati perjalanannya, dia menyibukkan diri dengan membaca e-book yang ada didalam ponsel.
"Tuan, apa perlu kita berhenti di masjid?."
tanya max, yang melirik jam memasuki waktu sholat, dari pantulan depan di melihat jawaban axel lewat anggukan.
max segera mencari tempat ibadah terdekat, dan membelokkan mobilnya ke masjid agung.
Menyadari mobil berhenti, barulah harsa mendongakkan kepalanya. Dia melirik suaminya yang akan turun, harsa segera menyusul.
Sebelum berpisah, axel menghentikan langkahnya.
"pastikan kamu menghafal mobilnya."
Dingin, itu yang harsa rasa. dia mengangguk, tak peduli sikap pria didepannya yang tiba-tiba lebih dingin dari sebelumnya.
Mereka bertiga berpisah. namun sebelum pergi harsa kembali ke parkiran mobil, memotret plat mobil suaminya. Di area parkir yang begitu luas ada kemungkinan dia lupa, apalagi banyak mobil mewah yang berjejeran di sana.
Mengistirahatkan diri dari hal dunia, mengosongkan pikiran sejenak pada masalah.
Dalam balutan sebuah do'a, harsa berharap perasaan akan segera memudar, rasa kecewa sekaligus harapan yang tak mungkin lagi bisa diharapakan itu dapat terganti sesuatu yang lebih indah suatu hari nanti.
Dan kehidupan barunya di tempat baru itu sedikit membuat ketenangan pada dirinya.
jujur, harsa belum bisa membenci gus abid, dia masih mengharapkan cinta pada pria yang sudah beristri itu, hingga dia merasa hatinya begitu murahan, harsa muak pada perasaanya sendiri.
Gus abid adalah cinta pertama harsa sebagai seorang pria sekaligus saudara laki-laki yang dia miliki.
Jadi bukan suatu yang mudah untuk dihapus begitu saja dalam bagian hidupnya, separuh kenangan indah nya pada pria itu.
indah, sekaligus menyakitkan..
Jadi dia tak terlalu berharap pada pernikahannya. harsa hanya ingin menjauh hanya untuk tidak ingin menjadi perusak.
Untuk saat ini harsa tak ingin mencintai siapa-siapa. tak ingin menyakiti perasaan nya, dan tak ingin percaya pada janji pria.
bila akhirnya hanya sebuah lara dan kecewa yang dia temukan diujung cerita.
Harsa akan berusaha fokus pada pendidikan dan karirnya dimasa depan nanti, sambil menunggu kebosanan suaminya.
Harsa begitu yakin jika axel pria yang mudah bosan dengan-nya.
"maaf lama."
ucap harsa ketika masuk kedalam mobil yang ternyata sudah ditempati suaminya dan asisten pribadi suaminya itu.
"gak perlu sungkan non, saya juga baru duduk."
harsa mengangguk kecil sebagai bentuk menghormati keramahan sopir pribadi suaminya.
"max!!"
"ah ya bos..."
max langsung paham, dia segera menarik tuas dan menjalankan mobil mewah milik bos-nya itu setelah memastikan istri tuannya sudah duduk dengan nyaman ditempat.
Keheningan, hiburan itu yang ada dalam perjalan.
Akhirnya mobil mewah itu masuk kedalam area perumahan elit.
Axel langsung tertuju pada rumah utama milik keluarga Frederick yang sudah diwariskan padanya. sedangkan kakeknya, sebastian tidak tinggal dirumah utama warisan turun temurun itu, melainkan tinggal di rumah masa tuannya yang ia bangun bersama almarhumah sang istri tercinta.
Harsa sedikit kagum pada rumah-rumah mewah yang bersampingan dan tertata dengan begitu indah.
"mana rumah kamu mas?."
tanya harsa spontan. Axel masih sibuk dengan laporannya yang ada di Ipad-nya. hingga dia begitu fokus pada layar dari pada pertanyaan harsa.
"di ujung sana non, area paling ujung dari perumahan ini."
jawab max.
Harsa mengangguk kecil, meski dia kecewa diabaikan, tapi jawaban max cukup membuatnya merasa didengar.
Meski kagum, harsa berusaha bersikap biasa, dia tidak ingin terlihat begitu norak.
Kini mobil berhenti didepan gerbang tinggi berwarna hitam, gerbang bergerak pelan, seolah keberadaan mobil itu sudah terdeteksi oleh sensor otomatis.
Para penjaga menyambut kedatangan sang tuan dengan berdiri jejer di bahu jalan. menunduk sedikit. pemandangan baru bagi harsa yang melihat, dia melirik suaminya di sebelahnya.
Sekaya apa dia, hingga disegani para pekerja-nya.?
pertanyaan harsa yang hanya mampu di pendam dalam hati.
Harsa kini beralih pada bangunan megang berlantai tiga yang terlihat didepan sana, halaman luas seperti kebun pribadi, disepanjang jalan berjejer pohon apel merah yang menyisakan daun yang lebat.
"apa ini rumah anda?."
"begitulah."
jawaban yang begitu singkat, yang mengandung kesombongan yang menyebalkan menurut harsa.
"apa kita akan tinggal disini?."
"menurutmu?"
Axel menoleh, menatap istrinya dengan pandangan menelisik.
harsa menghela nafas, entah mengapa dia kesal dengan sikap baru suaminya yang sedikit berbeda saat tinggal beberapa hari di pesantren.
"mana aku tahu."
Harsa kembali memilih diam, sampai mobil berhenti didepan teras rumah mewah, dalam hati dia tercengang, namun wajahnya berusaha bersikap biasa ketika melihat barisan pekerja berjejer rapi layaknya menyambut tamu penting negara. dia tidak ingin menunjukkan wajah yang terlihat norak dan miskin didepan suaminya yang ternyata melebihi ekspektasi-nya. Harsa pikir axel adalah orang yang kaya biasa -nya selayaknya orang kaya yang sering dia jumpai.
"silahkan turun nyonya."
Harsa yang melamun karena mencerna hal baru baginya itu tak sadar jika terlalu lama duduk di mobil.
"ah iya."
dia segera keluar. namun ketika kakinya menginjak lantai marmer, harsa hampir saja oleng, untung dia masih bisa menegakkan tubuhnya. jadi memalukan jika sampai dia terjatuh didepan banyak orang.
Harsa menghampiri max yang mengambil barangnya di bagasi.
"nyonya silahkan anda masuk. biar barang anda jadi urusan pekerja."
"ah iya."
harsa bagaikan orang bingung yang ditempatkan di tempat asing, dia segera berjalan pelan ke depan, ternyata suaminya menunggu didepan anak tangga pertama, menghadap langsung kearahnya dengan sorot mata tajam yang menghunus kearah langkah kaki kecil harsa.
Dia tak bersuara dan lebih memilih melanjutkan langkahnya ketika istri kecilnya sudah berada disampingnya. harsa pun juga tak berani bertanya selain mengekori suaminya layaknya anak itik.
"selamat datang tuan muda."
ucap mereka serempak dengan kepala sedikit tertunduk. nada mereka begitu ceria dalam menyambut sang pemilik rumah yang sudah lama tidak menginjakkan kaki di bangunan rumah utama keluarga Frederick.
axel menghentikan langkahnya, matanya menatap presisi kearah pekerja.
"nyonya anna, anda bisa menyusul setelah ini."
Kemudian pandangan berganti pada harsa yang ikut berhenti dibelakangnya.
Memutar tubuh pelan dan menatap istrinya yang sedang memandang ke barisan para pekerja yang begitu rapi tanpa cela.
"kalian juga harus menyambut istriku selayaknya majikan kalian juga."
ucap axel pelan namun menuntut.
harsa terbelalak ketika tangan pria itu menggenggam pergelangan tangannya. menuntun harsa untuk melangkah disamping pria yang tingginya membuat hati harsa selalu tidak percaya diri jika berdampingan.
Dia selalu merasa terlalu pendek, untuk berdiri disamping axel.
"selamat datang juga nyonya muda..."
ucap mereka serempak, dan akhirnya harsa bisa bernafas lega setelah masuk kedalam pintu rumah yang menyisakan mereka berdua.
Harsa langsung tertuju pada axel, suami yang menyeretnya pada kehidupan asing dan baru bagi harsa.
semangat harsa alex....