Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Titik
“Di mana Celine?”
Suara Ethan rendah dan tanpa emosi, namun justru terdengar lebih berbahaya.
“Kami tidak tahu,” jawab Rega yang duduk santai di sofa.
Tatapan Ethan mengeras. Ia membenci satu jawaban di dunia ini: tidak tahu.
Matanya beralih pada Sambo.
Sambo refleks menunduk. Ethan adalah inti Amox yang paling ia takuti.
“Aku sungguh tidak tahu.”
Raga mengangkat tangan, “Aku juga tidak tahu,”
Ethan menatap ketiganya bergantian, “Kata tidak tahu terdengar klasik saat kalian sudah memutuskan untuk melarikan diri ketempat ini. Dan…” suaranya berat dan mengancam, “Celine tidak akan bisa pergi sebersih ini kalau kalian tidak ikut campur.”
Rega menyilangkan kakinya semakin dalam, bersandar malas. Saat mata Ethan kembali tertuju padanya, Rega hanya mengangkat bahu.
“Celine bukan pacarku. Kenapa aku harus tahu dia ke mana?” katanya ringan, nyaris mengejek. “Bukankah yang seharusnya tahu dia dimana adalah kau, suaminya.”
Geraman rendah keluar dari tenggorokan Ethan. Raga menangkap perubahan itu, urat di rahang Ethan menegang, napasnya tak lagi stabil.
“Laugo Alien,” Nada suaranya datar. Ia menyebut nama pistol yang bahkan hanya beredar dengan hitungan jari di pasar gelap.
Raga dan Sambo langsung menoleh.
“Jadi milikmu.”
Raga dan Sambo tertegun. Itu senjata kesayangan Ethan, senjata yang bahkan Sean Montgomery tidak ketahui ada di tangan Ethan.
Rega berdiri, wajahnya kini dingin dan serius.
“Kau setakut itu Celine benar-benar pergi?” katanya menantang.
“Aku hanya memberi penawaran,” jawab Ethan datar.
“Sayangnya aku tidak tertarik,” balas Rega. “Aku tidak tahu di mana Celine.”
Ethan kehilangan kendali, ia mencengkeram kerah Rega dan menariknya mendekat.
“Jangan menguji kesabaranku.”
Raga dan Sambo buru-buru menahan mereka. Namun Rega yang paling emosional menepis. Ia menarik kerah Ethan dan menghantamkan tinju ke wajahnya. Ethan membalas tinjuan yang sama tanpa ragu.
Raga berdiri di tengah.
“Stop! Ada apa dengan kalian berdua? Kita Amox!”
Napas Ethan dan Rega naik turun, amarah ditahan dengan susah payah.
Rega merapikan kerahnya perlahan.
“Kau melibatkan kami dengan urusanmu dan Celine, saat kau sendiri menyembunyikan soal gadis departemen keuangan itu dari Amox.” katanya dingin.
Ethan terdiam, melirik sekilas.
Rega berdecih, mengambil kausnya dari sofa, mengenakannya sembarang lalu berbalik pergi.
“Tolong.”
Langkah Rega berhenti. Ruangan mendadak sunyi. Semua orang spontan menoleh. Ethan Solomon Montgomery tidak pernah meminta tolong seumur hidupnya. Tidak, bahkan saat maut berdiri di depan matanya.
Ke-empat Amox akhirnya duduk di sofa. Tak ada musik dan tawa, hanya sisa ketegangan yang belum luruh.
Ethan menegakkan tubuh, “Aku sudah menjelaskan semuanya,” katanya datar. Ia menggeser pandangan ke satu per satu wajah di depannya. “Sekarang katakan padaku, di mana Celine?”
Raga dan Sambo saling pandang. Ada keraguan sepersekian detik sebelum keduanya mengangkat tangan hampir bersamaan.
“Kami benar-benar tidak tahu,”
Pandangan Ethan beralih pada Rega. Pria itu sedang mengusap pipinya, bekas tonjokan Ethan baru terasa panas.
“Aku tidak akan memberitahumu apa pun, sebelum kau menjawab satu pertanyaanku.” kata Rega perlahan.
Ia duduk tegak, melipat tangan di dada, menatap Ethan tegas dan mengintimidasi. Sikap yang nyaris tak pernah ia tunjukkan selama ini.
“Apa kau mencintai Celine?”
Hening.
Ethan menatapnya tanpa perubahan ekspresi. “Apa aku perlu menjawabnya?” balasnya datar.
Rega tertawa pendek, tanpa humor. Ia mendorong meja di depan mereka hingga menghantam dada Ethan kesal.
“Pantas,” katanya sengit, “pantas Celine meninggalkanmu.”
Ethan mengepalkan tangannya kuat. Demi Tuhan, ia sedang menahan diri untuk tidak menghabisi Rega sekarang.
“Aku yakin,” lanjut Rega provokatif, “dia akan menemukan pria New York yang jauh lebih menarik dari dirimu.”
BRAK.
Ethan membalikkan meja, lalu berlari keluar dari villa dengan kecepatan tak terduga.
Rega bersadar di sofa. Semoga kau pulang membawa hasil, batinnya.
Celine menatap gedung-gedung tinggi dari jendela kamar hotel di tengah kota. Asing, seperti hidup yang kini sedang ia jalani. Ia menghela napas pelan, lalu naik ke atas ranjang, menarik selimut tebal dan menutup tubuhnya rapat seolah ingin menghilang dari dunia.
Dalam kegelapan, pikirannya terus berputar. Ia sudah mempelajari dan mengorbankan banyak hal untuk menyamai langkah Ethan. Dan jika pria itu menempatkan dirinya di atas pilihan 'berhenti', maka ia harus benar-benar berhenti.
Ia harus membangun benteng pertahanan untuk melindungi dirinya sendiri. Ia tidak ditakdirkan menjadi wanita bodoh. Ia tidak akan lari dari luka, juga tidak akan pulang membawa luka yang sama.
Ketukan terdengar di pintu kamar. Celine membuka selimut perlahan, menurunkan kakinya ke lantai yang dingin; lalu berjalan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, tubuhnya membeku. Orang yang berdiri di depan pintu tak memberi waktu bagi jarak untuk bekerja. Ia melangkah cepat dan menarik Celine ke dalam pelukan yang erat.
“Celine, putriku sayang,” suara Golda bergetar.
Air mata yang sudah Celine larang untuk jatuh kini lebur.
“Papa…” bisiknya lirih.
“Maafkan Papa,” kata Golda lagi.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Celine melihat air mata di mata ayahnya. Air mata yang ia kira tidak pernah ada.
Golda mengecup kening Celine penuh penyesalan.
“Maafkan Papa,” ulangnya lebih pelan.
“Kenapa Papa bohong? Kenapa Papa menutupi semuanya selama ini?"
Celine terisak lebih keras. "Kenapa, Pa…?”
Golda memejamkan mata, menahan gemuruh di dadanya.
“Papa bersalah,” katanya lirih, sama sekali tidak membawa nama siapa pun untuk pembelaan diri. “Maafkan Papa, ya.”
Celine melepaskan diri perlahan dari pelukan itu. Ia menatap Golda dalam, seolah sedang mencoba meresapi isi hatinya. Perlahan, ia meletakkan tangannya di dada ayahnya.
“Apa rasanya sangat sakit, Pa?” tanyanya tersedu.
Golda menggeleng. Ia menggenggam tangan Celine, mengecup punggungnya penuh kasih.
“Tidak ada yang lebih sakit bagi seorang ayah, selain melihat putri kesayangannya terluka karena seorang pria.” ucapnya pelan namun tegas.
Air mata Celine jatuh semakin deras. Ia meletakkan tangannya di dadanya sendiri. "Tapi kenapa di sini rasanya sangat sakit?"
Hati ayah mana yang tidak sakit melihat putrinya sehancur ini. Golda merapikan rambut Celine, menatapnya dalam-dalam. “Maafkan Papa… Papa gagal memilihkan laki-laki yang tepat untukmu.”
Celine menggeleng,
“Bukan salah Papa,” katanya lirih.
“Aku yang salah, karena menyerahkan hidupku pada pria yang sejak awal tidak pernah benar-benar menginginkanku.”
Golda kembali memeluk Celine, kali ini lebih erat.
“Jangan takut, Nak.” katanya mantap. “Ada Papa di sini.”
Ia menunduk, dagunya bersentuhan dengan kepala Celine.
“Ada Papa yang menginginkanmu sejak kau masih ada dalam kandungan Mamamu. Saat kau lahir, saat kau tumbuh dewasa, bahkan sampai Papa mati nanti.”
Celine akhirnya menyerah pada tangisnya. Isaknya pecah, seluruh kesedihan yang ia tahan luruh di dada ayahnya. Ia menyadari satu hal sederhana detik ini. Bahwa ternyata… ia masih punya seseorang untuk bersandar.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk