Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rian yang Malu
“Hentikan acara ini!!!”
Teriakan Rian sontak membuat suasana aula yang semula penuh senyum dan tawa berubah menjadi gaduh. Musik terhenti. Seluruh tamu undangan menoleh ke satu arah, yakni ke arah seorang pria muda yang berdiri dengan napas memburu dan wajah tegang.
Bisik-bisik mulai terdengar, mula-mula pelan, lalu semakin jelas.
“Siapa dia?”
“Kurang ajar amat, berani ganggu acara keluarga orang.”
“Jangan-jangan mantan pacarnya yang nggak terima ceweknya ditunangkan.”
Rian bisa mendengar semuanya. Tapi saat itu, ia sudah tidak peduli. Matanya hanya mencari satu nama, satu wajah.
Dari barisan depan keluarga, seorang pria paruh baya berdiri. Wajahnya keras, rahangnya mengeras menahan emosi. Jas hitam rapi membalut tubuhnya, dasi kupu-kupu di lehernya tampak kontras dengan sorot matanya yang tajam.
Randi.
Ia melangkah cepat menghampiri Rian.
“Siapa kamu?” suaranya berat dan dingin. “Dan dengan hak apa kamu merusak acara keluargaku?”
Rian menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdegup tak karuan. “Maafkan saya, Pak, kalau lancang. Tapi saya mohon… hentikan acara ini.”
“Hentikan?” Randi terkekeh sinis. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani menghentikan acara pertunangan anak saya?”
Emosi Randi nyaris meledak ketika sebuah tangan menahan lengannya.
“Ran, sabar,” ucap Fadi yang sudah berdiri di sampingnya. “Jangan terpancing. Tamu kita masih banyak.”
“Tapi lihat dia, Fad!” Randi menunjuk Rian. “Dia datang, teriak-teriak, dan mempermalukan keluarga kita!”
“Tenang dulu,” jawab Fadi lebih rendah, mencoba menjaga suasana.
Belum sempat situasi mereda, suara tua namun tegas terdengar dari samping.
“Rian?”
Rian menoleh cepat. Matanya membulat.
“Kakek…” Setengah berlari, Rian menghampiri Kakek Doni, suaranya bergetar, emosinya tumpah tanpa filter.
“Kakek kenapa pergi nggak kabarin Rian? Terus… apa ini semua?” napasnya memburu. “Bukannya Kakek tahu Rian menyukai Jelita? Kenapa acara ini dibiarkan? Setidaknya Kakek harus bilang ke Rian, Kek…”
Suara Rian cukup keras hingga menarik perhatian banyak orang. Beberapa kepala menoleh ke arah Jelita. Gadis itu berdiri kaku, wajahnya pucat, jelas terkejut dengan kekacauan yang terjadi.
Nama putri kesayangannya disebut begitu saja di hadapan umum membuat Fadi akhirnya melangkah maju. Tatapannya tajam, nadanya menahan amarah.
“Apa maksudmu menyebut-nyebut nama anak saya?” tanyanya dingin.
Rian terdiam. Bingung sudah pasti. Jika pria ini ayahnya Jelita, lalu pria pertama tadi, siapa? Bibirnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar.
Sebelum situasi semakin panas, Randi kembali bicara, kali ini dengan suara lebih keras agar semua mendengar.
“Cukup!” ucapnya tegas. Ia menatap Rian penuh selidik. “Anak yang bertunangan hari ini bukan Jelita.”
Rian membeku.
“Apa…?” suaranya lirih.
“Yang bertunangan hari ini adalah putri saya,” lanjut Randi, menunjuk ke arah seorang gadis anggun yang berdiri tak jauh dari panggung. “Yumna.”
Beberapa tamu mengangguk, bisik-bisik kembali terdengar, kini dengan nada berbeda.
“Calon suaminya adalah Dokter Dika,” sambung Randi, menunjuk pria muda berjas rapi yang sejak tadi berdiri canggung di sisi Yumna. “Dokter mata terbaik di rumah sakit ini.”
Dunia Rian seakan runtuh seketika. Bukan karena kehilangan, tapi karena malu yang menghantam keras.
“Jadi… ini bukan…” napasnya tercekat. Wajahnya memerah, matanya menunduk.
“Maafkan saya…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Fadi menatap Rian lekat-lekat. Amarah jelas masih ada di sorot matanya, namun ia menahannya. Tidak sepatah kata pun keluar.
Kakek Doni segera melangkah ke depan, berdiri di antara mereka.
“Sudah,” ucapnya tenang namun berwibawa. “Ini hanya salah paham. Nanti kita urus baik-baik.”
Ia menepuk bahu Rian pelan. “Sekarang duduklah dulu. Jangan bikin suasana makin runyam.”
Kakek Doni lalu menoleh ke arah MC dan keluarga besar. “Acaranya dilanjutkan.”
Kemudian ia menggandeng lengan Rian, mengajaknya ke barisan kursi keluarga.
“Duduk sama Kakek,” ujarnya.
Rian mengangguk lemah. Baru ketika sudah duduk, ia teringat satu hal. Ia menoleh ke belakang, mencari satu wajah.
“Aldi…” panggilnya pelan.
Aldi yang sejak tadi berdiri kebingungan segera menghampiri dan duduk di samping Rian.
Lampu kembali meredup, musik kembali dimainkan, acara berlanjut seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun bagi Rian, dunia sudah terasa berbeda.
Karena meski Jelita bukan yang bertunangan hari itu, perasaannya telah terlanjur terbuka bahkan di hadapan seluruh orang.
Dan Jelita… kini tahu.
“Siapa dia, Kak?” tanya Bunga dengan nada penasaran. Sorot matanya tertuju pada pria yang kini duduk di barisan keluarga, tepat di samping Kakek Doni. Meski wajahnya masih tenang, rasa ingin tahunya jelas tak bisa disembunyikan.
Di sisi lain, Aqilla ikut condong ke arah Jelita, berbisik pelan, “Kak… mukanya kayak familiar gitu. Orang dari kampung Kakek, ya?”
Jelita yang sejak tadi menjadi pusat perhatian tak langsung menjawab. Ia menunduk, jemarinya saling bertaut di pangkuan. Detak jantungnya belum sepenuhnya kembali normal.
“Iya,” jawabnya akhirnya singkat, tanpa menoleh.
“Hah? Iya doang?” Aqilla mendelik kecil. “Siapa sih dia, Kak?”
Namun Jelita memilih diam. Bukan karena tak ingin menjawab, melainkan karena ia sendiri belum tahu harus berkata apa. Banyak mata mengarah ke mereka. Beberapa terang-terangan, beberapa lagi berpura-pura tak memperhatikan. Ia bisa merasakan beban tatapan itu, meski tak satupun berani menilai dengan suara keras.
Bunga menatap putrinya lekat-lekat. Naluri seorang ibu membuatnya menangkap keganjilan itu. Namun ia memilih menahan pertanyaan lanjutan. Waktu dan tempat bukanlah saat yang tepat.
Tak lama, MC kembali mengambil alih acara. Suasana perlahan kembali cair. Prosesi pertunangan Yumna dan Dokter Dika berjalan khidmat. Tepuk tangan mengisi ruangan ketika cincin disematkan, senyum-senyum kembali dipasang, dan kamera-kamera kembali mengabadikan momen bahagia itu.
Rian duduk tegak, namun rasanya seperti duduk di atas bara. Kepalanya tertunduk, pikirannya penuh penyesalan. Malu menghantamnya bertubi-tubi. Ia bahkan tak berani menoleh ke arah Jelita, meski ia tahu gadis itu ada tak jauh darinya.
Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Kakek Doni yang menjadi satu-satunya orang yang memberinya rasa aman saat ini. Pria tua itu hanya menepuk punggung tangannya pelan, seolah berkata, tenang, nanti.
Acara akhirnya mencapai penghujung. Doa dipanjatkan, para tamu mulai berdiri, saling bersalaman, dan beranjak meninggalkan ruangan. Suasana kembali ramai oleh obrolan ringan dan tawa.
Saat itulah Fadi berdiri.
Pandangan matanya langsung tertuju pada Rian.
“Rian,” panggilnya dengan suara datar namun tegas.
Rian tersentak. Tubuhnya refleks berdiri. Aldi ikut berdiri, namun Fadi hanya mengangkat tangan.
“Kamu tunggu sebentar,” ucapnya pada Aldi. “Rian ikut saya.”
Nada itu bukan ajakan. Itu perintah.
Wajah Rian semakin pucat. Tenggorokannya terasa kering. Ia menoleh singkat ke arah Kakek Doni, yang hanya tersenyum sambil mengangguk kecil, memberi isyarat agar ia menurut.
Rian melangkah mengikuti Fadi, meninggalkan ruangan utama menuju lift dan menekan angka 7. Tiba di lantai yang dimaksud, mereka berjalan di lorong samping yang lebih sepi. Setiap langkah terasa berat. Rasa takut dan malu bercampur menjadi satu. Ia tahu, pria yang berjalan di depannya itu sedang menahan banyak hal, seperti amarah, kekecewaan, dan mungkin juga kekhawatiran sebagai seorang ayah.
Di belakang mereka, Jelita memperhatikan punggung Rian yang menjauh.
Dadanya terasa sesak.
“Papa nggak akan menyakiti dia.” Bunga tiba-tiba datang, menepuk bahunya pelan. Bunga tidak sendiri, melainkan bersama dengan Randi dan juga Silvia.
“Papa hanya ingin tahu, seberapa pantas dia bisa menjadi pendamping Kakak,” lanjut Bunga.
Jelita hanya diam, tidak menanggapi ucapan mamanya. Ia masih diam, menatap pintu yang sudah sepi itu.
“Kalau Om, ya, paling sentil dia dikit-dikit. Udah datang nggak kasih salam, hampir hancurin acara kita. Eh, malah nyatain perasaan ke kamu,” ucap Randi.
“Tapi dia keren, lho. Langsung lari nyusul kesini pas dengar ada acara pertunangan. Takut kalau itu Jelita yang lamaran,” sambung Silvia.
“Nggak jadi dilangkahi Yumna kayaknya ini,” goda Silvia yang akhirnya membuat ketiga orang tua itu tertawa, tapi tidak dengan Jelita yang masih saja diam, dengan seribu pikiran.
Menunggu Rian diospek Fadi🤭🤭
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50