Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Perempuan Sulung
Aku pernah berpikir, menjadi anak sulung berarti harus selalu kuat.
Tidak boleh menangis terlalu lama. Tidak boleh mengeluh terlalu keras. Tidak boleh runtuh lebih dulu dari yang lain.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa mendengar kalimat itu.
“Kamu kan anak pertama, Alya. Harus jadi contoh.” Dan aku menurut.
Aku tumbuh dengan tanggung jawab yang bahkan belum sepenuhnya kumengerti. Saat Laras masih bisa menangis sepuasnya, aku harus belajar diam. Saat Dimas bisa marah dengan lantang, aku harus belajar menahan emosi. Saat Raka masih bebas bermanja, aku sudah belajar menjadi penopang.
Namun tak ada yang pernah bertanya,
“Kalau Alya capek, siapa yang menenangkan?”
Hari itu, aku kembali ke rumah orang tua. Langit Bandung mendung sejak siang. Udara terasa pengap dan dingin bersamaan. Di ruang tamu, Ibu duduk sendirian. Wajahnya terlihat lebih tirus dari terakhir kali aku melihatnya.
“Alya,” sapanya pelan.
Aku langsung menghampiri dan memeluknya. Tubuhnya terasa lebih kecil dari yang kuingat.
“Ibu kenapa sendirian?”
“Ibu biasa saja. Yang lain di kamar,” jawabnya.
Kami duduk berdua di ruang tamu. Sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah menghitung sisa-sisa waktu yang masih kami miliki sebagai keluarga utuh dulu.
“Ayah gimana, Bu?” tanyaku akhirnya.
Ibu menunduk. “Masih sama. Jarang pulang ke rumah lamanya. Lebih sering di luar.”
Aku mengangguk pelan. Jawaban itu seperti pisau kecil yang terus mengiris perasaanku sedikit demi sedikit. Ayah semakin menjauh. Dan kami hanya bisa menerima itu sebagai kenyataan yang tak bisa ditawar.
Tak lama kemudian, Laras keluar dari kamar. Perutnya semakin besar. Langkahnya pelan.
“Kak,” panggilnya.
Aku tersenyum dan berdiri menghampirinya. “Capek ya? Duduk sini.”
Ia menurut. Saat aku membantu merapikan bantal di punggungnya, aku merasakan getaran kecil dari perutnya. Gerakan itu membuat hatiku menghangat sekaligus nyeri pada waktu yang sama.
“Bang Dimas di mana?” tanyaku.
“Masih kerja,” jawab Laras. “Katanya lembur.”
Aku mengangguk. Lalu mataku mencari satu sosok lain. “Raka?”
Ibu menjawab, “Di kamarnya. Seharian main game. Jarang keluar.”
Aku menghela napas. Anak bungsu itu makin sering mengurung diri.
Tanpa sepatah kata, aku berjalan menuju kamar Raka. Pintu tertutup. Aku mengetuk pelan.
“Ka? Ini Kak Alya.”
Tak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi. Lebih keras. “Raka, buka.”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. Raka berdiri di baliknya, wajahnya terlihat lelah, matanya sayu.
“Kak… kenapa?”
Aku menatap kamar yang gelap itu. Hanya diterangi cahaya layar komputer. “Kamu dari pagi di dalam terus?”
Ia mengangkat bahu. “Di luar rame.”
Aku tak memaksa. “Keluar sebentar. Ibu di depan.”
Ia terdiam, lalu mengangguk pelan.
Saat kami kembali ke ruang tamu, aku kembali duduk di antara Ibu dan Laras. Raka duduk agak menjauh. Semua diam. Tak ada yang benar-benar tahu harus memulai percakapan dari mana.
Luka ini terlalu besar untuk dibicarakan sembarangan.
“Alya,” Ibu tiba-tiba memanggil namaku, “kamu capek, ya?”
Pertanyaan itu terasa menghantam dadaku.
Aku tersenyum kecil. “Nggak, Bu.”
Ibu menatapku lama. “Sejak dulu kamu selalu bilang nggak apa-apa.”
Aku menunduk. Jari-jariku saling menggenggam erat. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini kukunci rapat.
“Ibu cuma mau Kamu bahagia, Ly,” lanjut Ibu. “Di rumah ini, di rumahmu sendiri… di manapun.”
Tenggorokanku tercekat. Aku ingin berkata bahwa aku lelah. Aku ingin berkata bahwa aku sering merasa sendirian. Aku ingin berkata bahwa pernikahanku tak seindah yang orang kira.
Tapi yang keluar hanya, “Iya, Bu.”
Laras menatapku dengan mata berkaca-kaca. Raka menunduk. Dan Ibu menghela napas panjang.
Di momen itu aku sadar aku sedang menjadi sandaran untuk semua orang,vsementara kakiku sendiri gemetar.
Malam itu, saat aku pulang ke rumah bersama Ardi, pikiranku masih penuh dengan wajah-wajah keluargaku. Ardi menyetir seperti biasa, diam, fokus pada jalan.
“Keluargamu gimana?” tanyanya singkat.
“Masih sama,” jawabku.
Kami kembali terdiam.
Saat sampai rumah, aku langsung masuk kamar. Duduk di tepi ranjang, menatap cermin. Perempuan di dalam pantulan itu terlihat kuat… tapi matanya menyimpan terlalu banyak luka.
Aku bertanya pelan pada diriku sendiri,
“Kalau aku runtuh nanti… siapa yang akan menopangku?”
Malam semakin larut, tapi mataku tak juga mau terpejam. Suara napas Ardi di sampingku terdengar teratur, seolah dunia baik-baik saja. Seolah tak ada luka yang mengendap di dadaku. Aku menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong, mencoba memahami perasaan yang terus berputar-putar seperti pusaran tak berujung.
Sebagai anak sulung, aku terbiasa menyimpan segalanya sendiri. Bahkan sejak kecil, saat Ayah dan Ibu mulai sering bertengkar, aku belajar untuk tidak menambah keributan. Aku membantu Ibu di dapur, menjaga Laras yang waktu itu masih kecil, menenangkan Dimas yang keras kepala, dan menggendong Raka saat ia masih belajar berjalan.
Aku tumbuh bersama tanggung jawab itu.
Namun malam ini, rasa sesak itu kembali menyergap. Aku teringat wajah Ibu yang menua lebih cepat dari usianya. Terbayang Laras yang menguatkan diri demi calon bayinya. Dimas yang memikul beban sebagai tulang punggung kedua keluarga. Dan Raka… anak bungsu yang mulai kehilangan arah.
Semua itu seperti batu besar yang bertumpuk di dadaku.
Aku membalikkan tubuh perlahan, menatap wajah Ardi yang tertidur pulas. Aku mencintainya. Setidaknya aku yakin dulu begitu. Tapi akhir-akhir ini, cinta itu terasa seperti rumah yang atapnya bocor. Masih berdiri, tapi tak lagi memberi rasa aman sepenuhnya.
Aku ingin membangunkannya. Ingin berkata, “Aku capek.” Ingin berkata, “Aku butuh kamu.” Ingin berkata, “Aku takut.” Tapi bibirku terkunci. Seperti biasa.
Esok paginya, aku terbangun lebih awal. Seperti rutinitas yang sudah menempel padaku. Aku bangkit tanpa membuat suara, menuju dapur. Menyeduh kopi, menggoreng telur, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk Ardi. Tanganku bergerak otomatis, tanpa perintah.
Saat Ardi keluar kamar, ia menatap meja makan. “Kamu bangun pagi sekali.”
Aku tersenyum kecil. “Biasa.”
Kami makan dalam diam. Lagi-lagi diam. Aku tak tahu kapan terakhir kali kami berbincang panjang tanpa diselingi kesunyian yang kaku.
“Aku pulang telat,” katanya setelah selesai makan.
Aku mengangguk. “Kerja?”
“Iya.”
Satu kata itu terasa berat. Tak ada lagi cerita, tak ada lagi keluhan, atau tawa kecil seperti dulu.
Setelah Ardi pergi, aku kembali duduk sendirian di ruang tamu. Tanganku menggenggam ponsel. Ada pesan dari Laras.
“Kak, nanti sore bisa ke rumah Ibu lagi? Aku pengen cerita.”
Aku membaca pesan itu berulang kali. Dadaku kembali terasa penuh.
“Saya datang,” balasku singkat.
Sore hari, aku kembali ke rumah orang tua. Langit Bandung masih muram. Ibu sedang menyapu halaman ketika aku datang.
“Alya,” panggilnya dengan senyum lelah.
Aku membantu mengambil sapu dari tangannya. “Biar Alya saja, Bu.”
Kami menyapu bersama. Saat itulah Laras keluar dari dalam rumah, wajahnya tampak pucat.
“Kak…” suaranya bergetar.
Aku langsung menghampirinya. “Kenapa?”
Ia menunduk, tangan menggenggam ujung bajunya. “Aku takut, Kak.”
“Sama apa?”
“Takut nggak bisa jadi ibu yang baik…”
Aku memeluknya tanpa banyak tanya. Tubuhnya gemetar di pelukanku. Tangisnya pecah perlahan, tertahan, seperti ia juga tak ingin membuatku khawatir.
“Semua ibu pasti pernah takut, Ras,” bisikku. “Tapi kamu kuat.”
“Padahal Kak Alya lebih capek dari aku…” katanya di sela tangis.
Kalimat itu menghantam jantungku telak. Aku menggeleng pelan. “Nggak. Kita sama-sama capek.”
Dari teras, Raka memperhatikan kami dalam diam. Matanya sembab. Aku memanggilnya dengan lirih. Ia mendekat perlahan.
“Kak Alya…” suaranya pelan. “Aku nggak tahu mau jadi apa nanti.”
Aku mengusap kepalanya. “Nggak apa-apa kalau belum tahu. Tapi kamu jangan menyerah dulu.”
Ia mengangguk, meski matanya masih dipenuhi kebingungan.
Malam itu, kami duduk bersama di ruang tamu: aku, Ibu, Laras, dan Raka. Untuk pertama kalinya, keheningan terasa berbeda. Bukan lagi sunyi yang memisahkan, tapi sunyi yang mencoba menyatukan luka-luka kami.
“Alya,” tutur Ibu pelan, “kalau kamu capek… bilang.”
Aku menatap Ibu lama. Tiba-tiba dadaku runtuh. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
“Alya takut…” suaraku patah. “Takut kalau Alya berhenti kuat, semua ikut jatuh.”
Ibu memelukku erat. “Kamu bukan tiang satu-satunya, Nak.”
Di pelukan itu, untuk pertama kalinya aku merasa boleh lemah.
Malam itu aku pulang dengan mata bengkak. Ardi belum ada di rumah. Aku masuk kamar, duduk di tepi ranjang. Tanganku gemetar memegang ponsel. Ada pesan dari Ardi.
Aku pulang pagi.”
Aku menatap layar lama. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku tidak membalasnya.
Aku berbaring, memeluk bantal kosong di sampingku. Dalam hati aku bertanya,
“Apa aku masih menjadi rumah baginya… atau hanya tempat singgah yang perlahan ditinggalkan?” Sebagai perempuan sulung, aku terbiasa menjadi sandaran. Tapi malam ini, aku sadar bahkan sandaran pun bisa rapuh. Dan luka itu… sedang tumbuh diam-diam di dalam diriku.