Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Hidup berjalan seperti biasanya, rutinitas juga berjalan sewajarnya.Namun hari Minggu pagi ini menjadi titik perubahan karena Melodi harus pergi menemui keluarga calon suaminya, yaitu Pak Ruli dan Bu Gita.
Melodi bangun lebih pagi dari biasanya. Rasa canggung dan malas bercampur jadi satu. Ia duduk di tepi kasur sambil menghela napas panjang.Melodi keluar dari kamar setelah bersiap—gaun hitam pemberian Bu Gita terpasang rapi, heels maroon pendek, rambut bergelombang terurai. Untuk sesaat rumah terasa sunyi, seolah semua menunggu ia muncul.
Di ruang tengah, Rigen, abang pertamanya yang sejak kecil menjadi pengganti ayah bagi Melodi, menghentikan aktivitasnya dan langsung menatap adiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dengan nada hangat tapi tetap usil, ia berkata,
“Wah masyaAllah… adik Abang cantik sekali.”
Melodi mendengus.
“Nggak usah ngeledek.”
Rigen tersenyum tipis—senyum yang biasanya ia keluarkan saat menahan rasa khawatir.
“Siapa yang ngeledek? Abang ngomong dari hati, Dek.”
Melodi mengalihkan pandangan.
“Yaudah… makasih.”
Rigen mendekat, menepuk pelan bahu Melodi seperti ayah menenangkan putrinya.
“Nggak usah cemberut. Bismillah aja, ya. Abang di sini.”
Melodi hanya berusaha tersenyum melihat Rigen yang sejak tadi mencoba menenangkan dirinya. Walaupun hatinya gelisah, ia tetap mengikuti langkah keluarganya. Melodi, ibu, dan Rigen bergegas menuju mobil untuk pergi ke restoran—tempat pertemuan yang sudah disepakati dengan keluarga calon.
Di sepanjang perjalanan, Melodi duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Dengan setengah hati, ia menyiapkan dirinya untuk pertemuan itu. Jalanan yang ramai tak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa canggung yang terus menghantui.
Mobil berhenti di depan restoran. Ibu menoleh ke belakang.
“Siap, Nak?”
Melodi mengangguk meski wajahnya tampak ragu.
Melodi memasuki ruangan VIP restoran itu dengan langkah ragu. Begitu pintu terbuka, ia langsung melihat ibu Gita, Pak Ruli, dan satu laki-laki brewokan yang dulu sempat ikut ke rumahnya.
Melodi refleks menelan ludah.
Astaghfirullah… masa iya aku mau dijodohkan sama cowok tua brewokan gitu…
Tatapannya tertuju penuh penolakan pada laki-laki tersebut.
Ia spontan menggandeng erat tangan Rigen dan membisik, penuh panik,
“Abang… masa iya Melodi harus nikah sama cowok prindafan gitu…”
(bahasa Melodi untuk “seram/menyeramkan”)
Rigen langsung menahan tawa dan menepuk tangan adiknya.
“Shutt… udah, duduk dulu. Kasih senyum yang manis. Kasihan ibu, jangan bikin suasana tegang.”
Melodi menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya mengikuti Rigen menuju meja—meski hatinya masih menjerit tidak rela.
“Masyaallah cantik sekali, Melodi. Baju dari Tante cocok untuk kamu,” ucap Gita ramah sambil menatap Melodi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Melodi hanya tersenyum kecil. “Makasih, Tante…”
Ia kemudian duduk pelan di kursi yang sudah ditarikkan Rigen.
Pria brewokan yang tadi Melodi kira calon suaminya duduk di samping Pak Ruli, terlihat tenang sambil menyesap air putih.
Melodi kembali menggenggam tangan Rigen di bawah meja, berbisik pelan tanpa suara.
Abangnya menepuk lembut punggung tangan Melodi untuk menenangkannya.
Pak Ruli memulai percakapan terlebih dahulu.
“Maaf ya kalau suasananya agak kaku, Melodi. Kami hanya ingin pertemuan ini berjalan baik.”
Gita menimpali sambil tersenyum lembut,
“Iya, Nak. Santai saja. Kita hanya mau saling mengenal dulu.”
Melodi mengangguk sopan walaupun gelisahnya jelas terlihat.
Percakapan sempat hening sebelum Pak Ruli menoleh pada pria brewokan itu.
“Adi, coba kamu telepon Gilang. Sudah sampai mana dia?”
Melodi yang sedang merapikan duduknya langsung berhenti.
Kepalanya menoleh perlahan.
“Loh… bukannya ini yang mau dijodohkan sama adik saya?” ucap Rigen bingung sambil menunjuk Adi.
Adi langsung mengangkat kedua tangannya cepat-cepat.
“Saya udah punya istri, Bang,” jawabnya sambil terkekeh canggung. “Saya managernya Gilang.”
Melodi yang sedari tadi tegang langsung terbelalak.
“Gilang…?” gumamnya hampir tidak bersuara.
Rigen memandang adiknya dengan tatapan ‘lho, serius?’.
Ibu Melodi hanya tersenyum menenangkan.
Gita tertawa kecil, “Iya, Nak. Yang mau ketemu kamu itu Gilang, bukan Mas Adi.”
Adi kembali menambahkan sambil menekan layar ponselnya,
“Ini saya telepon dulu ya, biasanya kalau telat karena fans suka cegat di parkiran.”
Melodi hanya bisa menatap meja, antara kaget, bingung, dan tidak percaya.
Nama itu terlalu familiar.
Terlalu dekat dengan kejadian semalam…
Dan terlalu jauh dari perkiraannya selama ini.