NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : HANIE - ALICIA' I WANT TO BE HERO!

Pagi di Elder selalu disambut oleh kabut tipis yang menyelimuti ladang, memantulkan warna emas pucat dari sinar matahari yang baru merangkak naik. Alicia, mengenakan gaun panjang berwarna gelap dengan aksen putih gading yang kontras, sedang berdiri di halaman belakang rumah mereka. Udara pagi yang segar adalah teman latihannya.

Gerakan pedangnya masih canggung, namun tekadnya terlihat jelas di mata ungu yang tajam. Ia mengayunkan bilah kayu itu ke bawah, menciptakan desir pelan yang memecah keheningan. Ayunan demi ayunan, ia mencoba mengingat postur yang pernah ia lihat dari ayahnya — tegap, seimbang, dan penuh perhitungan.

"Ayunan yang bagus, Nak," sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu kayu. Ayahnya, sosok tegap yang kini lebih akrab dengan cangkul daripada pedang bermata tajam, tersenyum sambil membawa ember kayu besar. "Sedikit lebih cepat di pertukaran posisi kaki. Ingat, keseimbangan adalah segalanya, bahkan saat menyerang."

Alicia menurunkan pedangnya, menghela napas. "Selamat pagi, Ayah. Aku masih belum bisa mendapatkan 'keseimbangan sempurna' yang Ayah ceritakan."

"Itu datang seiring waktu, bukan hanya dengan latihan, tapi juga dengan pemahaman. Pedang adalah perpanjangan dari jiwamu," jawab Ayah, meletakkan embernya. "Tapi cukup untuk pagi ini. Kedai akan ramai sebentar lagi. Ada beberapa pelancong baru yang baru saja melintasi Jembatan Harapan."

Alicia mengangguk. Meletakkan pedang latihnya di dinding kayu, ia bergegas masuk. Pergantian dari pakaian latihan ke pelayan kedai adalah transisi yang mulus.

Kedai mereka sederhana, namun hangat. Meja-meja kayu tua yang dipoles bersinar di bawah cahaya jendela. Tak lama kemudian, pintu kedai berderit. Seorang pria bertubuh besar dengan baju zirah lusuh dan seorang wanita dengan jubah hijau lumut masuk. Mereka tampak kelelahan.

"Selamat datang di Elder," sapa Alicia dengan senyum ramah, mengambil kain lap dan membersihkan remah-remah roti di meja terdekat. "Kopi atau teh hangat? Kami punya pai apel yang baru saja keluar dari oven."

Pria berzirah itu mendudukkan diri dengan bunyi 'gedebuk'. "Teh terkuat yang kau punya, Nona. Dan semua pai apel yang bisa kuterima. Kami baru saja berminggu-minggu di jalan. Bisakah kau tolong ceritakan tentang..."

"Tunggu, teman," potong wanita berjubah itu dengan suara yang lebih lembut. Ia menoleh ke Alicia. "Kami mendengar rumor tentang 'Witchwood' di sebelah barat. Apakah penduduk desa di sini benar-benar menghindari hutan itu?"

Alicia meletakkan cangkir teh di depan mereka, uapnya mengepul. Matanya bersinar karena ketertarikan, namun ia mempertahankan ekspresi profesional. "Witchwood? Ya, itu benar. Sudah lama tidak ada yang berani masuk ke sana. Ibuku selalu mengatakan bahwa hutan itu memiliki energi kuno yang kuat, yang terbaik adalah membiarkannya sendiri. Tapi... para petualang sering membicarakannya."

Saat ia menyebut Ibunya, dari dapur terdengar suara lembut. Ibunya keluar sambil membawa nampan berisi roti panggang.

"Nasihat yang bijak, Nak. Beberapa hal di dunia ini adalah misteri yang harus tetap menjadi misteri," kata Ibunya, melirik ke arah Alicia dengan senyum penuh arti. "Biarkan orang dewasa yang menyelesaikan masalah 'Witchwood' saat ini."

Alicia hanya tersenyum tipis, mengerti kode di balik ucapan Ibunya. Ibunya tahu betul, di balik keheningan Elder, ada gema cerita lama yang bergetar di dalam diri putrinya.

Sambil mengisi ulang air minum mereka, Alicia tidak bisa menahan diri untuk melirik pedang lama Ayahnya yang tergantung di dinding. Ia membayangkan dirinya berdiri di Witchwood, menghadapi misteri kuno, bukan hanya menyajikan teh hangat.

"Apakah ada yang salah, Nona muda?" tanya pria berzirah, menyadari tatapan Alicia yang tertuju pada pedang itu.

Alicia tersentak kecil, lalu tersenyum lagi. "Tidak ada. Hanya... pedang yang indah, bukan? Itu adalah pedang Ayahku. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana rasanya memegang bilah sungguhan. Apakah lebih berat dari pedang latihku?"

"Jauh lebih berat, dan jauh lebih berbahaya. Kau akan tahu ketika waktunya tiba," jawab pria itu. Ia mengambil sepotong pai apel, matanya yang lelah terlihat geli. "Tapi untuk saat ini, kurasa kau lebih baik dengan pai apel buatan Ibumu daripada bilah besi yang dingin."

Alicia tertawa pelan, menerima ucapan itu dengan lapang dada. Ia kembali ke konter, membantu Ibunya mencatat tagihan.

Malam harinya, setelah semua orang pergi dan pintu dikunci, Alicia kembali ke halaman belakang. Cahaya bulan adalah satu-satunya penerang. Ia mengambil pedang latihnya lagi. Ayunan kali ini terasa berbeda.

Lebih cepat di pertukaran posisi kaki.

Ia mendengar nasihat Ayahnya dan mengaplikasikannya. Gerakannya sedikit lebih cair, lebih cepat. Ia tidak lagi hanya meniru, tetapi mulai merasa.

"Suatu hari nanti," bisiknya pelan pada udara malam yang dingin, menatap ke arah bayangan gelap Jembatan Harapan yang menjulang jauh, "aku akan melangkah keluar. Dan bilah sungguhan itu akan terasa tepat di tanganku."

Kemudian, ia melanjutkan latihannya, seorang gadis dari Elder yang menunggu fajar petualangannya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mentari sore di Elder mulai merangkak turun, memancarkan cahaya oranye kemerahan yang melukis bayangan panjang di halaman belakang. Alicia, dengan keringat membasahi pelipisnya, baru saja menyelesaikan sesi latihan pedang latihnya. Ia duduk di tangga kayu, mengelap bilah kayu itu dengan kain usang, matanya menatap intens pada sarung pedang Ayahnya yang terawat baik di gudang penyimpanan yang terbuka.

Tiba-tiba, suara dering lonceng kecil di pintu depan terdengar, menandakan tamu datang.

"Alicia, tolong layani! Ibu sedang menimbang gandum di dapur," seru suara seorang wanita dari dalam.

Alicia menghela napas, menyingkirkan pedang latihnya dan bergegas ke kedai.

Dua sosok asing berdiri di dekat konter. Yang satu adalah seorang musafir tua berjanggut putih dengan tongkat kayu yang diukir rumit. Yang lain adalah seorang pemuda tampan dengan jubah kulit yang tampak sering dipakai dalam perjalanan jauh. Keduanya tampak seperti baru saja menempuh perjalanan yang melelahkan.

"Selamat sore," sapa Alicia, senyum profesionalnya kembali terpasang. "Ada yang bisa saya bantu?"

Musafir tua itu melangkah maju. "Kami butuh penginapan dan makan malam, Nona. Dan yang paling penting, kami mencari peta tua. Peta ke lokasi yang disebut 'The Whispering Falls.'"

Alicia mengerutkan kening. Ia belum pernah mendengar nama itu. "Whispering Falls? Maaf, Tuan, tapi saya tidak familier dengan nama tempat itu. Apakah itu jauh dari Elder?"

Pemuda itu bersandar di konter, matanya yang tajam meneliti Alicia. "Kau tampaknya bukan gadis desa biasa, Nona. Mata ungu itu, dan sikapmu... Kau tahu sejarah daerah ini, bukan?"

Alicia merasakan pipinya sedikit memanas karena diperhatikan. Ia menjaga suaranya tetap tenang. "Saya lahir di sini, Tuan. Tapi saya juga banyak mendengar cerita dari orang tua saya. Tentang peta, mungkin Ayah saya bisa membantu. Dia mengumpulkan barang-barang kuno."

Musafir tua itu mengangguk penuh harap. "Itu akan sangat membantu. Kami sudah mencari selama berminggu-minggu."

Tak lama kemudian, Ayah Alicia muncul dari belakang, membawa sebuah gulungan perkamen yang diikat. Ia telah mendengar percakapan itu.

"Whispering Falls," kata Ayah dengan suara rendah, menatap musafir tua itu. "Itu bukan tempat, Kawan. Itu adalah nama lama dari sebuah gerbang. Gerbang menuju reruntuhan kuno di puncak Mount Seraph."

Kedua musafir itu saling pandang dengan kegembiraan yang tertahan.

"Dan Anda tahu lokasinya?" tanya pemuda itu bersemangat.

Ayah Alicia terdiam sejenak, melirik sekilas ke arah Alicia. "Saya punya gambar lama yang menunjukkan lokasinya. Tapi itu bukan perjalanan yang mudah. Jalan setapaknya telah hilang ditelan waktu, dan hutan di sana tidak bersahabat."

Alicia, yang berdiri di samping Ayahnya, mencondongkan tubuh sedikit. Rasa penasaran mengalahkannya. "Ayah, apakah itu tempat yang sering diceritakan dalam buku-buku kuno kita?"

Ayahnya menatapnya dengan pandangan penuh makna, campuran antara teguran lembut dan pengertian. "Ya, Nak. Tempat di mana legenda bertemu kenyataan."

Pemuda itu memanfaatkan momen ini. Ia menatap Ayah Alicia. "Kami akan membayar berapa pun. Kami hanya perlu petunjuk awal."

Ayah Alicia tersenyum tipis. "Bukan uang yang aku butuhkan, Kawan. Tapi... janji. Jika kamu menemukan sesuatu yang berbahaya di sana, sesuatu yang bisa mengganggu kedamaian Elder, kamu harus kembali dan memberi tahu kami."

Musafir tua itu meletakkan tangannya di dada. "Kau mendapatkan kata-kata kami. Kami adalah penjelajah, bukan perusak."

Ayah Alicia kemudian membentangkan perkamen tua itu di konter. Alicia ikut mendekat, mata ungunya meneliti setiap detail goresan tinta yang samar. Peta itu menunjukkan jalur berliku, sebuah tanda air yang sudah usang, dan di puncaknya, sebuah lingkaran dengan simbol yang tampak seperti dua sayap yang patah.

"Jalur ini dimulai dari tebing di dekat Hope Bridge. Ikuti sungai yang mengalir deras, dan di mana sungai itu terbelah menjadi dua—itulah petunjukmu," jelas Ayah.

Kedua musafir itu menyalin petunjuk itu dengan tergesa-gesa. Sebelum mereka pergi untuk bermalam, pemuda itu kembali menatap Alicia.

"Terima kasih atas keramahan dan bantuannya, Nona," katanya. "Semoga takdir mempertemukan kita lagi."

Alicia hanya tersenyum samar, tidak tahu apakah ia ingin bertemu dengan mereka lagi. Yang pasti, pikirannya kini dipenuhi oleh Mount Seraph, reruntuhan kuno, dan Whispering Falls.

Setelah kedai kembali sepi, Alicia membantu membereskan meja. Ia berdiri lama di depan peta yang kini digulung kembali.

"Ayah," katanya lembut, tanpa menoleh. "Mengapa mereka begitu bersemangat mencari reruntuhan itu?"

Ayahnya mendekat, memeluknya dari belakang. "Setiap orang punya alasannya, Sayang. Ada yang mencari harta karun, ada yang mencari pengetahuan, dan ada pula yang mencari jawaban tentang siapa diri mereka sebenarnya."

"Dan mengapa kita tidak pernah pergi ke sana?"

Ayahnya menghela napas. "Karena kita sudah menemukan jawaban kita, Nak. Kita menemukannya di sini, di ladang ini. Tapi... aku tidak pernah melarangmu untuk mencari milikmu sendiri."

Alicia berbalik, menatap pedang lama yang tergantung di dinding. Kata-kata Ayahnya bergema di benaknya. Jantungnya berdetak kencang. Reruntuhan. Legenda. Jawaban.

Malam itu, Alicia tidak tidur nyenyak. Di tengah keheningan, ia membayangkan jalur tersembunyi di peta, dan bisikan air terjun kuno memanggil jiwa petualangnya yang selama ini tertidur.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Malam itu, Elder diselimuti keheningan yang tebal, hanya dipecahkan oleh suara jangkrik dan desauan angin. Alicia tidak bisa tidur. Peta di benaknya jauh lebih nyata daripada atap kayu di atas kepalanya.

Di bawah cahaya bulan sabit yang redup, ia berdiri di gudang Ayahnya. Jantungnya berdebar kencang, menabuh irama yang sama dengan petualangan yang memanggil. Tangannya terulur ke pedang tua yang tergantung di dinding—bukan bilah latih kayu, melainkan baja tempa yang berkilauan.

Pedang itu terasa dingin dan berat, jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Ia meletakkannya kembali. Itu bukan miliknya.

Sebagai gantinya, ia mengambil pedang latihnya dan menyelipkan pisau berburu kecil milik Ayahnya di balik sabuknya. Ia mengenakan jubah gelap dan membawa tas kecil berisi bekal. Ia harus keluar. Ia harus melihat ke mana sungai itu terbelah.

Melalui jendela dapur yang sedikit terbuka, Alicia menyelinap keluar, kakinya yang bersarung sepatu kulit bergerak tanpa suara di atas tanah berlumpur.

Ia berlari menyusuri jalan setapak menuju Jembatan Harapan, lalu berbelok ke tepi sungai yang dijelaskan Ayahnya. Air mengalir deras, memandu jalannya. Setelah berjalan cukup lama di bawah rimbun pohon yang gelap, ia akhirnya melihatnya: sungai itu terbelah, membentuk dua cabang yang mengalir ke arah yang berbeda.

Di antara pecahan air itu, samar-samar, ia melihat jejak kaki—jejak yang tampaknya baru.

Ia mengikuti jejak itu, yang membawanya ke sebuah celah tebing yang sempit. Saat ia masuk, hutan di sekitarnya terasa lebih tua, lebih gelap. Udara dipenuhi bau tanah basah dan sesuatu yang manis, namun menjijikkan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara-suara. Suara yang lebih berat dan dalam dari musafir pagi tadi.

Ia bersembunyi di balik sebongkah batu besar, mengintip. Di sana, di bawah cahaya bulan yang menembus celah pepohonan, musafir tua dan pemuda tadi sedang berdiri. Tapi mereka tampak... berbeda.

Kulit pemuda itu kini berwarna ungu tua, dan sepasang tanduk kecil menonjol dari dahinya. Musafir tua itu memiliki cakar panjang dan mata yang bersinar kuning. Mereka berbicara dalam bahasa yang terdengar seperti gerutuan dan desisan.

"Kau yakin peta ini benar?" geram pemuda bertanduk itu.

Musafir bercakar itu mendengus. "Pasti. Ini adalah Gerbang yang dicari oleh Raja Iblis. Kita hanya perlu mengorbankan—"

Ia berhenti. Kepala musafir bercakar itu bergerak cepat, menoleh langsung ke tempat persembunyian Alicia.

"Kita tidak sendirian," desisnya.

Jantung Alicia serasa berhenti. Ia ketahuan.

"Gadis kecil desa," kata pemuda bertanduk, menyeringai dengan gigi yang tampak terlalu tajam. "Mengapa kau berkeliaran sendirian di hutan pada malam hari?"

Alicia melompat dan mulai berlari, mengabaikan pedang latihnya yang jatuh. Dua makhluk itu mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan, langkah kaki mereka yang berat menghantam bumi. Ia bukan pelari yang handal. Dalam beberapa detik, ia merasa terpojok, punggungnya menabrak akar pohon yang besar.

Dua sosok itu mendekat, bayangan mereka yang aneh membayangi Alicia.

"Jangan lari. Ini akan lebih mudah jika kau diam," kata pemuda bertanduk, mengulurkan cakar.

Saat keputusasaan mencengkeramnya, sebuah bayangan lain bergerak cepat dari kegelapan di atas.

Sring!

Sebuah kilatan baja memotong udara.

Sosok itu mendarat lembut di antara Alicia dan para pengejarnya. Jubah hitam pekatnya berkibar seolah tanpa gravitasi, rambut putih peraknya terurai dari tudung. Di tangannya, sebilah bilah panjang melengkung, bukan pedang Eropa, melainkan katana yang ramping dan mematikan.

Ia tidak melihat ke belakang, tetapi suaranya yang lembut—namun penuh otoritas mutlak—mencapai telinga Alicia.

"Tutup matamu," perintahnya, suaranya seperti bisikan sutra yang dingin.

Alicia tertegun, terhipnotis oleh kehadiran tak terduga ini.

"Dan tutup telingamu," tambah sosok itu. "Sekarang."

Secara naluriah, Alicia patuh. Ia menekan telapak tangan ke telinga, memejamkan mata sekuat tenaga.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah neraka yang teredam. Ia hanya mendengar desing bilah yang cepat, diselingi oleh bunyi 'cuk' yang basah dan jeritan yang tidak manusiawi dan cepat mereda. Kecepatan aksinya luar biasa. Pertempuran itu berlangsung tidak lebih dari beberapa tarikan napas Alicia.

Tiba-tiba, keheningan total kembali menyelimutinya.

Alicia menunggu beberapa saat, gemetar. Perlahan, ia melepaskan tangan dari telinga dan membuka mata ungunya.

Ia sendirian.

Pemandangan di sekitarnya sunyi. Tidak ada mayat, tidak ada noda darah. Bahkan jejak kaki para demon itu telah hilang. Seolah-olah mereka tidak pernah ada. Wanita berjubah hitam itu juga lenyap, secepat kedatangannya. Hanya ada kebersihan yang menakutkan, dan rasa manis-manis dari bau yang terbakar di udara.

Alicia, masih terhuyung-huyung, melangkah maju. Ia menemukan bahwa ia berada di depan sebuah altar batu kuno. Di atas altar itu, terbaring sebuah gulungan perkamen yang kusam.

Itu adalah harta karunnya.

Dengan tangan gemetar, Alicia mengambil perkamen itu. Isinya dipenuhi simbol-simbol yang tidak ia mengerti, seperti gambar rune dan garis-garis astrologi. Kecewa karena tidak menemukan emas atau permata, ia tetap menggulungnya dan memasukkannya ke dalam tasnya. Ia berhasil. Ia membawa pulang bukti petualangannya.

Keesokan paginya, sinar matahari hangat masuk ke kamar Alicia. Ia terbangun oleh suara yang familiar.

"Alicia! Bangun, Nak. Ada apa ini?"

Kedua orang tuanya berdiri di sisi tempat tidurnya. Di tangan Ayahnya, ada gulungan perkamen kusam yang ia temukan.

Alicia bangkit, terkejut. "Ayah! Ibu! Itu... itu yang saya temukan."

Alicia menceritakan segalanya, dari menyelinap keluar, mengikuti jejak para musafir, hingga perubahannya menjadi makhluk-makhluk mengerikan, dan kemunculan wanita misterius berjubah hitam. Ia menceritakan momen horor di mana ia menutup mata dan telinganya, dan bagaimana semuanya bersih setelah itu.

Ibunya menghela napas panjang, sementara Ayahnya hanya memejamkan mata.

"Putriku sayang," kata Ibunya, suaranya penuh kelegaan dan kekhawatiran. "Kami lebih khawatir saat kami menemukan kamarmu kosong pagi ini. Perkemahan yang bersih... itu berarti kau diselamatkan oleh seorang ahli, seorang yang tidak ingin meninggalkan jejak."

Ayahnya membuka mata dan tersenyum sedih. "Kami sudah hidup dalam bahaya yang cukup, Nak. Kami meninggalkan kehidupan itu demi kedamaianmu. Dan sekarang, kau pergi mencarinya." Ia memegang tangan Alicia. "Aku tidak marah karena kau mengambil risiko. Aku hanya khawatir jika aku gagal melindungimu."

Alicia merasa bersalah. "Maafkan saya, Ayah, Ibu. Saya... saya hanya ingin tahu. Saya janji, saya akan tetap di rumah. Saya akan membantu di kedai dan ladang. Saya tidak akan mencari bahaya lagi."

Kedua orang tuanya saling pandang, lalu tersenyum—senyum yang penuh kelembutan dan perencanaan.

"Tidak, Sayang," kata Ibunya. "Kau tidak diciptakan untuk tetap tinggal di ladang. Dan kami tidak ingin menahan semangat yang kau warisi dari kami."

Ayahnya mengangguk. "Itu sebabnya, kami sudah membuat keputusan." Ia menunjuk ke perkamen di tangannya. "Gulungan ini adalah kunci untuk sesuatu yang lebih baik, lebih aman. Besok, kau akan berangkat. Kami akan menyekolahkanmu."

"Menyekolahkanku? Ke mana?" tanya Alicia, bingung.

"Ke Akademi Toura," jawab Ibunya, matanya berbinar bangga. "Akademi Toura. Tempat mereka mengajarkan sihir, pedang, dan sejarah yang benar. Di sana, kau bisa belajar bagaimana menghadapi bahaya tanpa menjadi mangsanya."

Mata Alicia melebar. Akademi Toura. Nama yang ia dengar dalam gumaman para petualang. Tempat legendaris di mana pahlawan-pahlawan baru dibentuk.

Kebahagiaan membanjiri dirinya. Ia melompat, memeluk kedua orang tuanya erat-erat. "Terima kasih! Terima kasih banyak!"

Ia akhirnya akan memulai petualangan, tetapi kali ini, bukan sebagai gadis desa yang menyelinap keluar. Ia akan pergi sebagai murid, siap untuk menciptakan kisahnya sendiri.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!