NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:578
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Identitas Sebenarnya

Bel besar yang ada di menara Akademi berguncang, suaranya yang dalam dan bergaung menandakan akhir dari pelajaran pertama yang menakutkan bersama Seraphine. Para murid baru, yang sebagian besar masih terkejut dengan gaya mengajar Seraphine, bergegas keluar dari auditorium.

Lyra dengan cepat merapikan catatannya. Dia tidak ingin membuang waktu. Dia harus segera bertemu Gilga untuk membahas strategi dan rencana Gilga mencari gudang Valerius.

Lyra keluar dari kelasnya dan berjalan menyusuri koridor yang ramai.

Dia bisa merasakan kehadiran yang konsisten di belakangnya. Lyra memperlambat langkah, dan kemudian berhenti.

Lyra berbalik, ekspresinya tenang dan dingin. Dia menatap pemuda calon Sword Vanguard itu dengan pandangan menyelidik.

"Tuan Pendragon,"

kata Lyra.

"Kenapa Anda mengikuti saya?"

Aen Pendragon tidak menunjukkan rasa malu. Dia berhenti tepat di depan Lyra, postur militernya sempurna.

"Itu bukan mengikuti, Nona Astrea,"

jawab Aen, matanya yang tajam menatap Lyra.

"Itu adalah langkah strategis. Aku melihat Mana yang tenang dan tekad yang kuat darimu. Dan aku mendengar pidatomu. Kau ingin lulus dalam satu tahun."

Aen langsung ke intinya.

"Jalan apa yang Lyra pilih dalam satu tahun ini untuk mengumpulkan poin sebanyak itu?"

Lyra menyeringai tipis. Dia menyukai kejujuran yang lugas. Dia membalas pertanyaan Aen dengan pertanyaan yang jauh lebih berbahaya.

"Sebelum aku menjawab, Tuan Pendragon. Aku punya pertanyaan untukmu. Sebagai calon Sword Vanguard Kerajaan, dan karena kau datang dari faksi militer paling terkemuka... apakah Aen tahu tentang seorang bocah yang masih sangat kecil sudah berada di tingkat Archmage?"

Aen menyipitkan mata. Pertanyaan itu terlalu spesifik, mengarah kepada dirinya. "Aku tidak tahu rumor apa yang kau dengar, Nona Astrea. Faksi militer tidak mencampuri urusan seperti itu..."

Lyra menghela napas, kecewa dengan kehati-hatian Aen. Dia tidak akan mendapatkan informasi militer dengan mudah.

Lyra kemudian menjawab pertanyaan Aen.

"Untuk lulus dalam satu tahun, aku tidak bisa mengandalkan ujian akademik saja,"

kata Lyra.

"Aku sudah pasti akan mengambil jalur Duel melawan Archmage yang lebih tinggi. Dan yang lebih penting, Misi Komunal."

"Misi adalah cara tercepat untuk mendapatkan poin yang tidak terhingga, sekaligus mendapatkan dukungan politik. Aku harus menghadapi bahaya, dan kau harus berada di sisiku, Tuan Pendragon."

Aen mengangguk perlahan.

"Aku mengerti. Duel dan Misi. Itu jalur yang berbahaya."

Aen melangkah sedikit lebih dekat, menurunkan sedikit kewaspadaannya. Ada kilatan rasa hormat dan keinginan di matanya.

"Sebenarnya, Lyra,"

ujar Aen, menggunakan nama depan Lyra untuk pertama kalinya.

"Aku ingin minta diajari Temporal Leap. Bukan untuk Arena Duel. Aku percaya, teknik pergerakan itu akan menjadi kunci bagi Faksi Militer di masa depan. Aku bersedia membayarnya dengan poin atau informasi militer."

Lyra tersenyum—senyum tulus yang pertama sejak ia pingsan. Dia telah mendapatkan tawarannya yang pertama.

"Tawaran yang menarik, Tuan Pendragon. Mari kita cari waktu setelah kelas selesai hari ini untuk membahas kontrak aliansi kita. Aku akan senang bekerja sama dengan calon Sword Vanguard masa depan. Sampai nanti."

Lyra berbalik dan melanjutkan jalannya, meninggalkan Aen yang kini tampak lebih bersemangat, sambil memikirkan bagaimana mengintegrasikan teknik Lyra yang tak terduga ke dalam strategi militernya.

Lyra dan Gilga berjalan berdampingan di koridor utama Akademi Elorick, jauh dari keramaian kelas. Gilga telah menyelesaikan urusan pendaftaran dan sekarang menemani Lyra menuju area asrama.

Gilga, yang tampak sedikit frustrasi, menyuarakan kekhawatiran barunya.

"Aku sudah cek jadwal, Lyra. Aturan asrama Archmage baru ini ketat. Aku baru bisa keluar Akademi setidaknya dua minggu lagi, kecuali ada izin misi khusus atau aku pura-pura sakit parah."

Lyra hanya mewajari hal itu dengan anggukan.

"Tidak apa-apa, Gilga. Itu sudah kuduga. Akademi Elorick ingin mengendalikan aset Mana mereka. Dua minggu memberiku waktu yang cukup untuk mengamankan posisiku dan menjalin aliansi. Tugasmu mencari gudang Valerius harus menunggu, kecuali ada petunjuk baru."

Mereka berdua berjalan menuju area asrama. Lyra dan Gilga sudah beda kamar sekarang, sesuai dengan sistem asrama Akademi yang memisahkan murid berdasarkan faksi dan tingkat sihir (meski Lyra berada di Divisi Mage, ia ditempatkan di sayap bangsawan karena garis keturunannya).

Saat mereka berbelok di sudut koridor yang tenang, mereka berpapasan dengan seseorang yang mereka kenal:

Solosa Mercury, Kepala Sekolah Akademi Elorick. Solosa berjalan dengan aura tenang dan berwibawa, jubahnya yang berlambang obor berkibar lembut.

Solosa berhenti dan menatap Lyra dan Gilga. Matanya yang tajam dan cerdas mengamati Lyra dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Nona Astrea, Tuan Rabiot,"

sapa Solosa, nadanya formal dan terukur.

"Saya harap pelajaran pertama Anda berjalan baik."

"Sangat menginspirasi, Kepala Sekolah,"

jawab Lyra, mempertahankan kesopanan yang sempurna.

Solosa menghela napas pendek, dan ekspresi di wajahnya melunak sedikit, menunjukkan jejak kelelahan.

"Nona Lyra, jujur saja, saya memiliki sedikit ketidakpercayaan bahwa Anda benar-benar masuk Akademi Elorick saat ini,"

ujar Solosa terus terang.

Lyra mempertahankan senyumnya.

"Maksud Anda, Kepala Sekolah?"

Solosa mengarahkan pandangannya ke Lyra, matanya penuh kenangan.

"Saya adalah teman baik ibumu Erin, Lyra. Tiga tahun lalu, Nyonya Marlina memberi tahu saya bahwa Lyra sudah memutuskan fokus pada pelatihan pribadi di bawah Racel Astrea. Saya ingat betapa kecewanya saya. Elorick selalu bangga mendidik para Archmage Elemendorf secara langsung."

Solosa memajukan langkah sedikit, seolah hanya berbicara kepada Lyra.

"Saya pikir, kami telah kehilangan kesempatan untuk membimbingmu, terutama setelah rumor tentang kecerdasan dan kemampuan Ruang-Waktumu menyebar."

Solosa tersenyum kecil, tetapi itu adalah senyum penuh analisis.

"Tapi sekarang, Anda di sini. Dalam waktu satu tahun, dengan status 'Mage' di berkasmu, dan di tengah-tengah intrik Dewan. Sekarang semuanya berubah."

"Saya senang Anda berubah pikiran. Saya percaya, ini adalah tempat terbaik untukmu, Lyra. Tetapi Anda harus tahu, saya akan mengawasi Anda dengan sangat ketat. Tunjukkan pada saya bahwa keterlambatan tiga tahun ini bisa Anda kejar. Jangan sia-siakan Poin Akademi-mu. Saya tidak akan memberimu perlakuan khusus,"

tegas Solosa, menyampaikan peringatan terselubung.

"Saya menghargai kepercayaan Anda, Kepala Sekolah,"

balas Lyra dengan rasa hormat yang tulus.

"Saya tidak meminta perlakuan khusus. Saya hanya meminta kesempatan untuk membuktikan bahwa Archmage Astrea tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan cepat."

Solosa mengangguk, puas dengan jawaban itu.

"Bagus. Selamat beristirahat, Tuan-tuan dan Nona."

Solosa melanjutkan langkahnya, meninggalkan Lyra dan Gilga di koridor.

"Dia tahu sesuatu,"

bisik Lyra, begitu Solosa menjauh.

"Dia tidak hanya kecewa, dia curiga dengan alasan kita masuk sekarang. Kita harus berhati-hati dengan Solosa Mercury."

Gilga menarik Lyra mendekat, memegang lengannya dengan lembut saat Solosa Mercury menghilang dari pandangan. Kekhawatiran Gilga terasa nyata dan hangat.

"Cousin, kau tidak bisa mencurigai setiap orang yang kita temui,"

desis Gilga, suaranya dipenuhi ketidaksetujuan. Dia mengabaikan koridor yang mungkin ramai, fokusnya hanya pada Lyra.

"Terutama Solosa. Kau dengar sendiri. Dia adalah teman baik Ibumu, Erin. Dia mungkin hanya khawatir."

Lyra menggelengkan kepala, tatapannya masih waspada.

"Aku tahu, Gilga. Tapi di Sincorta, setiap kebaikan memiliki harga. Setiap perhatian adalah alat politik. Aku tidak bisa mengambil risiko lagi, setelah melihat apa yang... aku lihat."

Gilga memajukan wajahnya, tatapannya yang merah lembut kini mengunci tatapan hijau Lyra. Dia menyadari betapa rapuhnya Lyra di balik jubah Archmage yang sempurna itu. Dia adalah satu-satunya yang melihat Reni di balik Lyra.

"Aku mengerti,"

bisik Gilga, suaranya kini hampir tak terdengar, hanya untuk didengar Lyra.

"Kau takut. Kau takut pada Valerius, kau takut pada Marlina, dan kau takut pada dirimu sendiri, pada pilihanmu untuk menjadi Lyra."

Jari Gilga yang memegang lengan Lyra kini bergerak perlahan ke pipi Lyra. Sentuhannya sangat lembut, menenangkan sisa-sisa trauma dari hutan yang terbakar itu.

"Tapi bisakah kau memercayai aku, Lyra?"

tanya Gilga, suaranya dalam dan penuh janji.

"Aku bukan aliansi politik. Aku bukan strategi. Aku... aku hanya Gilga-mu."

Lyra merasakan pipinya memanas lagi, kali ini bukan karena amarah, melainkan karena sentuhan yang mengalirkan ketenangan murni. Ketegangan strategis di dalam dirinya runtuh di hadapan kejujuran Gilga. Ia menolehkan wajahnya ke sentuhan Gilga, memejamkan mata sejenak, menikmati keamanan yang ditawarkan Archmage Darah itu.

"Gilga..."

bisik Lyra, suaranya bergetar. Dia tidak lagi memikirkan Aen Pendragon atau Valerius.

Gilga memajukan kepalanya lebih dekat. Jarak di antara mereka menghilang, dipenuhi oleh keheningan koridor dan kehangatan Mana mereka yang berbaur. Hidung mereka hampir bersentuhan. Lyra bisa merasakan napas hangat Gilga di bibirnya. Kedua pasang mata mereka terpaku satu sama lain.

Muka mereka hampir bersentuhan bibir.

Tepat pada puncak momen itu, saat Lyra hampir menyerah pada kehangatan dan ketenangan yang ditawarkan Gilga—

Tiba-tiba Lyra merasakan di sekelilingnya menjadi gelap.

Warna-warna koridor tersedot, suara-suara menghilang, dan Mana yang hangat dari Gilga seketika terasa dingin dan jauh. Ini terjadi lagi.

Dalam sekejap, Gilga dan koridor yang romantis lenyap dari pandangan Lyra.

Dan...

Sosok misterius itu muncul lagi.

Kali ini, sosok berwujud gelap dengan Mana ungu yang mengintimidasi itu berada sangat dekat, seolah mengelilingi Lyra. Kehadirannya memancarkan energi yang lebih kuat dan lebih mengancam daripada sebelumnya.

"Kau melarikan diri,"

desis suara itu langsung ke dalam pikiran Lyra, dingin dan menghakimi.

"Kau hampir melarikan diri ke dalam kenyamanan emosional. Tapi kau adalah Archmage Ruang-Waktu. Kau tidak bisa melarikan diri dari siapa dirimu."

Lyra tersentak di dalam mentalnya. Sosok itu adalah refleksi kebenaran yang paling pahit.

"Kau tahu Lyra, Reni,"

lanjut sosok itu, menggunakan nama yang hanya diketahui Lyra (Reni) dan sosok itu.

"Keputusanmu untuk menjadi sempurna akan selalu bertentangan dengan kebutuhan jiwamu untuk dicintai. Kelemahan emosionalmu, termasuk rasa sukamu pada Gilga, akan selalu menjadi celah bagi musuhmu."

Sosok itu berputar, dan kemudian menghilang, meninggalkan Lyra di dalam kehampaan mental yang gelap.

Lyra tersentak kembali ke kesadaran. Ia terengah-engah. Ia masih berada di koridor, dan wajah Gilga hanya berjarak beberapa milimeter dari wajahnya, matanya yang merah memancarkan cinta dan kebingungan.

Lyra segera mendorong Gilga menjauh, ketakutan memenuhi matanya.

"JANGAN!"

teriak Lyra, tetapi suaranya pecah menjadi bisikan. Dia mundur selangkah, menatap Gilga dengan pandangan yang kini penuh kewaspadaan, bukan kehangatan.

"Aku... kita tidak boleh."

"Lyra? Ada apa?"

tanya Gilga, bingung dan terluka.

"Aku harus pergi,"

kata Lyra, membalikkan badan dan lari menuju asramanya, meninggalkan Gilga sendirian dan bingung di koridor Akademi. Rasa sakit dan peringatan sosok misterius itu lebih kuat daripada segala ambisi atau kasih sayang.

Lyra berlari cepat menyusuri koridor asrama. Pikirannya kacau, jantungnya berpacu, bukan karena lari, tetapi karena dorongan dan penolakan yang terjadi di koridor tadi.

Peringatan sosok misterius itu berputar-putar di benaknya:

Kelemahan emosionalmu, termasuk rasa sukamu pada Gilga, akan selalu menjadi celah bagi musuhmu.

Saat berada di koridor asrama yang sepi, Lyra mencoba mengatur napasnya. Dia menyentuh jantungnya—Lyra merasakan jantungnya yang berdetak kencang, memukul-mukul rusuknya dengan ritme yang tak beraturan.

Dan kemudian, hal itu terjadi lagi.

Di sekeliling Lyra, cahaya disedot. Dunia sekitarnya menjadi kabur, dan kemudian sepenuhnya menjadi gelap. Lyra tahu dia telah kembali ke alam mentalnya.

Sosok misterius itu muncul kembali di hadapannya, bayangan gelap yang berdenyut dengan aura ungu yang dingin dan mengintimidasi. Kali ini, kehadirannya jauh lebih padat dan mengancam, seolah entitas itu telah memenangkan sebagian dari pertempuran mental Lyra.

Lyra, yang kini dipenuhi keputusasaan dan amarah, akhirnya menyuarakan pertanyaannya yang paling mendasar.

"Siapa kau sebenarnya?"

tuntut Lyra, suaranya bergema dalam kehampaan gelap itu.

"Kenapa kau selalu muncul saat aku mengalami kedekatan emosional? Kenapa kau tahu tentang Reni?"

Sosok itu tidak bergerak, tetapi suaranya yang dingin dan tajam menusuk langsung ke pikiran Lyra.

"Aku adalah dirimu yang sebenarnya, Lyra. Aku adalah kebenulan yang kau rampas saat kau, Reni, dipindahkan ke dalam tubuh ini oleh kekuatan sihir takdir."

Sosok itu maju perlahan, auranya membakar rasa bersalah dalam diri Lyra.

"Kau, Reni, telah merenggut tubuh Lyra. Tubuh ini memiliki jiwa, memiliki takdir. Kau hanyalah parasit, ide yang dipaksakan ke dalam wadah yang tidak seharusnya kau miliki."

Lyra tersentak mundur.

"Tidak! Aku adalah pewaris sah! Aku diberi tubuh ini! Aku dipilih!"

"Dipilih?"

Sosok itu tertawa, tawa yang menusuk seperti jarum es.

"Kau memilih untuk mengambil alih segalanya. Kau mengambil ambisi, kau mengambil kekuatan Ruang-Waktu, kau mengambil kasih sayang palsu Marlina, dan sekarang kau bahkan mencoba mengambil cinta tulus yang Gilga berikan pada Lyra yang asli."

"Kau tahu mengapa aku muncul saat kau mengalami kedekatan emosional, Lyra?"

tanya Sosok itu.

"Karena itulah saat kau paling lemah. Itulah saat Reni mencoba mengambil alih, mencoba mencari kenyamanan yang hilang dari kehidupan lamanya. Dan itulah saat Lyra yang asli seharusnya mendapatkan haknya—haknya untuk mencintai Gilga, haknya untuk menjadi anak dari Erin dan Racel tanpa beban reinkarnasi!"

Lyra terhuyung, pertahanan mentalnya runtuh. Rasa bersalah karena merebut kehidupan lain menghantamnya.

"Lalu, apa yang kau mau?"

bisik Lyra, suaranya putus asa.

"Aku menginginkan tubuhku kembali. Aku menginginkan takdirku kembali. Aku menginginkan diriku yang sempurna. Dan satu-satunya cara untuk membersihkan tubuh ini dari parasit sepertimu, Reni, adalah dengan menghancurkan kesadaranmu."

Sosok itu memancarkan Mana ungu yang luar biasa, melampaui segala sesuatu yang pernah Lyra rasakan. Aura itu setara, jika tidak lebih kuat, dari Mana Archmage mana pun.

Sosok itu, yang mengaku sebagai Lyra yang asli, meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan, wujudnya yang gelap menyatu dengan Mana ungu yang murni dan mematikan.

"Sekarang Mati!"

Sosok itu menerjang ke arah Lyra, mengincar kesadarannya. Lyra, di dalam mentalnya, hanya bisa berteriak dan merapal Mana Ruang-Waktu secara naluriah, mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri yang asli.

Pada sepersekian detik sebelum benturan Mana ungu yang mematikan itu mencapai Lyra—tepat ketika Lyra bersiap untuk mengaktifkan Distorsi Spasial penuh untuk melindungi inti kesadarannya—sosok itu berhenti.

Dia hanya melayang, jaraknya sangat dekat hingga Mana ungu yang dingin itu terasa menusuk kulit mental Lyra. Sosok itu tidak jadi menyerang, dan kemarahan di auranya mereda, digantikan oleh keheningan yang jauh lebih menakutkan.

Sosok itu membungkuk, mendekatkan wujud gelapnya ke telinga Lyra. Lalu, suara dinginnya berbisik, tetapi bisikan itu terasa seperti guntur di benak Lyra.

"Bagaimana jika yang kukatakan itu bohong, Lyra?"

Lyra terdiam, napas mentalnya tertahan.

"Bagaimana jika kau adalah Lyra yang asli, yang hanya mewarisi ingatan Reni, yang jiwanya terpotong dan dicangkokkan ke dalam dirimu?"

Lyra merasakan seluruh dunia mentalnya runtuh di bawah premis baru ini. Itu menjelaskan segalanya:

kekuatan Mana Ruang-Waktu yang begitu kuat di tubuh ini, penerimaan naluriah dari Erin dan Racel, dan mengapa Lyra (Reni) begitu mudah menyesuaikan diri.

Sosok itu, yang kini terasa lebih seperti seorang wasit kosmik daripada musuh, melanjutkan penjelasannya.

"Takdir retak, Lyra. Jiwa tidak lagi bersama ingatannya."

"Kau bukan Reni yang merebut. Kau adalah Lyra yang disuntik—tubuh ini adalah milik Lyra, yang jiwanya menyerap memori yang ditinggalkan oleh Reni. Jiwa Reni yang asli—yang seharusnya menjadi Archmage yang hebat—kini berada di luar sana, di suatu tempat di dunia ini, tanpa ingatan masa lalu."

"Jiwa murni. Bukan di dalam tubuh ini. Tidak bersama tubuh ini."

Lyra merasakan air mata mengalir dalam kehampaan itu.

Selama ini dia merasa bersalah karena telah mencuri kehidupan, tetapi ternyata dia hanyalah korban dari kekacauan kosmik, yang kini harus menanggung beban memori yang bukan miliknya.

Sosok itu mengakhiri pertemuannya dengan nada yang penuh tantangan.

"Reni yang asli berada di suatu tempat di dunia ini tanpa ingatan masa lalu. Dan kau, Archmage Lyra Elara Von Astrea, dengan ingatan dia... hadapi krisis identitas ini. Kau harus memilih siapa kau. Jiwa Lyra, atau ingatan Reni."

Sosok itu tidak menunggu jawaban. Mana ungu itu seketika memudar, dan wujud gelapnya menghilang sepenuhnya.

Lyra tersentak kembali ke koridor asrama. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia masih berdiri di koridor yang sepi.

Lyra tidak lagi takut. Dia kini dipenuhi oleh krisis eksistensial dan tekad yang baru. Reni yang asli ada di luar sana. Dan dia, Lyra, harus menemukan siapa dirinya yang sebenarnya, sambil menyelesaikan balas dendamnya.

di tengah koridor, perlahan-lahan menyerap implikasi dari wahyu yang baru ia terima. Jiwanya yang terpotong. Jiwa Reni yang entah di mana.

Dia memandang tangannya yang terkepal. Kehangatan yang ia rasakan saat bersama Gilga kembali memenuhi dirinya, dan kali ini, Lyra tidak menolaknya. Bukan lagi karena 'hormon perempuan' atau 'kebingungan identitas'.

Lyra mengangguk perlahan pada dirinya sendiri. Tekad itu kini terukir di jiwanya, bukan hanya di pikiran Reni.

Lyra mengepalkan tangannya, akhirnya dia tahu.

Dia tidak melenceng. Dia tidak salah jalan. Dia telah menyerap ingatan Reni, tetapi jiwanya adalah milik Lyra. Dan sebagai seorang Lyra Elara Von Astrea, dia tidaklah 'belok'. Dia benar-benar seorang perempuan. Dan ia mengakui, dengan kejutan yang manis, dia jatuh cinta seperti seorang wanita pada umumnya kepada sepupunya yang menakutkan, Gilga Von Rabiot.

Menerima dirinya sepenuhnya sebagai Lyra memberinya fokus yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.

Kini, jalannya sudah jelas. Lyra memiliki empat misi yang mendesak, empat pilar yang harus ia selesaikan untuk memulihkan kehormatan dan menemukan kebenaran.

Tujuannya sekarang adalah

Mengalahkan Valerius

Lulus Akademi

Mencari Penyihir Misterius Ruang-Waktu delapan tahun lalu

Mencari Reni. Menemukan jiwa Reni yang hilang di dunia ini, untuk memahami sepenuhnya takdir mereka yang saling terkait.

Lyra menarik napas dalam-dalam. Kelemahan emosional yang diperingatkan oleh sosok ungu itu kini berubah menjadi kekuatannya. Cintanya pada Gilga, kekhawatirannya pada Mia dan Merbrit, ambisinya yang kuat—itu semua adalah miliknya.

Lyra melangkah.

Bukan lagi Archmage yang bingung. Bukan lagi pemuda yang bereinkarnasi.

Dia adalah dirinya sendiri.

Lyra Elara Von Astrea. Putri Archmage, Calon Sage, dan pemilik hati yang rumit.

END

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!