NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 / THTM

Sudah lewat tengah malam.

Kamar Alaric sunyi, hanya diisi bunyi detik jam dan gesekan pena di atas kertas.

Di meja kerjanya, laporan-laporan perusahaan menumpuk, tapi tak satu pun berhasil menarik perhatiannya.

Tatapannya kosong ke layar laptop, halaman yang sama menampilkan data finansial cabang luar negeri sejak satu jam lalu.

Ia menutup laptop itu dengan kasar.

Napasnya berat, frustasi.

Segala hal yang biasanya menenangkan — segelas wine, mandi air hangat, membaca laporan saham — kini tak mempan.

Setiap kali menutup mata, wajah itu muncul lagi.

Nayara.

Wajah itu, suara itu, caranya menunduk, dan mata yang bergetar ketika menatapnya.

Semua masih terekam jelas, terlalu jelas hingga membuatnya sesak.

“Aku sudah gila,” gumamnya pelan, seperti mengakui dosa.

Alaric berdiri, melangkah menuju jendela besar.

Di luar, langit kota dipenuhi cahaya lampu, namun bagi Alaric, pemandangan itu hanya mempertegas kesepiannya.

Ia mengambil segelas air, tapi tak sempat meneguknya — gelas itu kembali ia letakkan di meja.

Tatapan matanya beralih ke bayangan dirinya sendiri di kaca: tampak lelah, rapuh, dan asing.

Lelaki dingin yang selama ini dikenal tegas dan tak tersentuh, kini terlihat seperti bayangan kosong dari dirinya sendiri.

“Aku tidak bisa begini terus.”

“Tapi kalau aku menjauh… aku malah gila.”

Sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya.

Tawa getir — menertawakan dirinya yang terjebak antara logika dan obsesi.

Tangannya meremas rambut di belakang kepala, menahan ketegangan yang tak mau lepas.

Ia membuka laci meja, mengeluarkan sebuah benda kecil — kalung tipis dengan liontin berbentuk bunga kecil.

Sederhana, tapi tatapannya menahan emosi yang sulit dijelaskan.

Itu bukan miliknya.

Itu milik Nayara.

Tertinggal di kursi mobilnya berbulan lalu.

“Kau bahkan tidak sadar meninggalkannya, ya?”

“Tapi aku menyimpannya.”

Jarinya menyapu permukaan liontin itu perlahan, dan sesaat saja, ekspresinya melunak.

Namun kelembutan itu cepat menghilang, tergantikan dingin khas dirinya.

Seolah ia menolak memberi ruang pada perasaan itu.

Telepon di meja tiba-tiba berdering.

Ia meraihnya cepat, suaranya berat dan tegas.

“Ya?”

“Pak, maaf mengganggu. Laporan dari cabang Singapura sudah dikirimkan.”

“Letakkan di email saya,” jawabnya datar, lalu menutup sambungan tanpa menunggu balasan.

Suara telepon berhenti, ruangan kembali tenggelam dalam keheningan.

Dan di tengah sunyi itu, Alaric merasa semakin terperangkap — bukan oleh pekerjaan, tapi oleh rasa yang tak bisa ia padamkan.

Ia melangkah ke balkon.

Angin malam berhembus pelan, menyapa kulitnya dengan dingin yang menusuk.

Dari ketinggian itu, ia bisa melihat separuh kota.

Namun dari semua cahaya di bawah sana, pikirannya hanya tertuju pada satu titik — gang kecil tempat rumah Nayara berada.

“Seharusnya aku tidak tahu di mana rumahmu.”

“Tapi aku tahu.”

Nada suaranya terdengar lirih, nyaris seperti ancaman untuk dirinya sendiri.

Ia membenci rasa ingin tahu itu, tapi tak mampu menghentikannya.

Tangannya meraih ponsel.

Jempolnya sempat mengetik nama sekretaris pribadinya, namun urung mengirim pesan.

Sebagai gantinya, ia membuka pesan lama.

Satu-satunya pesan singkat dari Nayara, terkirim berbulan lalu.

“Aku minta maaf.”

Pendek. Tapi menusuk.

Pesan itu terasa seperti belati kecil yang menancap di dadanya.

Ia menatap layar itu lama, lalu mengetik balasan.

Namun sebelum sempat menekan send, ia menghapus semuanya.

Tangannya sedikit gemetar — bukan karena marah, tapi karena frustasi.

Ia tahu, jika membalas, semuanya akan dimulai lagi.

Dan kali ini, ia takut tak akan mampu berhenti.

Beberapa jam kemudian, Alaric tertidur di kursi, masih dengan kalung itu tergenggam erat.

Namun bahkan dalam tidur pun, ketenangan enggan datang.

Dahi berkerut, napas berat, dan keringat dingin mengalir di pelipis.

Dalam mimpi itu, Nayara muncul.

Bukan sebagai gadis yang ketakutan, tapi dengan tatapan dingin dan tenang.

Tatapan yang seolah berkata:

“Kau tidak lagi bisa menyentuhku.”

Alaric tersentak bangun, napasnya memburu.

Tangannya menutupi wajahnya sendiri, lalu suara tawa lirih mengisi kamar yang hening.

Tawa getir yang terdengar seperti suara seseorang yang kalah.

“Kau pikir aku akan menyerah, Nayara?”

katanya pelan, nyaris seperti janji.

“Tidak semudah itu.”

...----------------...

Pagi datang, tapi mata Alaric belum sepenuhnya terbuka untuk dunia.

Ia duduk di ruang kerja yang sama, dengan kopi yang sudah dingin di tangan.

Matanya memandangi layar laptop, tapi pikirannya melayang jauh dari angka-angka dan strategi bisnis.

Semalaman ia mencoba melupakan, mencoba mengisi pikirannya dengan hal lain — tapi hasilnya tetap nihil.

Setiap kali menutup mata, wajah Nayara muncul, dengan senyum kecil yang terlalu jujur untuk dilupakan.

Ia tahu dirinya sedang jatuh pada sesuatu yang tidak seharusnya.

Namun, Alaric bukan tipe pria yang menyerah hanya karena "seharusnya".

Ia hidup di dunia yang tunduk pada rencana, bukan perasaan.

Dan jika hatinya mulai memberontak, maka ia akan menundukkan nya — atau menggunakannya.

“Baiklah, kalau aku tidak bisa melupakannya, maka aku akan mengaturnya.”

Suara itu terdengar datar, namun dinginnya menyembunyikan tekad yang dalam.

Ia menekan tombol interkom di mejanya.

“Rhea, atur rapat internal jam sepuluh. Dan siapkan berkas cabang utama untuk aku tinjau.”

Suara sekretarisnya menjawab cepat dari seberang.

“Baik, Pak Alaric.”

Tombol interkom terlepas, namun jari Alaric masih menempel di atasnya beberapa detik, seolah pikirannya belum selesai berbicara.

Ia menarik napas panjang, lalu membuka file pribadi di komputer — bukan laporan, tapi data seseorang.

Nayara.

Alamat, tempat sekolah, dan aktivitas terakhirnya terdata rapi di sana.

“Kau bilang ingin hidup normal, Nayara?”

“Baiklah. Aku akan lihat seperti apa normal mu itu.”

Ia berdiri, menegakkan jasnya, lalu berjalan keluar ruangan.

Langkahnya tegap, berirama, seperti orang yang tengah menuju pertempuran yang sudah pasti dimenangkan.

Siang itu, di lantai tertinggi gedung perusahaannya, rapat besar berlangsung.

Para direktur duduk rapi, menunggu instruksi dari sang CEO yang baru saja kembali dari luar negeri.

Namun, sejak awal rapat, Alaric terlihat tidak benar-benar di sana.

Tatapannya tajam, tapi kosong — matanya menatap layar presentasi, pikirannya tidak.

Sampai akhirnya seseorang membuka topik baru.

“Pak, terkait rencana ekspansi cabang di wilayah barat, kita butuh representasi tambahan di lapangan. Mungkin Bapak sendiri bisa menunjuk seseorang untuk—”

Kalimat itu belum selesai ketika Alaric menoleh perlahan.

Senyum kecil terbentuk di ujung bibirnya.

Senyum yang hanya muncul ketika pikirannya sudah menyusun rencana.

“Tidak perlu menunjuk siapa pun. Aku akan meninjaunya sendiri.”

Ruangan sempat hening.

Beberapa orang tampak saling berpandangan, heran.

Biasanya, Alaric jarang turun langsung untuk urusan sekecil itu.

Namun tak seorang pun berani bertanya.

Ketika Alaric sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menolak.

Beberapa jam kemudian, di mobilnya yang meluncur di tengah kota, Alaric membuka kaca jendela sedikit.

Udara sore masuk, membawa aroma debu dan kehidupan yang tidak pernah ia sentuh.

Ia menatap jalan-jalan kecil yang mulai ramai — dan di salah satunya, terpampang papan bertuliskan “Fotokopi & Print Anugrah.”

Tempat itu sederhana, bahkan nyaris tak terlihat di antara deretan toko kecil lain.

Namun matanya langsung menangkap sosok yang familiar.

Nayara.

Rambutnya diikat sederhana, seragam sekolahnya sudah sedikit kusut karena seharian dipakai.

Ia sedang berdiri di dekat mesin fotokopi, tertawa bersama seorang pria muda — mungkin karyawan atau teman sekolahnya yang juga membantu di sana.

Tawa itu ringan, alami, dan tanpa beban.

Namun bagi Alaric, pemandangan itu seperti percikan api kecil yang membakar sisi batinnya yang paling gelap.

Ia menggenggam lututnya pelan, rahangnya mengeras tanpa sadar.

Pria itu terlalu dekat.

Terlalu nyaman.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alaric menatap lama — bukan dengan perasaan lembut, tapi campuran rasa marah dan cemburu yang bahkan ia sendiri tidak ingin akui.

Ia menarik napas panjang, menahan diri agar tidak langsung turun dari mobil.

Senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya — bukan senyum bahagia, melainkan senyum seseorang yang baru saja menemukan alasan untuk bertindak.

“Kau ingin tenang, Nayara?”

“Mari kita lihat… berapa lama ketenanganmu bisa bertahan.”

Bukankah sudah jelas? Setiap kali Nayara berdiri lebih tegar, justru di situlah aku ingin membuatnya berlutut lagi.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!