NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 / THTM

Malam menggantung pekat di atas rumah besar itu.

Cahaya lampu ruang tamu temaram, menyorot bayangan di dinding seperti tarian samar yang menegangkan.

Hujan kembali turun pelan—gerimis yang cukup untuk membuat udara terasa lembap dan berat.

Di kamar Elara, Nayara duduk diam di lantai, bersandar di sisi ranjang tempat sahabatnya terbaring.

Wajah Elara masih pucat, tapi napasnya mulai teratur. Demamnya perlahan turun.

Sesekali Nayara memeriksa suhu tubuhnya, mengganti handuk kecil di dahi Elara dengan kain baru yang basah dingin.

Hening.

Begitu hening hingga detak jarum jam terdengar seperti detakan jantung yang tak sabar.

Di sela keheningan itu, pikiran Nayara melayang.

Tentang pesan di kertas misterius itu.

Tentang tatapan Alaric tadi sore.

Tentang bagaimana hidupnya berubah drastis hanya karena satu pria.

Dia menarik napas panjang, menatap keluar jendela yang sedikit terbuka.

Hujan memantulkan cahaya lampu halaman yang redup, membuat bayangan seperti jaring di kaca.

Indah, tapi menakutkan.

Pintu kamar berderit pelan.

Suara kecil itu membuat Nayara spontan menoleh.

Pintu terbuka sedikit, menampakkan siluet tinggi seseorang.

Alaric.

Ia berdiri di sana dengan pakaian santai, namun tatapan matanya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan.

Lebih seperti seseorang yang baru saja merencanakan sesuatu.

“Kak?” bisik Nayara, mencoba menahan suaranya agar tidak membangunkan Elara.

Alaric tidak menjawab. Ia hanya mengangguk sedikit, lalu melangkah masuk.

Langkahnya nyaris tanpa suara, tapi setiap kali ia semakin dekat, tubuh Nayara makin kaku.

Seolah udara di sekitar mereka ikut membeku.

“Dia tidur?” tanyanya lirih.

Nayara mengangguk. “Iya, baru saja tertidur.”

“Bagus.”

Nada suaranya lembut, tapi dingin. Ada jarak di setiap katanya yang membuat Nayara sulit bernapas lega.

Alaric berjalan mendekat, berhenti tepat di sisi ranjang.

Ia menatap wajah adiknya sejenak—tatapan yang hampir tulus. Tapi hanya hampir.

Lalu, matanya beralih pada Nayara.

“Kau tahu… aku tak suka rumah ini terlalu ramai,” katanya perlahan, tanpa menatap langsung.

“Tapi karena Elara yang memintamu, aku biarkan.”

Nayara menunduk. “Aku cuma ingin bantu, Kak. Elara belum sembuh.”

Alaric tertawa pelan, hampir tanpa suara.

“Aku tahu. Kau memang baik.”

Kata-kata itu terdengar seperti pujian, tapi bagi Nayara, itu lebih mirip ancaman yang dibungkus senyum.

Ia tahu betul, setiap kali Alaric berkata “kau baik”, selalu ada makna tersembunyi di baliknya—makna yang tak seorang pun ingin tahu.

“Aku nggak akan lama di sini,” tambah Nayara buru-buru, berusaha menenangkan suasana.

“Begitu Elara agak baikan, aku pulang.”

Alaric menunduk sedikit, memperhatikan wajah gadis itu dalam remang.

“Pulang?” ia mengulang, seolah mengejek. “Kau pikir mudah lepas begitu saja, hm?”

Nada itu membuat jantung Nayara mencelos.

Tapi ia tahu, menjawab hanya akan memperkeruh keadaan.

Jadi ia diam. Menatap lantai. Menunggu badai lewat.

Namun Alaric tidak pergi. Ia justru duduk di kursi dekat jendela, bersandar santai seolah tak terjadi apa-apa.

Dari tempat itu, ia bisa melihat keduanya—Elara yang tidur, dan Nayara yang canggung duduk di lantai.

“Aku hanya ingin memastikan Elara dijaga dengan baik,” ujarnya tiba-tiba, suaranya tenang tapi tajam seperti pisau yang diasah perlahan.

“Aku tidak ingin hal buruk terjadi padanya. Mengerti?”

Nayara mengangguk cepat. “Mengerti, Kak.”

“Bagus.”

“Aku… aku janji akan jaga dia.”

“Seperti kau ‘menjaga’ rahasia kita?” tanya Alaric pelan, tapi setiap katanya seperti cambuk.

Tubuh Nayara menegang. Ia menunduk lebih dalam, hampir tak berani bernapas.

“Ka—kak, tolong jangan di sini… nanti Elara—”

“Aku tidak akan membuat adikku curiga,” potong Alaric cepat.

“Kau yang sebaiknya jangan bertingkah.”

Lalu ia berdiri. Melangkah menuju pintu, tapi berhenti sebentar di dekat Nayara.

Cukup dekat hingga ia bisa mendengar detak jantung gadis itu yang berlari seperti gila.

“Ingat, Nayara,” katanya pelan.

“Semakin kau mencoba kabur, semakin aku tahu di mana mencarimu.”

Ia meninggalkan kamar dengan tenang, seolah hanya mengucapkan selamat malam.

Namun bagi Nayara, setiap langkahnya yang menjauh justru menambah berat di dadanya.

Beberapa menit setelah pintu tertutup, Nayara masih duduk mematung.

Pikirannya penuh, dadanya sesak.

Ia ingin menangis, tapi tak bisa.

Yang bisa ia lakukan hanya menggenggam erat kain di tangannya hingga basahnya merembes ke jari.

Lalu suara pelan dari ranjang memecah keheningan.

“Nayara…?”

Nayara menoleh cepat.

Elara membuka mata setengah sadar, menatapnya samar.

“Kau masih di sini? Aku haus…”

Nayara segera berdiri, meraih gelas di meja. Tangannya masih gemetar saat menuang air.

Ia menahan diri agar wajahnya tidak menunjukkan apapun.

“Ini, Ra. Minum pelan-pelan aja.”

Elara menatapnya sesaat sebelum menerima gelas itu.

Tatapan itu samar, tapi ada sesuatu di dalamnya — sesuatu yang membuat Nayara tahu, Elara melihat lebih banyak dari yang ia tunjukkan.

“Kau baik banget, Nayara…” gumam Elara sebelum kembali tertidur.

Tapi sebelum benar-benar terlelap, gadis itu berbisik lirih—nyaris tak terdengar.

“Tapi kenapa matamu… kayak habis nangis?”

Nayara terdiam.

Air di gelas bergetar sedikit di tangannya.

Ia memaksa tersenyum, meski Elara sudah tak melihatnya lagi.

“Nggak, Ra,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku cuma capek.”

Malam semakin larut.

Nayara menatap jendela, melihat bayangan dirinya sendiri di balik kaca.

Tapi entah mengapa, bayangan itu tampak berbeda — lebih pucat, lebih lelah, dan penuh rasa bersalah.

Di luar sana, suara langkah samar terdengar di koridor.

Nayara tahu siapa pemilik langkah itu.

Dan ia tahu… malam masih panjang.

Dalam hati kecilnya, ia bertanya —

Apakah ini akan berhenti?

Atau justru baru saja dimulai?

Namun tidak ada jawaban.

Hanya suara hujan yang jatuh perlahan, menutupi ketakutan yang kini memenuhi seluruh ruang dan jiwa Nayara.

...----------------...

Pagi datang tanpa suara.

Cahaya lembut menyelinap lewat celah gorden, menyingkap ruangan yang seolah masih menyimpan sisa ketegangan malam tadi.

Nayara belum tidur. Matanya sembab, tapi ia tetap duduk di kursi, menatap Elara yang kini tampak sedikit lebih tenang.

Burung-burung mulai bersuara di luar, namun bagi Nayara, pagi ini tidak terasa seperti awal baru — lebih seperti kelanjutan dari mimpi buruk yang tak berakhir.

Perlahan, Elara bergerak di ranjang. Ia membuka mata, menatap sekeliling sebelum pandangannya jatuh pada Nayara.

“Kau belum tidur?” tanyanya pelan.

Nayara tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Aku cuma takut kau butuh sesuatu.”

“Kau selalu begitu,” gumam Elara, lalu menarik napas panjang. “Aku merasa bersalah, tahu nggak?”

“Bersalah?”

“Iya. Aku terus merepotkanmu.”

Nayara menunduk. “Kau nggak pernah merepotkan ku. Aku senang bisa di sini.”

Kalimat itu keluar pelan, tapi di dalamnya tersimpan satu hal yang tak bisa diucapkan — karena kalau aku pergi, kakakmu takkan membiarkanku.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi hujan deras di luar jendela.

Udara dingin menyeruak masuk, membuat Elara kembali meringkuk di balik selimut.

Ia menghela napas panjang. “Kayaknya hari ini aku nggak bakal masuk sekolah deh.”

Nayara menatap ke luar. Hujan benar-benar deras, seperti tembok air.

“Kalau gitu aku juga izin aja. Lagipula, kau masih demam ringan.”

Elara tersenyum kecil. “Yaudah, hari ini kita libur bareng.”

Dan begitu saja, dua gadis ini terkurung dalam rumah besar yang penuh rahasia, tanpa sadar bahwa hari libur ini akan menjadi titik awal perubahan besar di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, Alaric masuk membawa nampan berisi sarapan.

Aroma roti hangat dan teh hitam mengisi ruangan.

Tampak normal, nyaris seperti pagi keluarga biasa.

“Kalian sudah bangun rupanya,” katanya datar.

Elara tersenyum lemah. “Kak, makasih udah buatkan sarapan.”

“Untukmu saja,” jawab Alaric, meletakkan nampan di meja. “Nayara, kau makan nanti saja setelah ini beres.”

Nada itu terdengar wajar, tapi Nayara tahu itu bukan permintaan — itu perintah.

Ia hanya mengangguk. “Baik, Kak.”

Alaric memperhatikan adiknya dengan mata lembut yang jarang muncul di hadapan orang lain.

Namun, di sela tatapan itu, ada kilatan lain yang membuat Nayara tak berani memandang terlalu lama.

Kilatan yang hanya muncul saat Elara tidak melihat.

Setelah beberapa menit, Alaric keluar dari kamar dengan alasan mengambil obat.

Begitu pintu tertutup, Elara menatap Nayara dengan raut sedikit heran.

“Kakakku aneh belakangan ini.”

Nayara nyaris terkejut. “Aneh gimana maksudmu?”

“Entahlah…” Elara menatap pintu yang baru saja tertutup. “Dulu dia nggak sesering itu memperhatikan orang lain. Sekarang, setiap kali aku bangun, dia selalu di sekitar sini. Kadang malah duduk di luar kamar kayak lagi jaga sesuatu.”

Nayara menahan napas.

Kalimat itu terasa seperti ujung jarum yang menembus kulit — kecil, tapi menyakitkan.

“Mungkin dia cuma khawatir sama kamu,” jawab Nayara, berusaha menenangkan nada suaranya.

“Mungkin…” Elara tidak yakin. “Tapi entah kenapa, aku ngerasa kayak dia menyembunyikan sesuatu. Dan setiap kali kau ada di rumah ini, dia… berbeda.”

Kali ini Nayara tidak bisa menatap mata Elara.

Ia hanya memandangi jari-jarinya sendiri yang saling meremas di pangkuan.

“Nayara.”

“Hm?”

“Kalian bertengkar semalam?” entah apa maksud Elara bertanya seperti ini.

Dan pertanyaan itu menghantam seperti pukulan pelan di dada. Nayara tak tahu harus menjawab apa.

Satu sisi ingin jujur. Tapi sisi lain… ketakutan lebih kuat.

“Nggak, Ra. Aku cuma bantu jaga kamu.”

Elara menatapnya beberapa detik, lama sekali, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa… janji bilang sama aku dulu, ya?”

Nayara mengangguk cepat. “Iya. Janji.”

Namun di dalam hati, janji itu terasa seperti kebohongan pertama yang benar-benar menusuknya.

Siang menjelang.

Rumah itu tampak sunyi seperti biasanya.

Alaric sibuk di ruang kerja, Elara tertidur lagi, dan Nayara mencoba membersihkan dapur untuk mengalihkan pikiran.

Namun, ketika ia berjalan ke ruang tamu, langkahnya terhenti.

Ada suara samar dari balik pintu ruang kerja — suara Alaric berbicara lewat telepon.

Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat bulu kuduk Nayara berdiri.

Ia tidak bisa mendengar semuanya, tapi beberapa kata cukup jelas.

“...jangan sampai dia tahu…”

“...Elara belum siap…”

“...kalau Nayara bicara, aku yang tanggung…”

Jantung Nayara berdetak keras.

Ia mundur perlahan, takut ketahuan berdiri di sana.

Namun, sebelum ia sempat berbalik sepenuhnya — pintu ruang kerja terbuka.

Alaric muncul.

Pandangan mereka bertemu sesaat.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Alaric tersenyum.

Tapi senyum itu tidak membawa rasa tenang.

Lebih seperti peringatan.

“Kau dengar sesuatu?”

“Nggak… aku cuma mau bersihin ruang tamu,” jawab Nayara cepat.

“Oh?” Alaric berjalan mendekat perlahan. “Pastikan kau hanya bersih-bersih, bukan mencari tahu hal yang tak perlu.”

Ia menepuk pelan bahu Nayara sebelum melangkah pergi.

Dan setelah ia menghilang di tikungan koridor, gadis itu berdiri kaku, tangan gemetar.

Kata-kata itu sederhana… tapi artinya jelas: dia tahu aku mendengar.

Sore tiba.

Langit di luar memerah, menandakan hujan akan turun lagi.

Elara duduk di balkon dengan selimut di bahu, menikmati udara segar. Nayara di sampingnya, berusaha bertingkah biasa meski pikirannya penuh pertanyaan.

“Kau tahu,” kata Elara tiba-tiba, “aku semalam mimpi aneh.”

“Mimpi apa?”

“Aku dengar suara. Kayak seseorang ngomong pelan banget di dekatku, tapi aku nggak bisa buka mata.”

Nayara menegang. “Mungkin cuma mimpi biasa.”

Elara tersenyum samar. “Lucunya, suara itu kayak suaramu.”

Nayara menoleh cepat. “Aku?”

“Iya… aku dengar kau bilang sesuatu. Tapi suaranya gemetar. Kayak orang ketakutan.”

“Aku bahkan dengar kau manggil ‘Kak’ berkali-kali, pelan banget. Lalu ada langkah kaki berat di dekatku.”

Nayara menatap jauh ke arah halaman, menahan napas.

Hujan mulai turun lagi, butirnya menabrak atap, menutupi suara apapun yang mungkin ingin ia keluarkan.

“Kau yakin itu cuma mimpi, Ra?” bisiknya akhirnya.

Elara tidak menjawab. Ia hanya menatap air hujan yang jatuh di depan mereka, lalu berkata pelan,

“Entahlah. Tapi entah kenapa, aku merasa… aku nggak sepenuhnya tidur malam itu.”

Di dalam rumah, Alaric berdiri di balik jendela, memperhatikan keduanya dari jauh.

Tatapannya tidak marah. Tidak juga lembut.

Lebih seperti seseorang yang sedang menunggu sesuatu terjadi.

Senyum miring muncul di sudut bibirnya, nyaris seperti senyum iblis yang menyimpan rahasia.

Ia menatap setitik air yang menuruni kaca dan berbisik hampir tanpa suara:

“Kalau dia tahu segalanya… akankah pertemanan ini tetap harmonis seperti ini?”

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!