Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 24
Saat hendak melangkah masuk ke kelasnya, tiba-tiba sepasang tangan menahan lengannya.
"Zia," ucap Aksa datar, tanpa banyak ekspresi.
Zia langsung menoleh. "Eh… Aksa. Mau apa?" tanyanya cepat, matanya bergerak gelisah ke kiri dan kanan, khawatir kalau Talita melihat mereka berdua.
"Lo kenal sama guru baru itu?" tanya Aksa langsung, tanpa basa-basi.
"Iya. Emang kenapa?" Zia sedikit heran.
"Kenal dari mana?"
Zia mengerutkan dahi. Nih anak kepo banget sih, batinnya sambil menahan napas.
"Jawab, bukan malah bengong," ujar Aksa sambil mengetuk pelan dahinya, lalu—tanpa peringatan—menjitak kepala Zia.
"Aw! Ih sakit! Dia itu sepupunya Jenny, sahabat aku," jawab Zia sambil mengusap dahinya dengan kesal.
"Oh…" Aksa hanya mengangguk pelan, lalu tanpa menambahkan apapun, ia langsung berbalik pergi begitu saja.
Zia melongo, menatap punggung Aksa yang menjauh. "Hah? Gitu doang?" gumamnya, merasa percakapan tadi terlalu singkat dan aneh.
Saat ia masih berdiri di depan pintu kelas, suara seseorang membuatnya kaget.
"Zia, apa kamu nggak mau masuk?" tegur Bu Neri, salah satu guru kimia yang berdiri tak jauh dari sana.
"Eh, mau Bu!" jawab Zia buru-buru. Ia langsung membungkuk sedikit sebagai tanda sopan, lalu masuk ke dalam kelas sambil menunduk.
Begitu duduk di kursinya, Zia mencoba fokus membuka buku catatannya. Tapi pikirannya malah kembali pada sikap Aksa tadi. Kenapa tiba-tiba nanyain kak Raka?
Zia menghela napas. Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh itu, tapi dari ekor matanya, ia melihat Aksa berjalan melewati depan kelas sambil berbicara dengan lian. Sekilas, mata mereka bertemu. Tapi Aksa cepat-cepat mengalihkan pandangannya, membuat Zia semakin bingung.
Jam pelajaran pun berjalan seperti biasa, tapi pikiran Zia tak kunjung tenang. Ia berulang kali memandang ke arah jendela, berharap bisa melihat Aksa lagi, entah untuk memastikan perasaannya atau sekadar mencari penjelasan dari tatapan cowok itu.
Saat istirahat, Zia keluar kelas menuju kantin. Baru saja ia sampai di tangga, langkahnya terhenti karena melihat Aksa berdiri di bawah, bersandar di tembok dengan tangan di saku.
"kamu kayaknya suka banget ya nongol tiba-tiba," kata Zia sambil menuruni tangga pelan.
Aksa hanya mengangkat alis. "Lo mau ke kantin?"
"Iya. Kenapa?"
Aksa diam sebentar, seolah sedang menimbang sesuatu. "Jangan duduk di depan, Talita lagi di sana."
Zia mengerutkan kening. "Kenapa emang?"
"Udah, ikut gue aja," jawab Aksa singkat.
Zia ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti langkah Aksa menuju sudut kantin yang agak sepi. Mereka duduk berseberangan. Zia memesan minuman, sementara Aksa hanya memainkan sedotan di gelasnya.
"kamu tuh aneh, tau nggak?" ujar Zia sambil menatapnya.
Aksa menatap balik. "Gue cuma nggak mau lo kena masalah."
Gue mau nanya, lo ada masalah sama Bang Azka?” tanya Aksa dengan serius.
Tatapan matanya menembus, seolah mencoba membaca pikiran Zia.
“Enggak ada,” ucap Zia dengan cepat.
Aksa mengangkat sebelah alis. “Jangan bohong,” ucapnya dengan nada tajam.
Zia menunduk, memainkan ujung jaketnya. “Cuman masalah dikit,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
“Masalah apa sih?” Aksa mulai terdengar tidak sabar.
“Jadi Kak Azka marah gara-gara aku pulang larut malam… tapi kayaknya Kak Azka juga marah gara-gara aku jalan sama Kak Raka,” ucap Zia, suaranya pelan tapi penuh rasa bersalah.
Aksa yang berdiri di depannya langsung menghela napas berat. “Pantesan dia marah besar. Lo udah ngelakuin dua kesalahan sekaligus,” ucapnya sambil melipat tangan di dada.
Zia hanya menunduk, tak bisa membantah.
“Bentar-bentar… lo kemarin jalan sama guru baru itu?” tanya Aksa lagi, kali ini nadanya lebih tajam, membuat Zia sedikit bergidik.
“Namanya Raka, Aksa,” jawab Zia dengan hati-hati, seolah menyebut nama itu saja sudah bisa memicu masalah baru.
“Iya-iya… dia,” gumam Aksa sambil memalingkan wajah.
“Aku nggak sama Kak Raka doang kok. Ada Jenny juga,” ucap Zia cepat, mencoba membela diri.
Aksa menatapnya lama, seolah ingin memastikan Zia tidak sedang berbohong. “Lo kan tau gimana sifatnya Bang Azka,” ucapnya akhirnya, nadanya lebih tenang tapi tetap tegas.
“Lagipula, lo tuh harusnya baik-baik di rumah. Bukannya keluyuran nggak jelas sama cowok,” lanjutnya, kali ini nada suaranya seperti kakak yang menegur adik bandelnya.
Zia mengerucutkan bibir. “kamu sama Kak Azka sama aja marahin aku.”
“Kita itu nasihatin lo, Zia. Biar lo lebih hati-hati sama orang baru kayak dia,” ucap Aksa sambil sedikit menunduk agar bisa menatap mata Zia.
“Tapi Zia nggak tau Jenny bakal bawa sepupunya…” gumam Zia, setengah kesal, setengah menyesal.
Aksa menghela napas lagi, lalu menatap jam tangannya. “Udahlah, gue mau ke kelas. Tapi nanti di mansion, lo harus baikan lagi sama abang gue. Titik. Nggak pake koma,” ucapnya tegas sebelum berbalik pergi.
Zia hanya bisa memandangi punggung Aksa yang semakin menjauh, langkahnya cepat seperti orang yang tidak mau mendengar alasan lagi.
Ia berdiri mematung beberapa detik, matanya kosong. “Aku sebenarnya nggak marah… lagipula ini juga salah aku. Cuma… kecewa aja sama perkataannya Kak Azka,” ucapnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri.
Suara anak-anak yang sedang bercanda di lapangan terdengar samar di telinganya. Angin pagi menyapu wajahnya, namun hati Zia terasa sesak.
“Untuk kali ini… aku nggak bakal ngeyel lagi. Aku bakal tetap di mansion supaya nggak dimarahin Kak Azka lagi,” ucapnya, kali ini lebih tegas, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Zia menghela napas panjang, lalu bangkit dari bangku kantin. Langkahnya pelan menuju kantin sekolah. Perutnya memang belum diisi sejak pagi, tapi ia tidak ingin makan berat karena waktu sudah hampir masuk jam pelajaran.
Sampai di kantin yang cukup ramai dia bisa mencium aroma gorengan dan mie rebus menyambutnya. Suara ibu kantin yang sedang memanggil siswa lain terdengar riuh, tapi Zia hanya fokus pada etalase kecil di depannya. Tangannya meraih sepotong roti cokelat dan satu kotak teh kemasan.
“Ibu, roti sama teh kotak satu ya,” ucapnya pelan.
“Iya, Nak. sepuluh ribu” jawab ibu kantin sambil tersenyum ramah.
Zia menyerahkan uang, lalu berjalan ke sudut kantin yang agak sepi. Di sana, ia duduk sendirian, membuka roti pelan-pelan.
Setiap gigitan terasa hambar. Bukan karena rotinya tidak enak, tapi pikirannya terlalu penuh dengan wajah Kak Azka yang marah semalam. Tatapan itu… dingin, menusuk, seolah menuduhnya melakukan hal yang tak seharusnya.
Zia menatap teh kotaknya, lalu menghela napas lagi. “Aku cuma pengen dia percaya… kenapa susah banget ya?” batinnya.
Beberapa siswa lewat di depannya sambil tertawa-tawa, membicarakan hal sepele, membuat Zia sedikit iri. Ia ingin sekali tertawa seperti itu, tanpa beban di kepala.
Jam dinding kantin menunjukkan tinggal lima menit sebelum bel masuk. Zia buru-buru menghabiskan rotinya, lalu berdiri.
Saat melangkah keluar kantin, ia sempat menatap ke arah lapangan, tempat ia dan Aksa tadi bicara. Bekas percakapan itu masih terngiang di kepalanya. Kata-kata Aksa tentang harus baikan lagi dengan Kak Azka membuatnya gelisah, tapi juga sedikit lega—karena setidaknya ada yang mengingatkan.
“Aku cuma mau dia ngerti,” gumam Zia sambil melangkah menuju kelas.
Dan di kepalanya, ia mulai merangkai kata-kata yang nanti akan diucapkan pada Kak Azka. Kata-kata yang diharapkannya bisa melembutkan hati lelaki itu, atau setidaknya… membuatnya mau mendengar.