Amira menikah dengan security sebuah pabrik di pinggiran kota kecil di Jawa Timur. Awalnya orang tua Amira kurang setuju karena perbedaan status sosial diantara keduanya tapi karena Amira sudah terlanjur bucin maka orang tuanya akhirnya merestui dengan syarat Amira harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak pengusaha kaya dan Amira harus mandiri dan membangun bisnis sendiri dengan modal yang diberikan oleh orang tuanya.
Amira tidak menyangka kalau keluarga suaminya adalah orang-orang yang toxic tapi ia berusaha bertahan sambil memikirkan bisnis yang harus ia bangun supaya bisa membeli rumah sendiri dan keluar dari lingkungan yang toxic itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Dena ingin mengendarai mobil untuk kuliah tapi kali ini dia mendapatkan halangan dari adik tirinya.
Adiknya telah memberinya ucapan menohok tentang biaya kuliahnya yang selama ini dibiayai oleh ibu tirinya.
Hari-hari sepeninggal ibu tirinya Dena sering meminta uang pada kakaknya untuk biaya BBM motornya dan uang sakunya. Dia baru sadar siapa yang akan membiayai kuliahnya sepeninggal ibu tirinya?
Dewi masuk mengikuti mbak Lah yang memasukkan barang-barang belanjaan.
“Sudah selesai semua mbak Lah, Alhamdulillah. Saya pesankan gojek online untuk mbak Lah ya. Besok pagi mbak Lah mulai masuk kerja.” Perintah Dewi kepada karyawannya.
“Iya mbak Dewi. Biasanya saya mulai masuk kerja jam 08.00 pagi.” Kata mbak Laela alias mbak Lah.
Setelah mbak Lah pulang Dewi ingin istirahat sejenak. Dia harus menjaga kandungannya, hari ini cukup melelahkan. Dia menyalakan AC di kamarnya yang dulu adalah kamar ibunya. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian daster yang nyaman dipakai dia membaringkan dirinya dikasur milik ibunya.
Entah berapa lama ia tidur. Saat bangun waktu hampir mendekati Maghrib.
“Ya Allah pulas sekali aku tidur. Pasti orang-orang pada kelaparan. Aku harus masak nasi. Lauknya kali ini biarlah beli saja.” Gumamnya.
Dewi bergegas mencuci muka, memasak nasi di magic com dan berganti pakaian lalu keluar mengendarai mobilnya.
Dia pergi ke depot sate ayam yang terkenal di daerah itu dan membeli 50 tusuk sate untuk makan malam keluarga nya. Sambil menunggu sate Dewi berbelanja kebutuhan rumah tangga di indo April yang letaknya di seberang jalan depot sate itu.
Dewi pulang dan segera menyiapkan makan malam untuk seluruh keluarga.
“Hari ini kamu tidak memasak nduk?” tanya ayah saat melihat banyak sate terhidang di meja makan.
“Ga sempat yah, hari ini Dewi ke Solo beli bahan untuk butik, Senin sudah mulai beroperasi lagi butik peninggalan ibu…. Ayo kita makan pasti semua sudah pada lapar.” Kata Dewi.
“Horee ada sate, sudah lama Arief tidak makan sama sate.” Sorak keponakan Dewi.
“Arief makan yang banyak ya sini piringnya Tante ambilin nasi.” Kata Dewi kepada keponakannya yang hobi makan makanan enak itu. Selama neneknya masih hidup anak itu dimanjakan oleh neneknya minta makan apa saja dituruti. Sekarang dia sangat kehilangan neneknya yang baik hati itu.
“Ayo mas Gun, mbak Lusi kita makan.” Dewi menawari kakak dan istrinya makan tapi Dena kakak tirinya yang lain dia cuekin saja.
Semua menikmati makan malam yang lain daripada yang lain hari itu. Sejak ibu mereka meninggal makanan hanya ada tahu, tempe, telor dan sayuran yang dimasak Dewi.
“Bagaimana ceritanya kau akan meneruskan usaha ibumu nduk, apa kau punya uang?” tanya ayah.
“Aku meminta hasil panen tahun ini untukku ayah dan mas Agus mengijinkan karena peringatan 40 hari dan 100 harinya ibu nanti butuh biaya. Uang untuk peringatan meninggalnya ibu itulah yang Dewi pinjam dulu untuk modal awal. Ibu meninggalkan beberapa sketsa yang belum dijadikan baju. Itu yang bikin usaha ini bisa segera dimulai.” Jawab Dewi.
“Bagus nduk. Untung kamu mewarisi bakat dari ibumu. Kalau tidak ada ibumu belum tentu mas mu bisa kuliah di bidang kuliner dan mbak mu bisa masuk kuliah juga punya motor baru.” Kata ayah.
“Tante Arief boleh nambah nasi lagi?” Pinta anak umur 7 tahun itu.
“Wah pinternya sudah habis. Sini piringnya Tante ambilkan nasi.” Jawab Dewi. Dewi mengambilkan nasi dan sate lagi untuk keponakannya yang lebih dekat ke dia daripada mamanya yang sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Selama ini Dewi lah yang lebih sering menemani anak kecil itu bermain.
Gunadi dan istrinya menikmati makan malam dalam diam. Dalam hati dia prihatin melihat adik bungsunya harus sendirian meniti masa depan. Belum gosip-gosip miring yang ditujukan padanya. Berbeda dengan Dena yang sejak awal selalu iri. Dena tidak terlalu beruntung dengan percintaannya. Cintanya selalu bertepuk sebelah tangan dan akhirnya dia menerima cinta seorang pria yang tidak terlalu mapan dan hanya memiliki toko kelontong di pasar. Dena tidak terlalu mencintai pria itu tapi dia malu sudah cukup umur tapi tidak ada yang mendekati. Akhirnya dia menerima cinta pria itu demi tidak di cap perempuan yang tidak laku.
Selesai makan malam lagi-lagi Dewi sendirian yang mencuci piring dan gelas bekas makan malam.
Selesai mencuci piring Dewi mengambil barang-barangnya yang berada di kamarnya yang lama untuk dipindahkan ke kamar ibunya. Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah yang dibangun oleh ibunya.
Barang-barang ibunya dimasukkan kedalam koper yang nanti akan sortir nya. Baju-baju ibunya sangat fashionable dan masih sangat layak. Dewi merasa orang yang paling tepat untuk menerima baju-baju bekas ibunya adalah uwak Asih.
Kalau ada waktu senggang Dewi ingin mengunjungi uwaknya dan memberikan baju-baju ibunya.
Semua perhiasan ibunya dia simpan di brangkas milik ibunya juga uang tunai untuk dipakai hidup sehari-hari dan biaya operasional bisnisnya.
Akhirnya Ratih merebahkan tubuhnya di springbed milik ibunya. Dulu ibunya lebih sering tidur sendirian karena ayahnya lebih suka tidur di kamarnya sendiri. Justru Dewi lah yang lebih sering menemani ibunya.
Kita tinggalkan sejenak kehidupan Dewi dan keluarganya. Bagaimana kabar keluarga Amira?
Saat itu suami Amira sudah resign dari pekerjaannya di pabrik dan mulai bekerja di sawah. Hari itu Amira mengirimkan makan siang untuk suaminya. Saat suaminya sedang menikmati makan siangnya dengan teman-temannya Amira berjalan-jalan di sekitar sawah itu. Lokasi sawah itu memiliki pemandangan yang bagus sekali. Amira jadi teringat akan cafe nya yang di Surabaya. Cafe yang berada di tengah-tengah kota. Andaikan cafe itu ada di sawah pasti lebih bagus lagi didukung oleh pemandangan sawah dan gunung di kejauhan.
“Dek….ngapain kamu panas-panas disitu nanti kulitmu hitam lho. Ayo sini…makan sama-sama kok malah jalan-jalan ga jelas.” Panggil suami Amira.
Amira menoleh kearah suaminya dan bergegas kembali ke rumah Agus yang dipakai beristirahat oleh para petani. Salah seorang petani memberinya pisang yang dipetiknya barusan. Dia menemukan sesisir yang hampir matang. Pisang itu jenis pisang tanduk yang sangat enak kalau digoreng.
Hari itu Amira pergi membeli kopi dalam jumlah agak banyak juga rempah-rempah yang disukai suaminya sebagai campuran di rebusan air kopinya.
Amira memutuskan untuk menunggu suaminya di sawah sampai selesai. Dia merasa betah berada disana. Toh masakan yang dia masak cukup sampai nanti malam.
Amira memutuskan untuk menggoreng pisang itu dia pergi ke kios terdekat yang menjual bahan makanan untuk membeli tepung dan gula. Disitu juga dijual kopi bubuk buatan penduduk setempat. Dia membeli nya satu kilo. Dan beberapa rempah-rempah.
Sekembalinya dari toko kecil itu Amira mulai menggoreng pisang, merebus air dengan rempah-rempah di cerek besar yang ada di rumah itu.
Tepat saat semua petani sudah selesai bekerja di sawah Amira memanggil para pekerja untuk minum kopi dan makan pisang goreng.
Para petani itu terbelalak saat seruputan pertama dikopinya. Melihat itu Dedy tertawa.
“Ha .. ha .. ha.. bagaimana rasa kopinya kawan, mantab kan? Buatan istriku gitu loh.” Katanya bangga.
Semua mengangguk setuju. Pisang goreng dalam sekejap sudah tandas. Kopi pun habis tak bersisa. Dia mencuci gelas-gelas bekas minum kopi dan piring kotor dan mengikuti suaminya pulang.