Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Semilir angin semakin kencang, dan Claudia tersenyum pilu. Menyiratkan luka yang tidak terlihat oleh mata.
"Baik, ya? seingat gue daddy itu orang yang paling kejam, bukannya lo udah sadar?" Claudia menatap kedua mata Deva.
"Hah? k-kok bisa? selama gue jadi lo, belum pernah gue lihat daddy melakukan kekerasan, sih. Gue dengar pembicaraan kakak lo aja."
Claudia mengalihkan pandangannya ke hamparan pohon yang bergerak-gerak tertiup angin, seolah mencerminkan gejolak dalam hatinya.
"Kekejaman itu nggak selalu terlihat, Deva. Kadang, itu tersembunyi di balik senyum dan kata-kata manis dan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja."
Deva mengernyit, berusaha memahami. "Bukannya yang kejam itu kedua kakak lo, mereka mirip lucifer setiap kali ketemu sama gue."
"Mereka semua punya cara tersendiri untuk menyakiti gue, Dev. Alurnya sudah seperti itu sejak awal." Ujar Claudia, suara lembutnya hampir tenggelam oleh suara angin.
"Kekuasaan, kontrol… Itu semua sangat merusak pikiran gue. Mungkin jarang melukai fisik, tapi emosional? itu lebih sulit di sembuhkan. Lo bakal tahu nanti dan mengalaminya sendiri, gue harap lo nggak selemah gue, Dev. Peran lo antagonis, dan sampai kapan pun antagonis selalu menjadi musuh utama bagi protagonis wanita."
Deva terdiam, merenungkan kata-kata Claudia. "Jadi, selama ini lo merasa terjebak di antara rasa sayang dan rasa benci?"
Claudia mengangguk pelan. "Setiap kali daddy tersenyum, gue merasa seperti ada dua sisi yang berlawanan. Satu sisi gue sayang sama daddy, bagaimana pun dia ayah gue, sementara sisi lainnya ingin gue melarikan diri dari mereka. Kadang gue bertanya-tanya, apakah gue cukup kuat untuk memutus tali yang menjerat leher gue dari penulisnya, agar gue bisa bernapas dengan bebas."
Deva menggenggam tangan Claudia, memberikan dukungan tanpa kata. "Lo nggak sendiri, Clau. Kalau ucapan lo benar, maka gue cuma mau minta izin sama lo. Kalo misalnya gue lepas kendali, tolong lo maklumi karena gue nggak bisa jamin mereka bakal baik-baik aja."
Mata Claudia berkilau, gadis itu tersenyum lembut. "Gue serahin raga gue sepenuhnya sama lo, jaga baik-baik, ya. Dan tolong jaga keluarga gue, jangan bunuh mereka. Beri saja mereka balasan agar menyadari kesalahannya dan menyesal. Namun lo juga harus hati-hati, karena musuh lo nggak cuma satu."
Deva mengangguk singkat ia tak ingin membuat jiwa Claudia semakin sedih, mereka berpelukan sebentar sebelum cahaya terang berwarna putih menyilaukan mata Deva, dan membuatnya kembali tersadar pada kenyataan hidupnya.
***
Waktu terus berlalu, namun tak ada satu pun orang yang datang menjenguknya. Bahkan ayahnya yang biasanya selalu ada, kini tak menunjukan batang hidungnya.
"Kan, baru juga kemarin bilang kaya gitu. Eh, sekarang sikapnya aslinya langsung muncul." Gumam Deva.
Di tengah rasa jengkel yang mendera, ia mendapat pesan dari Rora yang menanyakan keberadaannya karena tidak ada di kampus.
Deva membalas pesan itu dengan cepat, ia mengatakan bahwa sedang tidak enak badan dan berada di rumah sakit. Setelah pesan terkirim, seorang dokter muncul dengan membawa amplop putih di tangannya.
"Halo, Nona. Bagaimana kondisi tubuh Anda? apa masih ada yang sakit?" cecar dokter itu.
"Saya baik-baik aja, Dok." Jawab Deva seadanya.
Dokter itu mengangguk, dan tersenyum ramah. "Syukurlah, saya periksa dulu. Jika semua stabil maka Anda bisa pulang hari ini."
Deva menurut, ia duduk dengan tenang ketika dokter memeriksa dirinya. Sesaat kemudian, dokter menyatakan bahwa Deva bisa pulang hari ini. Ia juga di beri tahu bahwa, semua pembayaran sudah selesai.
"Lain kali jika Anda merasakan sakit di kepala Anda, segera kembali ke sini." Ujar sang dokter seraya menyerahkan amplop putih padanya.
Deva hanya mengangguk, ia menerima amplop putih itu dan memasukannya ke dalam saku celananya. Deva beranjak dari ranjang, lalu segera keluar dari rumah sakit.
Saat di halaman, ia terkejut melihat kedatangan Rora dengan mobilnya. Deva mengamati Rora yang baru turun dari mobil, dan berlari ke arahnya.
"Deva!" teriak gadis itu nyaring.
"Berisik amat lo. Ada apa kesini, Ra?"
Rora menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Gue mau jenguk lo, tapi ternyata lo udah sehat. Jadi gue anter pulang aja yuk."
"Lah, bukannya tadi lo bilang ada di kampus?" Deva merasa heran, sebab ia membalas chat dari Rora belum lama dan gadis itu mengatakan ada di kampus tapi sekarang justru ada di depannya.
"Hari ini kelas gue kosong, dosen yang ngajar lahiran." Jawabnya santai.
Rora meraih lengan Deva dan mengajaknya menuju mobil. Begitu masuk ke dalam mobil, aroma buah-buahan menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Deva. Ia tercengang melihat semangka dan nanas yang ada di kantong plastik di jok belakang.
"Lo abis dari kebun, Ra? banyak amat tuh buah," tanya Deva sedikit mengejek sahabatnya.
"Kebun mata lo, gue susah-susah beli buah buat lo, tahu. Katanya buah bagus buat tubuh lo yang kaya lemper," sahut Rora sambil tersenyum nakal, membalas ejekan sahabatnya.
"Sialan, lo kira gue makanan?" sinis Deva, namun tangan kanannya bergerak meraih kantong plastik tersebut dari jok belakang.
Ia mengambil sepotong semangka dan menggigitnya, merasakan kesegaran yang langsung menyegarkan suasana hatinya.
"Enak, kan?" Rora menatap Deva dengan senyum puas. "Makanya, jangan suka ngeluh kalo di suruh makan buah, Dev. Ini semua demi kesehatan lo."
Deva mengangguk sambil mengunyah, "Iya, iya. Tapi lo tahu sendiri, kadang gue lebih butuh makanan berat dari pada buah-buahan ini. Buah nggak bikin gue kenyang."
Rora tertawa. "Ya udah, besok kita makan berat. Tapi hari ini, lo harus makan buah ini dulu. Biar lo nggak lemas."
Deva mencibir. "Iya deh si paling bugar."
Rora terkekeh, ia menghidupkan mesin mobil dan melaju dengan cepat. Dalam perjalanan, mereka saling bercerita tentang berbagai hal mulai dari gosip teman-teman hingga rencana absurd yang mendadak mereka susun.
Deva merasa senang bisa berbagi waktu dengan Keyla, melupakan sejenak ketegangan yang terjadi di rumah sakit tadi. Namun, ia tak bisa menutupi kegelisahannya dan bertanya-tanya apakah yang akan menantinya saat tiba di rumah nanti.
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪