NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Malu Setengah Mati

Suasana halaman yang tadinya riuh seketika berubah hening. Mulut orang-orang yang berkumpul memenuhi halaman rumah ibu Nur itu pun terkunci, terkatup rapat, seolah diolesi lem perekat yang sangat kuat saat tatapan nyalang mereka kompak mengikuti tiap langkah tiga sosok yang tadinya berdiri di ambang pintu tersebut.

Napas orang-orang itu juga tertahan, seakan-akan ada beban berat yang menghimpit kala akhirnya bisa melihat dengan jelas sosok gadis yang tadi diperdebatkan.

Jika para warga yang berkumpul tak mampu bicara karena murni terkejut melihat gadis yang memandang mereka dengan tatapan menyorot bingung, maka yang dirasakan pak Somad sudah bercampur aduk. Selain merasa benar-benar terkejut melihat gadis yang menjadi musuh cinta anaknya ternyata berada di rumah dan tak kemana-mana, entah apa alasannya, pak Somad tiba-tiba saja merasakan adanya rasa takut yang diam-diam menyusup dalam hatinya.

Setali tiga uang dengan apa yang pak Somad rasakan, ibu Lasti juga merasakan hal yang sama.

Wanita paruh baya telah dibutakan akan rasa sayang kepada anak semata wayangnya itu hanya mampu mengerjapkan mata seraya menelan ludah, yang meskipun terasa sulit, namun tetap dilakukan demi mengurangi rasa kering di tenggorokannya.

"Sekarang, apa lagi yang mau kalian tuduhkan?" Armand bertanya lambat-lambat. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum mengejek saat menatap wajah-wajah pias yang ada di hadapannya.

Armand merasa sangat senang. Melihat orang-orang itu tak lagi bersuara, bahkan wajah pak Somad beserta istrinya tampak jelas memucat, Armand mendengus seraya menatap sepasang suami-istri itu secara bergantian. Kemudian, setelah merasa cukup membiarkan dua orang itu terpaku bagaikan patung, tatapan Armand yang menyorot tajam terarah kepada pria paruh baya yang tadi mengatainya bodoh. "Apakah pak Somad ingin memastikan dulu, Nissa yang ada di dekat ibu saya itu asli atau palsu?"

Pak Somad menelan ludahnya susah payah. Kedua mata pria paruh baya itu mengerjap saat mencoba mengumpulkan kembali ketenangannya.

'Apakah mereka sudah salah langkah?'

'Bagaimana bisa gadis sial*n itu malah ada di rumah dan bukannya terikat di belakangnya?"

"Kalau begitu, siapa yang sudah mereka ringkus?'

'Atau jangan-janga...

Pikiran menakutkan yang tiba-tiba muncul di benaknya itu membuat pak Somad bergidik ngeri.

Jangankan menghadapi kenyataan yang terus ditolaknya dalam hati, pak Somad bahkan tak ingin membayangkannya.

Sumpah demi apapun, pak Somad sekarang sangat takut dengan pikirannya sendiri. Isi pikiran yang tak dapat langsung dienyahkan, dan terus membuat jantungnya berdegup gelisah.

"Pak... " lirih ibu Lastri memanggil suaminya. Demi membuat sang suami mengarahkan pandangan ke arahnya, wanita paruh baya yang wajahnya sangat pias seolah tak lagi ada darah yang mengalirinya itu menarik-narik ujung jaket yang suaminya kenakan. Begitu suaminya menoleh dengan tatapan penuh ketakutan ke arahnya, ibu Lastri yang sudah tampak memelas berucap dengan suara pelan, "Kita bubarin aja mereka, pak. Kalau perlu, kita bawa perempuan yang terikat itu secepatnya dari sini."

Pak Somad mengangguk kaku. Hatinya semakin merasa tak tenang setelah mendengar apa yang istrinya katakan.

"Iya, Buk." nada suara pak Somad terdengar bergetar. Rasa takut yang menjeratnya membuat pria paruh baya itu tak berani menatap orang-orang yang dihasutnya untuk datang ke sini. "Coba ibu cari cara buat ngalihin perhatian mereka. Sementara itu, Bapak akan diam-diam membawa perempuan yang terikat itu pergi dari sin... "

"Mau pergi kemana, Pak?" tanya Armand tenang. Namun ketenangannya itu malah membuat sepasang suami-istri yang berdiri di bawah teras itu mengkerut karena takut. "Jangan pikir kalian semua bisa pergi dari sini dengan begitu mudahnya setelah kalian dengan lancarnya berusaha untuk menjatuhkan harga diri calon istri saya." ujar Armand, yang tak berniat melepas mereka semua begitu saja.

Enak saja!

Armand mendengus dalam hati. Saat kemarahan mulai kembali memenuhi dadanya, cepat Armand berpaling ke arah si mungil yang ternyata juga menatapnya dengan kening berkerut.

Ingin sekali rasanya Armand mengelus lembut kerutan di kening calon istrinya itu. Namun, situasi saat ini tidaklah tepat baginya untuk melakukan semua itu.

Sekarang ada masalah besar di depan mata yang harus diselesaikan. Demi membuat mereka semua, khususnya pak Somad dan keluarganya, tidak lagi mengusik gadis kecilnya, Armand akan memastikan semua masalah yang ada hari ini bisa terselesaikan. Biar tidak akan ada lagi yang mencoba menggagalkan rencana pernikahannya.

"Nak Ar... Armand," pak Somad tergagap saat mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang membuatnya takut ini. "Bagaimana kalau kita sudahi saja semuanya di sini. Sebentar lagi mau adzan maghrib, nggak baik bukan, kalau kita masih meributkan masalah yang hanya akan mempermalukan desa kita sendiri. Sedangkan untuk masalah mereka berlima, biar saya sendiri yang akan memberikan sanksi kepada mereka. Saya jamin, mereka semua pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatan mereka it... "

"Jadi, pak Somad ingin berbuat tidak adil?" Armand tak akan membiarkan siapapun yang sudah menghina calon istrinya lolos begitu saja. "Bukannya tadi pak Somad begitu menggebu-gebu ingin menunjukkan kelakuan buruk calon istri saya saat berada di belakang saya? Lalu kenapa sekarang pak Somad seolah ingin lari dari situasi ini? Bukankah tidak adil namanya bila calon istri saya diperlakukan tidak adil seperti ini?"

"Kalau begitu, apa yang nak Armand mau?" sumpah mati, pak Somad rasanya ingin pingsan saja saat ini biar bisa secepatnya terbebas dari situasi yang membuatnya merasa sangat takut itu.

"Biar adil, tunjukkan wajah orang-orang yang telah berbuat tak senonoh itu di hadapan kami semua. Jangan sampai pak Somad malah ingin lari karena takut."

"Siapa bilang saya takut." pak Somad langsung menyergah dengan nada tak terima. Mendapati semua mata kini mengarah padanya, pak Somad yang sudah kepalang basah berada di situasi rumit itu langsung menggapai ujung kain hitam berbentuk karung milik satu-satunya wanita yang berlutut di sana.

Srettt...

Kain hitam yang menutupi kepala wanita yang sedari tadi tak sedikitpun mengeluarkan suara itu pun terlepas dan begitu kepala wanita itu terangkat perlahan, orang-orang yang berkumpul di halaman itu kompak menahan napas.

*****

BEBERAPA JAM SEBELUMNYA

Lilis melangkah begitu ringan. Layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan permen oleh orang tuanya, gadis itu bahkan tampak sesekali melompat kecil karena kesenangan.

Suasana hati Lilis sangat baik hari. Sejak tadi pagi sampai siang ini, senyum tak pernah surut dari bibirnya.

Sebentar lagi...

Katanya dalam hati. Sambil terus mengarahkan langkahnya menuju tempat dimana ia akan diam-diam memantau para pemuda yang suka sekali minum-minum di ujung desa sana yang akan melancarkan rencana gilanya hari ini, Lilis kembali mengingat beberapa isi percakapan antara dirinya dengan kedua orang tuanya.

"Langsung diarak aja keliling desa dalam keadaan bugi* dan mukanya nggak perlu juga ditutup, Lis."

"Benar, Lis, ibu setuju dengan pendapat ayahmu, Lis. Kenapa mesti ditutup segala mukanya? Mana kamu juga nyuruh Ibuk masangin baju perempuan itu sebelum diarak lagi."

"Aku mau mas Armand adalah orang pertama ngeliat langsung muka perempuan si*l itu, Buk. Mas Armand pasti bakalan keliatan makin ganteng waktu mandang jijik perempuan itu." Lilis terkikik kesenangan saat membayangkan pria idamannya tak lagi mempedulikan saingan cintanya itu.

"Kamu yakin rencanamu itu akan berhasil, Lis? Kok tiba-tiba ayah malah jadi was-was ya."

"Ayah tenang aja." dengan ringan Lilis menimpali perkataan ayahnya. "Tunggu sekiranya langit mulai sedikit gelap, baru lah kalian dobrak pintu rumah kosong itu. Dan, jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan besar untuk menghancurkan rencana pernikahannya mas Armand." ucap Lilis kemudian seraya berdiri.

"Kamu mau kemana, Lis?"

Lilis menoleh ke arah ibunya. Senyumnya terkembang lebar saat menjawab, "Mau mandi sekaligus dandan, Buk. Habis itu, aku mau ngeliat langsung gimana perempuan itu menjadi jalan* sama seperti ibunya. Setelahnya, aku akan menemui mas Armand untuk menghiburnya. Siapa tau aja karena terharu ngeliat aku yang begitu perhatian padanya, bisa aja yang berdiri di sisinya di pelaminan nanti adalah aku."

Mengingat isi pembicaraan yang membuat hatinya berbunga-bunga itu, Lilis kembali terkikik kegirangan. Tiap langkah yang diambilnya terlihat sangat ringan, seolah tak lagi beban yang membuatnya merasa berat untuk melangkah.

Tak lama kemudian langkah Lilis pun terhenti. Dipandanginya sekeliling ujung desa yang tampak sepi itu. Dan dalam hatinya, Lilis justru merasa suasana sepi itu malah semakin bagus. Dengan begitu, tidak ada satu pun orang pun yang akan menolong gadis yang sangat dibencinya itu.

Lalu, saat merasa situasi telah aman dan tak mungkin ada yang akan menggangu rencananya, Lilis melangkah menuju beberapa pohon rindang yang ada di sebelah kanan jalan yang sudah diaspal tersebut.

Lilis menunduk, bersembunyi sembari menunggu target yang sebentar lagi akan masuk ke dalam jebakannya. Fokusnya tak terganggu. Bahkan nyamuk yang menggigitnya pun tak mampu mengalihkan perhatiannya.

Saking fokusnya menatap jalan yang menuju ke desa, Lilis tak menyadari ada empat orang lelaki yang telah berdiri di belakangnya. Seringai mengerikan di bibir mereka pasti akan membuat Lilis menjerit jika saja gadis itu melihatnya.

"Sebentar lagi." Lilis berucap menggebu-gebu. Setelah melihat sejenak jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, Lilis kembali mengarahkan pandangannya ke arah jalan yang masih tampak sepi itu. "Mana sih tuh perempuan sok kecantikan? Aku benaran nggak sabar pengen ngeliat dia han... hmpp... " Lilis tercengang dan perkataannya sontak terhenti saat merasakan ada benda yang dimasukkan begitu saja ke dalam mulutnya.

Dan sebelum Lilis sempat bereaksi, mulutnya sudah lebih dulu disumpal dengan sesuatu yang baunya bikin ia ingin muntah.

Lilis ingin berteriak. Namun apalah daya mulutnya sudah terisi penuh hingga merintih pun tak sanggup ia lakukan. Ditambah lagi kedua tangannya tiba-tiba dipelintir ke belakang, Lilis makin tak berdaya.

Keringat dingin mulai membanjiri kening Lilis. Saat tubuhnya dipaksa melangkah menuju menuju sebuah rumah kosong terbengkalai yang terletak tak jauh dari sana, tubuhnya seketika bergetar.

"Kenapa malah jadi seperti ini?" jerit Lilis dalam hati.

Wajah gadis itu tampak memucat saat lagi-lagi dengan paksa tubuhnya dibaringkan di lantai yang sangat kotor dan bau. Ketidakberdayaan Lilis semakin menjadi saat kedua tangannya diikat dan ditarik ke atas.

Rasanya sudah seperti tikus yang terjepit. Ingin lari, namun tak ada jalan keluar yang bisa dituju.

"Ayo kita bersenang-senang, manis. Kami jamin, kau akan puas menerima pelayanan dari kami berempat."

Lilis bergidik. Membayangkan para pemabuk itu menggilirnya, Lilis semakin dilanda ketakutan. Akan tetapi, begitu merasakan betisnya dielus dengan lembut, Lilis merasakan sekujur tubuhnya meremang.

Sia*...

Umpatan itu hanya bisa Lilis ucapkan dalam hati. Ternyata, yang tadi dipaksakan masuk ke dalam mulutnya adalah obat perangsan* yang sudah ia ketahui seperti apa khasiatnya.

Pengetahuan Lilis akan khasiat obat tersebut bukan karena ia pernah mencobanya. Namun, semua itu ia ketahui dari salah seorang teman dekatnya, yang tanpa malu menunjukkan rekaman video saat temannya itu berhasil membuat lelaki yang diincarnya tak berdaya karena obat tersebut.

Lalu kini, Lilis merasakan sendiri efek obat tersebut. Lengu*annya semakin tak terbendung saat merasakan tangan-tangan nakal itu mulai membel*i sekujur tubuhnya.

Bagai ikan kepanasan yang sangat membutuh air, reaksi tubuh Lilis yang mendamba membuatnya tak berdaya. Meski otaknya terus menolak, namun tubuhnya justru bereaksi sebaliknya.

Bahkan saat satu persatu kain yang melekat ditubuhnya mulai dilepas, Lilis hanya bisa memandang ke empat lelaki yang mengelilinginya itu.

Lilis benar-benar ingin berteriak meminta tolong. Akal sehatnya masih berusaha menampik reaksi memalukan yang ditunjukkan oleh tubuh dan juga suaranya yang terus menger*ng. Akan tetapi, saat sumpalan mulutnya dilepas, nyatanya tak ada satu pun kata penolakan yang keluar dari bibirnya.

Tatapan Lilis semakin sayu penuh damba. Kata-kata kotor yang diucapkan oleh empat lelaki itu malah membuat rasa mendamba dalam dirinya makin tak terkendali.

"Tahan sebentar ya, cantik." lelaki berambut gondrong yang telah bertelan*ng b*lat itu memposisikan dirinya di depan kedua kaki gadis yang akan bersenang-senang dengan mereka. Lelaki terlihat menjilat bibirnya saat mulai mengarahkan bukti kelelak*annya, siap menjebol gawang yang masih perawa* itu. "Sakitnya cuma sebentar aja kok. Setelahnya kau bakalan ketagihan dan minta kami semuanya untuk terus menghenta* ke dalam dirimu."

Lilis tak tahu lagi apa yang terjadi kepada dirinya. Bukannya menghindar atau bahkan menjerit, dengan tak tahu malunya ia malah mengangkat pinggu*nya, siap menerima keberadaan lelaki itu sepenuhnya dalam dirinya.

Lalu...

Erang*n keluar dari bibir lilis dengan disertai kernyitan di kening saat merasakan rasa sakit di tubuh bagian bawahnya.

Namun, rasa sakit itu hanya terasa sebentar. Setelah beberapa kali hentak*n yang memenuhi dirinya itu membuatnya terbiasa, Lilis justru merasakan rasa nikmat yang selama ini tak pernah dirasakannya.

Selesai dengan lelaki pertama yang menumpahkan seluruh ca*ran ke dalam dirinya, Lilis kini malah tersenyum senang menyambut lelaki kedua yang akan mengisi penuh dirinya.

"Kau sangat sempi*, sayang."

Perkataan yang terdengar bagai pujian tersebut membuat Lilis merasa bangga. Hingga Lilis menjadi lupa segalanya. Sampai-sampai saat pintu didobrak dan terdengar suara-suara gaduh di dekatnya, Lilis justru memejamkan mata sambil menunggu dirinya kembali terisi penuh.

Sangat terbuai dengan kenikmatan yang terasa sangat memanjakan tubuhnya itu, Lilis tak lagi mempedulikan sekitarnya.

Sehingga, saat kesadaran mulai kembali Lilis dapatkan, di sinilah Lilis berada sekarang. Berlutut di tanah dengan banyak orang yang mengelilinginya. Yang mana saat menatap pasangan paruh baya yang telah berurai air mata berdiri di hadapannya, Lilis hanya mampu mengerjap karena belum sepenuhnya memahami situasi seperti apa yang sudah terjadi padanya.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!