Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Dewi membuka pintu rumah perlahan. Keheningan menyambutnya. Tidak ada suara langkah Rafael, tidak ada dentingan gelas atau suara musik klasik yang biasanya mengisi ruangan. Ia tahu, Rafael tidak ada di rumah. Pasti sedang ‘bekerja’. urusan Rafael yang tak pernah benar-benar legal.
Ia masuk ke kamar, lalu menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya yang lelah. Wajahnya sedikit tersenyum mengenang pelukan Clara, suara Matteo, meski ada kekhawatiran tersisa.
Namun begitu ia keluar dari kamar mandi. pintu kamar terbuka keras dengan suara BRAKK!!
Dewi terlonjak, tubuhnya hanya berbalut jubah mandi, rambutnya basah menjuntai.
Di ambang pintu, berdiri Rafael. Rahangnya mengeras. Matanya membara. Nafasnya memburu, seolah menahan amarah yang hendak meledak.
Dewi menatapnya kebingungan. “Rafael? Ada apa?”
Rafael melangkah cepat ke arahnya, wajahnya semakin gelap.
“Kau pergi ke mana tadi?” suaranya datar, namun dinginnya menusuk lebih dari pisau.
“Aku… aku pergi ke kafe. Untuk menemui temanku. Bukankah aku sudah bilang padamu tadi?”
“Siapa yang kau temui?” tanya Rafael lagi, nadanya lebih tajam.
“Teman… hanya teman…”
“Siapa?!” bentaknya, kali ini lebih keras, membuat Dewi mundur satu langkah.
Dewi mulai bergetar. “M-Matteo… dan Clara…”
Rafael terdiam sejenak. Lalu ia tertawa kecil. Tertawa yang bukan karena lucu. melainkan karena amarah yang mulai meletup dalam dirinya.
“Kau menemuinya? Mereka? Orang-orang yang telah berkhianat padaku?” Rafael mengayunkan tangannya ke udara seolah ingin menghancurkan sesuatu.
“Mereka akan menghasutmu. Mereka akan menarikmu pergi dariku. Kau tahu siapa mereka, Dewi. Dan kau tahu aku membenci pengkhianat!”
“Mereka tidak mengkhianatimu! Mereka hanya peduli padaku, Rafael! Mereka tidak mengajakku pergi darimu!” Dewi membalas dengan suara gemetar, tapi tegas.
“Aku sudah memperingatkanmu. Aku sudah memberimu rumah, pakaian, makanan, hidup mewah, dan perlindungan! Tapi kau masih… masih berhubungan dengan mereka?”
Dewi meneteskan air mata, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. “Aku hanya ingin bertemu mereka. Sekali. Aku tidak akan pergi. Aku… hanya ingin merasakan hidupku sendiri… meski sesaat…”
Wajah Rafael tampak retak untuk pertama kalinya. Amarah, luka, dan ketakutan bercampur dalam sorot matanya. Tapi tetap, egonya lebih besar dari perasaannya.
“Kau milikku, Dewi. Dan aku tidak suka jika milikku disentuh oleh orang lain. Bahkan oleh keluargaku sendiri.”
Dewi memeluk perutnya perlahan. “Lalu… jika aku milikmu, bagaimana dengan anak ini? Apakah dia juga akan kau miliki… atau kau lindungi?”
Rafael diam. Pandangannya jatuh pada perut Dewi, dan untuk sesaat, matanya melembut… tapi hanya sesaat.
“Jangan pernah ulangi ini lagi,” ucapnya pelan namun dingin. “Atau kau akan tahu seberapa gelap tempat yang bisa kutinggali… bahkan bersamamu.”
Kemudian ia melangkah keluar kamar, membanting pintu dengan keras. Dewi jatuh terduduk di lantai, air mata jatuh tak tertahan.
...
Malam turun dengan sunyi yang pekat. Hujan gerimis mulai membasahi jendela kamar, menambah keheningan yang menyesakkan. Di atas ranjang, Dewi berbaring memunggungi pintu. Tubuhnya meringkuk, wajahnya menghadap ke dinding. Jubah mandinya masih melekat, belum berganti pakaian. Rambutnya sudah mulai mengering, namun pipinya masih basah. bekas air mata yang seakan tak pernah kering malam itu.
Pintu kamar terbuka pelan. Rafael melangkah masuk, gerakannya nyaris tanpa suara. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, hanya memandangi punggung Dewi yang kaku. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya. bukan lagi kemarahan, melainkan rasa bersalah yang mengendap dan ketakutan yang ia benci. takut kehilangan.
Rafael menarik napas dalam-dalam. Ia melepas jas hitam yang sejak tadi masih menempel di tubuhnya, meletakkannya di sofa dekat ranjang. Kemudian ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dan tubuhnya secepat mungkin, seolah ingin menyingkirkan bayangan kemarahan yang tadi meledak di hadapan Dewi. Air dingin menyegarkan, tapi tak cukup menenangkan pikirannya yang kusut.
Begitu keluar dari kamar mandi, Rafael mengenakan celana tidur dan kaus gelap. Ia memandang Dewi yang tetap dalam posisi yang sama. Perempuan itu tak bergerak, bahkan tak menoleh, seolah menolak keberadaannya. Sorot mata Rafael meredup, hatinya terasa seperti dicengkeram kuat-kuat oleh tangan tak kasat mata.
Perlahan, Rafael menaiki ranjang dan berbaring di sisi Dewi. Ia tidak menyentuhnya. Hanya berbaring di sana, memandang punggung perempuan yang semakin terasa jauh. Tangannya mengepal di atas dada, gelisah, menahan desakan emosi yang belum selesai.
Ia ingin meraih Dewi, memeluknya, meminta maaf. Tapi bibirnya terkunci. Ego masih menjadi jeruji yang membelenggunya. Yang mampu ia lakukan hanyalah berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
“Aku takut… kau akan pergi dariku lagi…”
Dewi tidak menjawab. Tapi Rafael tahu, kata-katanya didengar. Hanya saja, luka yang ditorehkannya tak bisa disembuhkan dengan kalimat semurah itu. Luka Dewi sudah terlalu dalam, terlalu lama, dan terlalu banyak.
Rafael menutup matanya, berusaha mengatur napas. Matanya tak benar-benar tertutup lelap malam itu. Ia hanya berbaring di samping Dewi, menatap punggungnya dalam diam, ditemani ketakutan yang membayang. ketakutan kehilangan, ketakutan akan masa lalu, dan ketakutan bahwa kali ini, jika Dewi benar-benar memilih pergi, dia tidak akan bisa menahannya lagi.
Dan di sisi lain ranjang, Dewi menangis tanpa suara. Tangis yang ia telan dalam-dalam, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Karena ia mencintai Rafael, tapi cintanya terasa seperti tali yang terus mencekik.
Dalam gelap, dua jiwa saling membelakangi, sama-sama terjaga oleh rasa takut yang berbeda. Namun malam tetap berjalan… membawa mereka pada batas di mana cinta, luka, dan keinginan untuk bertahan saling bertabrakan.
...
Pagi datang perlahan, membawa sinar lembut matahari yang menyelinap di sela tirai kamar. Tapi suasana di dalam masih diselimuti sunyi. Rafael membuka matanya lebih dulu. Ia menoleh pelan ke arah Dewi yang masih membelakanginya, namun kali ini tak meringkuk. Nafasnya teratur. Tenang. Tapi kosong.
Rafael mengembuskan napas pelan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa… miring. Mungkin bersalah, mungkin takut. Mungkin keduanya. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, melirik Dewi sekali lagi sebelum berjalan keluar kamar.
Langkah kakinya membawa dia ke tempat yang nyaris tak pernah ia sentuh. dapur. Para pelayan sedang sibuk menyusun piring dan memotong buah, hingga salah satu dari mereka menoleh. dan tiba-tiba semua berhenti seketika.
Pisau berhenti mengiris. Tangan-tangan membeku di udara. Tatapan mereka tertuju pada satu sosok. Rafael.
Langkah dinginnya masuk ke dapur seperti suara petir di hari cerah. Tak satu pun dari mereka berani bicara, apalagi menatap mata pria yang terkenal dingin itu. Mereka buru-buru menunduk, menepi, memberi jalan seolah malaikat maut baru saja menyeberang.
Rafael, seperti biasa, tak mengatakan apa pun. Wajahnya datar. Tapi ada sesuatu yang lain hari ini. ia tampak… bingung.
Matanya mengitari dapur. Lemari. Rak. Meja. Semua tampak asing. Ia mengernyit, mencoba mencari sesuatu, tapi ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
Seorang pelayan tua, tubuhnya agak bungkuk dan rambutnya sudah penuh uban, memberanikan diri mendekat. Ia berbicara dengan sangat hati-hati, hampir berbisik.
“Maaf, Tuan… apakah Tuan sedang mencari sesuatu?”
Rafael tetap menatap rak dapur. Tanpa menoleh, ia menjawab datar,
“Susu hamil. Di mana kalian menyimpannya?”
Suasana makin hening. Bahkan dentingan sendok pun tak terdengar.
Pelayan tua itu menelan ludah.
“Di rak paling atas, Tuan.”
Tak ada kata “terima kasih” dari Rafael, tentu saja. Ia hanya melangkah ke rak itu, membuka pintu, dan menemukan kaleng susu yang dimaksud. Tangannya mengambilnya perlahan, lalu meletakkannya di atas meja.
Para pelayan menatap tak percaya saat Rafael membuka lemari mencari gelas, lalu sibuk membaca petunjuk penyeduhan seperti anak sekolah yang sedang belajar memasak untuk pertama kalinya. Tangannya menuang bubuk susu, mengambil air hangat, dan mengaduk perlahan. Gerakannya kaku, tapi sungguh-sungguh. Ada kesungguhan di matanya, meski wajahnya masih seperti patung marmer yang tak menunjukkan emosi.
Begitu selesai, ia mengambil nampan kecil, meletakkan gelas di atasnya, lalu membawanya naik ke kamar.
Saat ia mendorong pintu, sinar pagi telah memenuhi ruangan. Dewi sudah bangun. Ia duduk di sofa dekat jendela, rambutnya digerai seadanya. Matanya tak lagi sembab, tapi juga tak menunjukkan senyum. Ia hanya duduk di sana… diam. Dan entah kenapa, bagi Rafael, itu lebih menyakitkan daripada jika ia menangis atau memberontak.
Diam Dewi membuat ruangan terasa asing. Rafael melangkah pelan, lalu berhenti di depan meja kecil di samping sofa. Ia meletakkan susu itu di sana, tanpa kata. Gelas itu tampak hangat, mengeluarkan uap tipis yang menggoda.
“Untukmu,” katanya singkat. Suaranya pelan. Tak seperti biasanya.
Dengan langkah pelan dan penuh keraguan, Rafael menunduk. Ia menatap wajah Dewi dalam-dalam, seolah mencoba menemukan kembali sesuatu yang hilang. Lalu tanpa berkata sepatah pun, ia membungkuk dan mengecup pelan kening istrinya.
Kecupan itu ringan… hampir tak terasa. Tapi di dalamnya, ada kehangatan yang asing. hangat yang bukan datang dari tubuh, tapi dari hati yang pelan-pelan mulai berubah arah.
Dewi membeku di tempatnya. Tak bicara. Tak bergerak. Tapi matanya sedikit membulat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Keningnya masih terasa hangat, dan bukan karena uap dari gelas susu.
Rafael menarik diri perlahan, tapi pandangannya tetap tertuju pada Dewi. Kali ini, ia bicara sedikit lebih tegas.
“Bersiaplah,” ucapnya singkat.
“Kita akan pergi ke suatu tempat.”
Dewi akhirnya mengangkat wajah, menatap Rafael. Alisnya sedikit berkerut.
“Ke mana?” tanyanya lirih, nyaris berbisik. Suaranya masih lemah, tapi setidaknya… itu bukan diam.
Rafael tak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil.
“Kau akan tahu saat kita sampai di sana,” jawabnya tenang, lalu berbalik keluar kamar.
Dewi menunduk, memandangi gelas susu di tangannya. Jemarinya menggenggam erat, seolah mencoba memindahkan semua kebingungan, semua emosi, ke dalam benda hangat itu.