Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Perang
Keesokan harinya, kantor Noah dipenuhi keheningan canggung sejak pagi. Para karyawan saling berbisik begitu mendengar kabar bahwa Ivy akan bekerja di perusahaan sebagai asisten pribadi sang direktur.
Di dalam ruang rapat kecil, Noah duduk sambil memandangi Ivy yang kini berada di hadapannya, mengenakan kemeja putih dan rok span hitam yang menonjolkan keanggunan sederhana. Rambutnya digerai setengah, dan tatapannya penuh tanya.
“Aku tahu kamu pasti kaget. Tapi aku ingin kamu jadi asisten pribadiku mulai hari ini,” ucap Noah sambil menyodorkan ID card pegawai tetap.
Ivy terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bicara. “Kenapa aku, No? Sebenarnya daripada menjadi asisten pribadi, aku lebih nyaman bekerja sebagai konsultan properti. Aku suka tantangan, tidak bisa diatur, dan lebih senang bekerja secara fleksibel.”
“Aku pedulikan adalah kamu ada di sisiku. Aku tahu kamu bisa dipercaya. Kamu sudah cukup banyak membantuku meski kita masih status suami istri ‘kontrak’. Sekarang, aku ingin kamu ikut dalam semua urusan bisnis maupun pribadi.” Suara Noah begitu mantab begitu juga dengan tatapannya.
Ivy mengambil ID itu perlahan, menatap wajah Noah dalam-dalam. “Baik, aku akan coba. Tapi bukan karena kamu direkturku, tapi karena kamu adalah seseorang yang ingin aku bantu, dengan caraku.”
Noah mengangguk. “Dan itu lebih dari cukup.”
Di luar ruangan, Gendis yang baru saja lewat berhenti mendadak. Dia mendengar percakapan itu. Telinganya panas. Wajahnya memucat, dan amarahnya naik ke ubun-ubun.
Dia buru-buru kembali ke mejanya, lalu mengeluarkan ponsel. Tangannya bergetar saat menekan nama Mentari di daftar kontak.
“Tante, Ivy sekarang jadi asisten pribadi Pak Noah. Kita harus lakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat,” bisik Gendis sambil menahan napas.
Mentari di seberang terdengar menghela napas panjang. “Tenang, Ndis. Kita tidak akan tinggal diam. Aku sudah punya rencana.”
Sore hari, Gendis bertemu kembali dengan Mentari di sebuah restoran mewah di pusat kota. Mereka duduk di sofa VIP yang tersembunyi di balik partisi kayu. Aroma bunga lily dan vanila memenuhi ruangan.
“Apa rencana Tante?” tanya Gendis dengan suara pelan.
Mentari menyeruput tehnya sebelum menjawab, “Ivy punya kelemahan. Dia emosional. Kita tekan dia dari dua sisi, pekerjaan dan perasaan. Kita akan buat dia merasa tidak pantas ada di posisi itu.”
Gendis menatap penuh minat. “Maksud Ibu?”
“Kamu akan pura-pura dekat dengan Noah lagi. Tapi tidak frontal. Cukup sering muncul, cukup sering membantu, buat dia bingung dan cemburu. Sementara aku akan membuat para pemegang saham mempertanyakan keputusan Noah mempekerjakan istri sendiri.”
“Kita akan buat Ivy merasa dirinya hanya beban,” lanjut Mentari, suaranya serendah desis ular.
Gendis mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan mulai dari besok.”
Hari-hari berikutnya, Ivy mulai merasakan tekanan yang tidak wajar. Beberapa dokumen yang dia siapkan tiba-tiba menghilang dari sistem. Email penting yang harusnya sampai ke Noah, entah kenapa tidak terkirim. Padahal, Ivy yakin betul sudah melakukannya dengan benar.
“Vy, kamu yakin sudah kirim laporan yang kemarin?” tanya Noah suatu sore.
“Iya, No. Aku bahkan sudah CC ke kamu dan Pak Dimas.”
Tapi Noah hanya mengangkat alis sambil menunjukkan ponselnya. “Nggak ada. Dan Dimas bilang juga nggak dapat.”
Ivy terdiam. Matanya menyipit. “Aku tahu aku nggak salah, No.”
“Aku percaya. Tapi kamu harus lebih hati-hati, ya.”
Ivy mengangguk perlahan, meski hatinya mulai waswas.
Sementara itu, Gendis tampil semakin sempurna. Selalu siap saat Noah butuh bantuan tambahan, entah saat Ivy sedang tidak di tempat, atau saat jadwal mendadak muncul.
“Noah, saya sudah siapkan draft kerja sama untuk klien Jepang itu. Kalau perlu, saya bisa bantu jadi penerjemah juga. Ivy pasti capek banget habis urus presentasi tadi pagi,” ucap Gendis dengan senyum manis yang dibuat-buat.
Noah menatap Gendis datar. “Tidak perlu. Aku akan menemui kloen bersama Ivy.”
Sekilas senyum Gendis memudar, tetapi dia cepat kembali ke wajah manisnya. Sementara itu, Ivy mulai resah. Dia merasa ada yang tidak beres.
Komputer kerjanya sering mati tiba-tiba. Printer yang biasa dia gunakan mendadak rusak tiap kali dia hendak mencetak laporan. Namun saat dicek oleh orang lain, semuanya kembali normal.
Sore itu, Ivy datang ke ruangan Noah sambil membawa map. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Noah dan Gendis sedang berdiri berdampingan, membahas sesuatu sambil tertawa kecil. Ivy menatap mereka beberapa detik, lalu mengetuk pintu.
Noah langsung menoleh. “Masuk, Vy.”
Ivy masuk, menyerahkan map itu tanpa menatap Gendis. “Ini file yang kamu minta.”
“Terima kasih, Sayang,” ujar Noah lembut.
Gendis langsung tersenyum sinis dan pamit keluar. Namun sebelum dia benar-benar menutup pintu, Gendis berkata, “Pak Noah, nanti malam jangan lupa kita dinner sama klien, ya. Biar saya ingatkan lagi.”
“Iya, nanti Ivy ikut juga,” jawab Noah cepat.
Gendis terdiam sejenak, lalu mengangguk. Akan tetapi, begitu keluar dia meremas tangan dengan kuat. Rasa cemburu bercampur sakit hati semakin menumpuk.
“Aku tidak akan kalah dari perempuan itu,” gumam Gendis sambil menatap langit mendung di luar jendela.