"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deal!
Pandangan yang di arahkan ke bawah sambil berjalan seraya melamun itu bukanlah hal yang bagus. Namun, bagaimana lagi? Dia kepalang malu, jari telunjuk yang di arahkan ke arahnya tadi waktu di kelas bagaikan tanda yang sengaja ditunjukkan untuk mempermalukan dirinya.
Soal tadi saat Geswa berbicara tentang pria itu yang akan menunggu di ruangannya, tak ia pedulikan. Sebab, saat ini Endria sudah mengikuti sang calon kakak ipar yang merangkap jadi dosennya dari belakang.
Daripada ia nanti membuang-membuang waktu mencari ruangan Geswa, mending ia langsung saja mengikuti pria di depannya ini setelah sesi perkenalan singkat tadi selesai.
"Aduh!"
Tuh kan! Endria meringis karena tak sengaja menabrak punggung keras Geswa sebab gadis itu yang tak memperhatikan jalan, bahkan tak sadar kalau mereka sudah berada di depan pintu sebuah ruangan dan Geswa sedang ingin membuka pintu tersebut.
"Kenapa? Kalau kamu marah langsung bicara saja, Endria" Geswa salah paham, pria itu kira Endria sengaja menabrakkan kepala gadis itu di punggungnya.
Endria tak menjawab, gadis itu sibuk mengelus-elus dahinya yang sakit.
Itu punggung atau batu? gumam Endria kesal.
"Itu kesalahanmu, tapi kenapa menyalahkan punggungku? Mau melihatnya?" tanya Geswa acuh tak acuh, dia mendengar gumaman kesal Endria. Pria itu masih sibuk memutar kuncinya.
Mendengar pertanyaan Geswa membuat Endria mendelik, dan membuat gerakan ingin menggampar kepala pria itu dari belakang.
"Aku peringatkan jangan berani ingin memukul, Endria, mau aku persulit skripsinya?" Geswa menekan kenop pintu, lalu melangkahkan tungkainya masuk ke ruangan tanpa ingin repot-repot untuk mempersilakan Endria masuk.
Di luar ruangan Endria terbengong, gadis itu menganga. Ia heran kenapa setiap gerak-gerik yang bahkan ia anggap Geswa tak akan lihat bisa pria itu ketahui.
Apakah diam-diam pria yang sudah ia anggap gila itu adalah cenayang?
Kemudian, dengan berani Endria menekan kenop pintu lalu masuk ke dalam ruangan.
Ruangan yang cukup lengkap, bahkan tak seperti ruangan para dosen lainnya.
Ruangan ini sedikit luas, dengan meja kerja yang lebar dan kursi empuk. Di sini juga ada sofa panjang yang masih terlihat baru, ada rak buku yang sudah terisi penuh, ada ruangan lain yang ternyata kamar mandi, terakhir ada dispenser air.
"Silakan duduk."
"Kenapa Kak Geswa bisa tiba-tiba jadi dosen? Apa karena aku?" Bukannya duduk, Endria langsung menghunus Geswa dengan pertanyaan yang sudah sedari tadi menari-nari di telinganya. Gadis itu berkacak pinggang.
Geswa mendongak menatap Endria yang sedang marah di depannya.
"Kamu duduk dulu." Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Geswa bersikeras menyuruh Endria untuk duduk di depannya.
Endria pun mendudukkan dirinya, ekspresinya belum berubah.
"Jawab pertanyaan aku, Kak." Tatapan mata Endria menajam.
"Atas dasar apa kamu berpikir seperti itu?" tanya Geswa yang tak ingin mengakui alasan keberadaannya di sini, ia tak ingin terlihat terlalu terobsesi di sini.
"Atas dasar apa?" tanya Endria balik. "Jangan katakan Kak Geswa di sini hanya untuk mengisi waktu kosong, apa Kak Geswa pikir aku bodoh?" Endria mulai berani mengeluarkan argumen-argumen masuk akalnya.
Saat di atas pesawat dua hari yang lalu, Geswa membeberkan alasan keberadaannya di sana yang menyiratkan kalau pria itu sengaja mengikutinya. Apakah hal itu belum menjadi bukti kalau keberadaan Geswa di kampus itu untuk dirinya? Bukannya Endria GR, tetapi hal itu nyata adanya.
"Kalau memang pikiranmu itu benar, memangnya kenapa?" tanya Geswa balik, menantang.
"Kak Geswa serius nanya kayak gitu?" tanya Endria yang sudah terlihat gusar.
"Aku sudah berkali-kali bilang kalau aku itu nggak suka sama kamu, aku tunangan Gatra, dan Gatra adik Kak Geswa." Endria berusaha menjelaskan kalau perasaan Geswa itu salah.
"Perasaan Kak Geswa salah," ucap Endria berkata jujur.
"Ini perasaanku Endria, aku berhak memberikannya pada siapapun!" Geswa berteriak marah. Pembicaraan mereka malah berakhir pertengkaran.
"Dan aku juga berhak untuk menolaknya!" balas Endria yang juga berteriak. Gadis itu frustrasi, ternyata tak semudah itu menyadarkan seseorang yang sudah dibutakan oleh perasaan.
"Aku bahkan tak peduli akan penolakanmu, Endria."
Wajah Geswa berubah memerah, pria itu menahan mati-matian emosinya. Mendengar penolakan yang langsung keluar dari bibir mungil itu membuatnya sakit hati.
Tiba-tiba Endria terkekeh padahal tidak ada yang lucu di sini. "Kak Geswa nggak peduli? Oke, aku juga nggak akan peduli soal perasaan Kak Geswa." Endria berdiri dari duduknya. "Aku harap Kak Geswa nggak usah jadi dosen di sini, aku benar-benar bisa muak kalau lihat kamu saat bimbingan." Perkataan Endria terlalu kasar. Gadis itu lalu berjalan keluar, kemudian menutup pintu dengan sangat keras.
Setelah menyaksikan kepergian Endria, Geswa beranjak dari duduknya lalu menggebrak meja kerja itu dengan penuh tenaga sampai-sanpai kedua tangan pria itu memerah.
"Sial!" umpat Geswa penuh emosi.
Yang membuat seseorang di depannya berjengit kaget. Gadis itu sedari tadi memanggil-manggil Geswa guna menyadarkan pria itu, tetapi ia malah mendapat makian.
"Kak Geswa!" teriak Endria.
Geswa langsung tersadar dari lamunannya, mata tajam itu terlihat tak fokus. "Kamu kenapa?" tanya Geswa linglung, ia mengedip-ngedipkan kedua kelopak matanya.
Kemudian setelah lebih sadar, otaknya langsung memproses kalau pertengkaran, serta penolakan penuh emosi dari Endria tadi hanya khayalannya semata.
Geswa berdeham.
"Kamu aku rekrut jadi asisten," beritahu Geswa to the point.
"Kenapa harus aku?" Endria memprotes. "Dania saja, dia asisten Pak Setya dulu, bagaimana?" Endria malah mengusulkan Dania, bermaksud negosiasi.
Tingkah mereka berdua yang membicarakan hal yang normal membuat kalian bingung, kan? Ya, kali ini Endria tak ingin mencari masalah dulu. Selagi Geswa tak berbuat aneh seperti yang lalu-lalu, itu tak akan menjadi masalah.
Seperti yang Endria katakan, ia tak akan mengingat kenangan di mana Geswa nekat menciumnya.
Kejadian itu bukan apa-apa, dan kejadian itu cuma masalalu. Itulah sugesti dari otaknya beberapa hari ini?
Apalagi Geswa saat ini terlihat tenang-tenang saja. Pria itu tak memperlihatkan rasa sukanya secara berlebihan.
"Kamu bahkan tak berhak untuk menolak Endria, kamu tak ingin nilai tinggi? Dengan kamu yang menolak bisa saja eksistensimu menurun." Geswa berusaha mencari kata yang tepat agar Endria ingin menjadi asistennya.
"Dengan tawaranku kamu bahkan terbilang beruntung, tak bisa sembarang orang yang bisa menjadi asistenku." Geswa menyombongkan diri.
Endria tertantang sekaligus tergiur.
"Baiklah, aku setuju, tapi dengan satu syarat." Mata bulat Endria memicing ke arah Geswa. "Kak Geswa harus berpura-pura tak mengenal aku, maksudnya, anggap aku bukan calon adik ipar kak Geswa." Itu syarat yang Endria layangkan.
"Memang bukan," gumam Geswa yang tak bisa Endria dengar secara jelas. "Baiklah, mulai saat ini kamu resmi menjadi asistenku," kata Geswa sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Deal!" Endria menjabat tangan Geswa dengan ekspresi datar.