Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkedok Sahabat Sejati
Dengan gelisah Lania duduk di sudut Kafe. Dia melihat hilir-mudik pengunjung yang datang. Akan tetapi, orang yang ditunggu-tunggu tidak juga datang.
Jemarinya membuka tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan ponsel, Lania jelas terlihat cemas. Sagara tidak menepati janji, pria itu langsung ke perusahaan begitu tiba di Jakarta. Bahkan, menolak kehadirannya.
Selang setengah jam, wanita muda berpakaian rapi masuk kafe sambil celingukan. Dia menoleh ke arah Lania dan segera mendekat.
“Maaf Bu, saya terlambat.” Kanaya duduk tanpa dipersilakan. Lalu, membuka tas punggung kecil, dia mengeluarkan beberapa lembar foto, lantas meletakkannya di atas meja.
“Tidak banyak gambar yang bisa saya ambil, karena rapat kemarin berjalan eksklusif.”
“Maksudmu, kamu tidak benar-benar bergabung sepenuhnya?”
“Betul, Bu Lania.” Kanaya tampak menyesali hal itu. “Kalau dilihat dari foto ini, kedekatan Pak Sagara dan Bu Adisty terlihat profesional.”
Lania menunduk melihat tumpukan foto itu, dadanya mulai berdegup kencang lagi. Kali ini bukan karena rasa takut. Namun, karena firasatnya yang selama ini ditekan, tidak mendapatkan bukti.
“Bu Lania,” panggil Kanaya lirih.
“Ya,” sahut Lania tanpa menoleh, dia sibuk meneliti foto satu per satu.
“Ada agenda dadakan setelah kegiatan rapat.”
“Agenda seperti apa?” Perhatian Lania beralih ke wajah ketakutan Kanaya. “Bicaralah.”
“Bu Adisty memaksakan untuk membuat pesta dan saya beserta staff bawah dilarang turut serta.”
Alis tipis kecokelatan Lania mengerut, dahinya tampak keriput. Pesta kecil umum dilakukan kalangan atas usai mendapatkan kesepakatan. Namun, entah mengapa berita yang baru diterima menghantam dada begitu kuat.
Lania mengembuskan napas. Dia mengusap punggung tangan Kanaya. “Ada yang ingin aku tanyakan ke kamu, apa Adisty sempat meninggalkan rapat saat berlangsung? Mungkin sekitar pukul sembilan atau setengah sepuluh.”
“Tidak, seingat saya, Bu Adisty selalu di ruang rapat lebih awal dan pergi paling akhir.”
“Kamu yakin?” Lania bermaksud mencocokkan dengan waktu saat menerima panggilan tak dikenal tempo hari.
“Iya, Bu. Apakah ada sesuatu yang luput saya laporkan?” Gugup terpancar jelas di wajah Kanaya, pasalnya, wanita muda itu selalu melaporkan kegiatan di luar kota sedetail mungkin.
“Bisa ya, bisa tidak, karena yang kita hadapi sekarang ib—” Ingat sedang mengandung, Lania memotong ucapan sendiri. Dia tak boleh berkata dan bertindak sembarangan. “Aku akan urus selebihnya, kamu boleh kembali ke kantor. Ingat, jaga rahasia ini di antara kita.”
“Baik, Bu.”
“Kanaya, tidak banyak yang bisa aku berikan.” Amplop cokelat Lania sodorkan.
Kanaya melirik pemberian Lania. “Terima kasih, saya membantu Bu Lania tulus, tolong jangan hancurkan ketulusan itu dengan sejumlah uang.”
“Kanaya,” ucap Lania lirih, nyaris tak terdengar. Dia mendekati wanita muda itu, seraya berpelukan. “Terima kasih. Maaf, aku bingung harus gimana untuk menghargai dedikasimu.”
“Bu Lania sudah banyak membantu saya dengan merekomendasikan bekerja di perusahaan Pak Sagara di saat ibu saya membutuhkan biaya untuk pengobatan.” Kenang Kanaya, matanya kini berkaca-kaca saling melepas pelukan.
“Itu bukan apa-apa, Nay.” Dari lubuk hati terdalam, Lania merasa tersentuh atas sikap Kanaya. Tersebab, dia tidak pernah memberi apa pun, wanita ini bisa bekerja di perusahaan suaminya karena hasil kerja keras sendiri.
Jarak di antara mereka terbentang, tetapi kehangatannya masih tertinggal di udara. Kanaya menghapus air mata yang sempat jatuh, senyum kecil merekah di wajahnya meski pipinya masih basah.
“Saya tidak akan pernah lupa kebaikan Ibu,” ucapnya lirih. “Saat dunia rasanya begitu sempit dan gelap… Ibu memberi jalan.”
Lania menatap wajah manis itu dengan rasa haru yang sulit dijelaskan. Ada perasaan bangga, tetapi juga rendah hati. Baginya, tak ada yang istimewa dalam keputusan saat itu. Ia hanya menyodorkan nama, sisanya adalah kerja keras Kanaya yang menembus batas.
“Nay…” ucap Lania pelan, suaranya nyaris berbisik. “Kamu berhasil bukan karena aku. Tapi karena kamu pantas. Kamu tekun, kamu jujur. Dan itu lebih berarti dari sekadar rekomendasi.”
Kanaya menunduk, hatinya penuh dengan rasa syukur yang tidak bisa sepenuhnya dituangkan lewat kata-kata. Dia mengingat malam-malam panjang saat merawat ibunya yang sakit, rasa putus asa yang membayangi, dan kemudian—seberkas cahaya datang lewat uluran tangan Lania. Meski sederhana, lebih dari cukup untuk membuatnya kembali percaya bahwa harapan masih ada.
Udara siang itu terasa lebih tenang. Musik di dalam kafe berganti sendu, seolah alam pun ikut menyaksikan pertemuan hangat dua perempuan yang saling menguatkan, meski tak pernah benar-benar menyadarinya.
Lania mengelus lengan Kanaya dengan lembut. “Kalau suatu hari kamu melihat orang lain yang butuh bantuan, lakukan hal yang sama. Tidak perlu besar. Asal tulus.”
Kanaya mengangguk perlahan. “Saya janji, Bu.”
Dan dalam diam, Lania tahu… walau selama ini merasa belum memberi banyak, kehadirannya pernah menjadi penentu arah bagi seseorang. Dan itu, baginya, sudah cukup.
Sekarang saatnya Lania menyelamatkan diri sendiri, setelah Kanaya berpamitan dan langkah kakinya menghilang di balik pintu, Lania berdiri lama di kafe yang mulai sepi. Kesunyian samar menyentuh relung hati.
Dia berjalan pelan ke meja kasir. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dengan penuh kesadaran menata hidup. Mata yang sembab, garis lelah di bawah pelipis, dan senyum yang lebih sering simpan sendiri. Namun, di balik semua itu, ada kekuatan yang mulai bergerak dari dalam. Bukan kekuatan yang meledak-ledak—melainkan ketenangan mulai mengakar.
Lania menarik napas dalam-dalam.
Sudah cukup!
Sudah cukup menjadi perempuan lemah.
Sudah cukup menjadi istri yang memendam curiga dan memilih tetap bungkam.
Sudah cukup menjadi Lania yang selalu menunggu keajaiban datang dari orang lain.
Kini, saatnya menciptakan keajaiban itu untuk diri sendiri.
Dia mengambil selembar foto dan mengamati lebih lama sebelum merapikan semua. Dia akan menjadikan satu dalam bundel dokumen yang sudah lama dikumpulkan—hasil pencarian diam-diam, catatan yang tak pernah dilihat siapa pun. Tentang pengkhianatan. Tentang manipulasi. Tentang Adisty.
Jari-jarinya gemetar, bukan karena takut, lebih karena tekad yang semakin membara.
“Aku sudah terlalu lama membiarkan diriku tenggelam dalam kecurigaan,” bisiknya lirih. “Sekarang saatnya mengungkap kebenaran. Untukku dan bayiku. Bukan demi siapa-siapa.”
Lania berdiri. Tidak ada tangis. Tidak ada drama. Hanya langkah mantap menuju fase berikutnya, mendorong Adisty jauh dari Sagara. Membebaskan suami dari belenggu obsesi berkedok sahabat sejati.
Sore ini, dia akan mulai dari satu tempat yang menyimpan semua jejak—kantor suaminya, Sagara.
Dan kali ini, dia tidak datang sebagai istri yang tunduk. Namun, sebagai perempuan yang tahu apa yang pantas diperjuangkan. Termasuk harga dirinya sendiri.
Sopir telah menunggu di depan pintu utama kafe, Lania memerintahkan menuju kantor Sagara.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran