Aaric seorang CEO muda yang belum terpikir untuk menikah harus memenuhi keinginan terakhir neneknya yang ingin memiliki seorang cicit sebelum sang Nenek pergi untuk selama-lamanya.
Aaric dan ibunya akhirnya merencanakan sesuatu demi untuk mengabulkan keinginan nenek.
Apakah yang sebenarnya mereka rencanakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu.
"Pria mana?" tanya Naina tak mengerti tanpa melihat suaminya yang hanya memakai handuk saja.
"Pria yang datang bersamamu barusan, kamu baru saja turun dari mobilnya."
"Oh.. Namanya Farhan," jawab Naina cepat sambil menyimpan kantong plastik itu diatas tempat tidur.
"Aku tidak mau tahu siapa namanya, yang mau aku tahu ada hubungan apa kalian berdua?"
Naina menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada, dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri,"
Aaric tersenyum mengejek.
"Bagaimana kalau dia tidak menganggapmu sebagai adiknya?"
"Maksudmu?"
"Dari caranya dia melihatmu juga sangat jelas terlihat jika pria itu menyukaimu."
"Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu padahal kamu baru melihatnya sekilas. Hanya mengintip dari jendela saja." Naina menunjuk jendela dengan kesal lalu pergi meninggalkan kamar memberi kesempatan agar Aaric memakai baju yang baru dia belikan.
***
"Mendadak sekali." Farhan melihat ibu Farida.
"Namanya juga jodoh nak, kita tidak tahu kapan dan dimana, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu cepat atau lambat."
Farhan tampak terdiam.
"Tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh Bu."
"Apanya?"
"Ibu katakan jika mertua Naina adalah orang yang membeli tanah ini, dia juga yang akhirnya akan membiayai pengeluaran panti tiap bulannya, tapi tiba-tiba Naina ikut bersamanya dan kembali dengan status sudah menikah, apa menurut ibu itu tidak aneh?"
Ibu Farida terdiam.
"Tapi ibu lihat jika pria itu sangat mencintai Naina."
"Ibu yakin? Terus bagaimana dengan Naina sendiri?"
Farida terdiam.
"Aku akan mencari tahu Bu."
"Mencari tahu apa? Apa yang akan kamu lakukan?"
"Entahlah, tapi yang jelas, suami Naina bukan pria sembarangan, dia seorang CEO perusahaan besar, mustahil bagiku jika dia mencintai wanita miskin seperti Naina, apalagi mereka belum lama saling mengenal, pernikahan keduanya terasa seperti dipaksakan."
Farida terdiam.
"Sebenarnya Ibu juga sempat berpikir seperti itu." Farida tampak ragu mengatakannya.
"Tapi ibu mencoba menepisnya ketika ibu melihat jika Aaric benar-benar mencintai Naina, walaupun ibu tahu jika Naina tidak mempunyai perasaan apapun padanya."
Farhan terdiam sejenak.
"Dan itu artinya jika Naina menikah karena terpaksa Bu."
***
Malam hari.
Aaric duduk dengan gelisah di atas kasur, sambil terus mengingat kejadian tadi siang saat dimana dia dikenalkan oleh Ibu Farida kepada Farhan.
Farhan menatapnya dengan tajam, tak ada senyum ramah di wajahnya bahkan tampak seperti sedang mengintimidasi, Farhan melihatnya dengan sinis.
Aaric sungguh merasa tak nyaman dibuatnya, bukannya dia takut, dia hanya mencoba menjaga sikap di depan ibu Farida, Aaric terus mencoba bersikap sopan pada Farhan.
Namun semuanya berubah, Aaric mulai tampak kesal saat pria itu dengan sengaja ingin memperlihatkan kedekatan diantara dirinya dan Naina.
Dia mencoba terlihat akrab dengan istrinya itu saat makan malam bersama berlangsung, Aaric hanya bisa menahan kesalnya karena dia tidak bisa berbuat apapun.
Sebagai seorang lelaki, Aaric tahu persis jika pria itu mempunyai perasaan yang lebih pada Naina, cukup dilihat dari tatapan matanya saja yang tampak menatap Naina dengan tatapan penuh arti.
Mengingat itu Aaric tampak sangat marah dan kesal karena biar bagaimanapun Naina adalah istrinya sekarang, tidak ada lelaki manapun yang boleh mendekati atau bahkan sok akrab dengannya apalagi dihadapannya.
Tiba-tiba suara pintu terbuka, Naina masuk sambil membawa teko berisi air dan gelasnya.
"Kamu belum tidur? Apa kamu memerlukan sesuatu?" tanya Naina sambil menyimpan teko itu di atas meja di samping tempat tidur.
"Tidak," jawab Aaric sambil berdiri mendekati Naina.
Naina terkejut, dia lalu mundur karena Aaric terus mendekatinya.
"Ada apa?" tanya Naina heran.
"Ada hubungan apa kamu dan pria itu?"
"Siapa?"
"Farhan."
"Tidak ada. Aku sudah katakan tadi siang jika dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri, kami tumbuh bersama di Panti ini."
"Bohong. Aku tidak percaya."
"Aku tidak memaksamu untuk percaya." Naina tidak bisa mundur lagi karena di belakangnya sudah ada dinding.
"Jangan lupa jika aku suamimu."
"Terus?"
"Aku melarangmu untuk berdekatan dengannya."
"Apa?" Naina tampak kesal.
"Menjauhlah darinya karena aku tidak suka."
"Kamu tidak punya hak melarangku." Naina memberanikan diri mengatakannya.
"Aku suamimu, jangan lupakan itu."
"Aku tidak akan lupa jika kita menikah, tapi menikah karena sebuah kesepakatan." Naina lagi-lagi memberanikan diri.
Aaric tersenyum sinis.
"Oh iya, karena kesepakatan. Aku menyewa rahimmu untuk mengandung anakku, bagaimana kalau kesepakatan itu kita lakukan saja malam ini." Aaric mendekatkan wajahnya pada Naina.
Naina langsung terlihat ketakutan.
"A..Apa?" tanya Naina gagap, wajahnya sudah pucat.
"Proses kamu mengandung anakku akan kita mulai malam ini." bisik Aaric di telinga Naina, kedua tangannya telah menempel di dinding, mengunci Naina yang bersandar di dinding tepat dihadapannya.
Naina yang gemetar menundukkan wajahnya, namun Aaric mengangkat wajah istrinya dengan tangannya perlahan.
"Lihat aku." pinta Aaric yang sudah dipenuhi hasrat.
Naina menatap wajah suaminya, keduanya saling menatap.
Aaric meraba wajah Naina dengan tangannya, berhenti lama tepat di bibirnya, dia melihat bibir tipis itu dengan penuh hasrat.
Naina yang sudah sangat ketakutan meletakkan tangannya di dada Aaric, lalu mendorongnya perlahan, namun Aaric sama sekali tak bergeming, tetap berdiri tegak di hadapannya.
"Jangan sekarang." ucap Naina setengah berbisik.
"Lalu kapan?" tanya Aaric juga pelan.
Naina tak bisa menjawab, dia hanya bisa menatap mata Aaric dengan penuh harap agar dirinya dilepaskan.
"Masa suburku sudah lewat, melakukannya sekarang tidak akan membuatku hamil."
"Aku tidak peduli," jawab Aaric cepat, dia semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Naina sambil memegang tengkuk lehernya.
Aaric melihat bibir istrinya kembali, kemudian berniat untuk mengecupnya.
Aaric mendekatkan bibirnya pada bibir Naina, hendak menyatukan keduanya
Naina memejamkan matanya, dengan kedua tangannya meremas dada suaminya dan tubuh gemetar tak terkendali.