Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarang Ular
Deklarasi Isabella—"kita akan membakar seluruh rumah ini hingga rata dengan tanah, dan melihat siapa yang masih berdiri di atas abunya"—menggema di ruang perang yang sunyi, bukan sebagai teriakan perang, melainkan sebagai bisikan vonis mati. Itu adalah akhir dari sebuah era dan awal dari sebuah pembersihan berdarah. Amarah yang membara di mata Marco, kengerian di wajah Bianca, dan kesedihan yang tenang di wajah Pak Tirta adalah cerminan dari badai yang akan datang. Perang melawan musuh luar terasa sederhana dibandingkan dengan ini. Ini adalah perang melawan hantu-hantu di dalam rumah mereka sendiri, melawan wajah-wajah yang selama ini mereka sebut keluarga.
Di tengah badai emosi itu, Leo adalah pusat yang tenang. Sumpah pembalasannya untuk Jäger telah memberinya fokus yang tajam, dan pengkhianatan Antonio Valli hanya mempertajam fokus itu hingga menjadi setipis silet. Saat yang lain masih terguncang oleh pengkhianatan itu, pikiran Leo sudah melompat sepuluh langkah ke depan, merancang sebuah permainan catur yang jauh lebih rumit dan jauh lebih mematikan.
"Kita tidak melakukan apa-apa," kata Leo, suaranya yang pelan memotong kemarahan Marco yang siap meledak.
Perkataan itu begitu tak terduga hingga semua orang di ruangan itu menatapnya dengan bingung. "Tidak melakukan apa-apa?!" raung Marco. "Antonio Valli, bajingan itu, mencoba membunuh Bos! Dia mencoba membunuh kita semua! Kita harus menyeretnya keluar dari vilanya sekarang juga dan..."
"Dan apa, Marco?" potong Leo, nadanya dingin dan logis. "Memulai perang saudara terbuka? Antonio bukan orang bodoh. Dia tidak bekerja sendiri. Kau menyerangnya secara langsung, dan semua kapten lain yang berada di pihaknya akan langsung mengangkat senjata. Setengah dari organisasi kita akan berperang melawan setengahnya lagi. Jalanan akan banjir darah, bisnis kita akan hancur, dan polisi atau kelompok saingan lainnya akan dengan senang hati mengambil sisa-sisa dari abu kita. Itulah yang dia inginkan. Dia ingin kita bereaksi dengan amarah. Dia ingin kita bertindak seperti preman."
Leo berjalan ke meja holografik dan menampilkan struktur organisasi Keluarga Rosales. Puluhan nama dan wajah muncul, terhubung dalam sebuah jaring kekuasaan. "Saat ini, kita tahu kepala ularnya adalah Antonio. Kita tahu taringnya adalah Serena. Tapi kita tidak tahu seberapa panjang dan seberapa berbisa tubuh ular itu. Siapa lagi yang terlibat? Berapa banyak kapten yang telah ia pengaruhi? Berapa banyak prajurit yang loyal padanya, bukan pada Isabella?"
Ia menatap mereka satu per satu. "Jadi, kita akan memberinya apa yang tidak pernah ia duga. Kita akan memberinya... keheningan. Kita akan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Kita akan melanjutkan bisnis seperti biasa. Senyum kita yang ramah dan keheningan kita akan menjadi siksaan terburuk baginya. Dia akan berbaring di tempat tidurnya setiap malam, bertanya-tanya, 'Apakah mereka tahu? Kapan mereka akan bergerak?' Paranoia akan menjadi senjata pertama kita. Dan di bawah selubung keramahan itu, kita akan menenun jaring kita, dan kita akan menangkap setiap ular di sarang ini, satu per satu."
Rencana itu begitu dingin, begitu penuh perhitungan, dan sangat kejam. Isabella, yang telah kembali dari jurang keputusasaannya, menatap Leo dengan kekaguman yang gelap. Ini bukan lagi sekadar strategi. Ini adalah seni penyiksaan psikologis.
"Baiklah, Alkemis," kata Isabella, suaranya kini kembali memiliki kekuatan seorang Ratu. "Pimpin tariannya."
Langkah pertama adalah yang paling sulit: sebuah pertemuan dewan darurat. Isabella memanggil semua kapten seniornya ke Empress Tower keesokan harinya, dengan dalih untuk merayakan kemenangan total atas Viktor Rostova dan membahas masa depan organisasi. Antonio dan Serena Valli termasuk di antara yang pertama tiba.
Momen saat Antonio melangkah masuk ke ruang dewan adalah sebuah ujian akting yang luar biasa bagi semua orang. Pria tua itu berjalan dengan wibawa yang biasa, senyum kebapakan di wajahnya. Ia berjalan langsung ke arah Isabella.
"Keponakanku tersayang," katanya, suaranya penuh dengan kehangatan palsu sambil memeluk Isabella. "Aku sangat mengkhawatirkanmu. Mendengar kau tertembak... itu menghancurkan hatiku."
Isabella membalas pelukan itu, tubuhnya kaku, tetapi wajahnya menunjukkan senyum yang meyakinkan. "Aku baik-baik saja, Paman Antonio. Berkat kesetiaan orang-orang sepertimu, keluarga kita lebih kuat dari sebelumnya." Setiap kata terasa seperti kebohongan yang pahit di lidahnya.
Leo, yang diperkenalkan sebagai "konsultan keamanan khusus" yang membantu mereka mengalahkan Viktor, hanya mengangguk sopan pada Antonio. Tapi di dalam kepalanya, ia menganalisis setiap detail: cara mata Antonio tidak pernah benar-benar tersenyum, cara Serena berdiri sedikit terlalu protektif di dekat ayahnya, cara mereka berdua secara halus mengamati reaksi para kapten lain saat Isabella berbicara.
Pertemuan itu adalah sebuah mahakarya teater. Isabella menceritakan kembali versi yang telah disanitasi dari pertempuran terakhir, memuji keberanian semua orang. Kemudian, tibalah saatnya bagi Leo untuk memasang jebakannya.
"Dengan berakhirnya perang melawan Rostova," kata Leo, suaranya tenang dan profesional, "kita telah mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam struktur operasional dan keuangan kita. Kebocoran informasi, jalur uang yang tidak efisien. Nona Rosales dan saya setuju bahwa kita perlu melakukan audit internal menyeluruh untuk memperkuat fondasi kita."
Ruangan itu menjadi sedikit tegang. Audit berarti penyelidikan.
"Untuk memastikan proses ini berjalan adil dan transparan," lanjut Leo, "Nona Rosales merasa bahwa audit ini harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki pengalaman, kebijaksanaan, dan yang paling penting, kesetiaan yang tak diragukan lagi. Seseorang yang dihormati oleh semua orang di ruangan ini."
Leo berhenti sejenak, lalu menatap langsung ke arah Antonio Valli. "Karena itu, kami ingin secara resmi menominasikan Paman Antonio untuk memimpin komite audit ini."
Seluruh mata tertuju pada Antonio. Jebakan itu sempurna. Jika ia menolak, ia akan tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Jika ia menerima, ia akan berada di posisi yang ia inginkan—memiliki akses ke seluruh data keuangan dan operasional—tetapi ia tidak tahu bahwa setiap gerakannya akan diawasi di bawah mikroskop digital Bianca.
Wajah Antonio menunjukkan keterkejutan sesaat, diikuti oleh senyum rendah hati. "Anak muda, kau terlalu memujiku. Tapi jika Ratu kita merasa ini adalah cara terbaik bagiku untuk melayani keluarga... maka dengan rendah hati aku menerima tugas ini."
Serena menatap ayahnya dengan bangga, tidak menyadari bahwa mereka baru saja menelan umpan dengan kailnya sekaligus.
Dengan Antonio Valli yang kini secara resmi "bertugas", pintu menuju seluruh kerajaannya yang tersembunyi terbuka lebar bagi Bianca. Di bawah dalih membantunya dalam audit, Bianca memberinya akses ke terminal data yang telah ia siapkan secara khusus di salah satu kantor di Empress Tower. Setiap tombol yang ditekan Antonio, setiap file yang ia buka, setiap pesan terenkripsi yang ia kirim dari terminal itu, semuanya direkam dan dianalisis oleh Bianca dalam waktu nyata dari ruang perang. Ruang perang kini telah menjadi pusat perburuan hantu digital, sebuah tempat di mana benang-benang tak terlihat dari sebuah konspirasi ditarik dan dipetakan.
"Dia sangat licin," gumam Bianca pada suatu malam, matanya terpaku pada layar yang menampilkan barisan kode. "Dia menggunakan tiga lapisan enkripsi yang berbeda dan berkomunikasi melalui server-server di negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Tapi dia membuat satu kesalahan."
"Apa itu?" tanya Leo, yang duduk di seberang ruangan, mempelajari profil psikologis dari setiap kapten yang mereka curigai, mencari celah dalam kebiasaan mereka.
"Manusia," jawab Bianca tanpa mengalihkan pandangan. "Dia masih harus berkomunikasi dengan manusia. Dan manusia membuat pola. Mesin bisa acak, tapi manusia, bahkan yang paling cerdik sekalipun, selalu meninggalkan jejak kebiasaan."
Bianca mulai menunjukkan pada Leo pola-pola yang ia temukan. Transaksi keuangan kecil tapi rutin, yang disamarkan sebagai "biaya operasional", mengalir ke rekening-rekening tertentu milik bawahan para kapten. Panggilan telepon singkat yang selalu terjadi pada jam-jam yang tidak wajar, antara pukul 3 hingga 4 pagi, ke nomor-nomor burner yang lokasinya selalu berdekatan. Pergerakan GPS dari mobil-mobil lapis baja yang seharusnya berada di satu tempat untuk menjaga aset, tetapi muncul di lokasi-lokasi pertemuan rahasia di pinggiran kota. Perlahan tapi pasti, jaring laba-laba pengkhianatan Antonio mulai terlihat. Bianca memetakannya di layar holografik, menghubungkan wajah-wajah para kapten dengan garis-garis merah menyala. Tiga kapten senior lainnya, yang selama ini dikenal sebagai pilar-pilar loyalitas, teridentifikasi sebagai bagian inti dari konspirasi itu.
Sementara Bianca berburu di dunia digital, Pak Tirta melepaskan Tim Hantu ke dunia nyata. Riko dan Maya kini menjadi bayangan Serena Valli. Mereka adalah hantu yang membuntuti seorang pengkhianat. Dengan keahlian yang telah diasah di Nusa Damai, mereka menjadi tak terlihat. Mereka melacaknya ke sesi yoga privat, ke butik-butik desainer di Plaza Indonesia, dan yang paling penting, ke pertemuan-pertemuan rahasianya di lobi-lobi hotel yang remang-remang.
Pada suatu malam hujan, saat Jakarta diselimuti oleh tirai air yang lebat, mereka berhasil mendapatkan bukti pertama yang tak terbantahkan. Serena bertemu dengan Rico, paman dari Riko sendiri, salah satu pengawal paling senior dan paling dipercaya Isabella, di sebuah kafe sepi di Kemang. Mereka tidak tahu bahwa Riko, keponakannya sendiri, sedang berada di dalam sebuah van di seberang jalan, dengan mikrofon parabola yang canggih diarahkan ke jendela kafe, merekam setiap kata mereka.
Percakapan itu menghancurkan hati Riko, tetapi memberikan amunisi yang mereka butuhkan untuk perang mereka. Serena, dengan suara yang manis dan manipulatif, tidak mengungkapkan rencana ayahnya secara penuh. Ia hanya memberikan Rico perintah-perintah terselubung.
"...kau tahu, Paman Rico, Nona Isabella sangat bergantung padamu," kata Serena. "Tapi terkadang, energinya yang muda membuatnya sedikit... ceroboh. Setelah semua yang terjadi, dia menjadi sangat paranoid. Akan sangat membantu jika pada malam perayaan nanti, kau bisa memastikan para penjaga di koridor pribadinya sedikit lebih 'santai'. Biarkan dia memiliki ruang untuk bernapas. Ayah dan aku merasa dia butuh itu."
"Tapi Nona..." protes Rico ragu. "Prosedurnya..."
"Prosedur dibuat oleh orang-orang tua, Paman," potong Serena lembut. "Sebentar lagi akan ada 'perubahan kepemimpinan' di dalam keluarga ini. Perubahan yang akan menghargai orang-orang yang fleksibel dan loyal pada visi yang baru. Pikirkan saja. Ayahku sangat menghargaimu."
Rico, yang mereka tahu terlilit hutang judi besar—sebuah kelemahan yang dieksploitasi dengan sempurna oleh Antonio—akhirnya mengangguk dengan berat hati.
Di ruang perang, saat Leo memperdengarkan rekaman itu kepada dewan perang, wajah Marco mengeras menjadi batu. "Rico? Aku mengenalnya selama dua puluh tahun. Aku tidak percaya ini. Dia akan melakukan apa saja untuk Bos."
"Setiap orang punya harga, Marco," kata Pak Tirta pelan, suaranya mengandung kesedihan seorang veteran. "Dan setiap orang punya titik lemah. Tugas seorang manipulator ulung seperti Antonio adalah menemukan kelemahan itu dan menekannya hingga hancur. Rico bukan pengkhianat di hatinya. Dia adalah orang baik yang membuat pilihan buruk di bawah tekanan yang luar biasa."
Jaring itu hampir selesai ditenun. Mereka kini telah mengidentifikasi sebagian besar pemain utama dalam komplotan itu. Mereka hanya butuh tahu kapan dan bagaimana kudeta itu akan dieksekusi.
Hari-hari yang penuh dengan kepura-puraan itu mulai memakan korban, terutama pada Isabella. Setiap hari ia harus tersenyum pada pria yang ia tahu telah memerintahkan pembunuhannya. Setiap hari ia harus duduk dalam rapat dengan para kapten yang ia tahu sedang merencanakan kejatuhannya di belakang punggungnya. Paranoia menjadi bayangannya. Ia mulai meragukan semua orang, bahkan para pelayan yang telah melayaninya seumur hidup. Setiap gelas anggur yang disajikan, setiap makanan yang dihidangkan, kini tampak seperti ancaman potensial. Beban pengkhianatan itu begitu berat hingga terkadang di tengah malam, ia terbangun dengan perasaan sesak napas, seolah dinding-dinding penthouse-nya yang mewah meremuknya.
Leo melihatnya. Ia melihat bagaimana api di mata Ratu-nya perlahan meredup, digantikan oleh kelelahan dan kesedihan yang dalam yang ia coba sembunyikan di balik topeng kekuasaannya.
Suatu malam, ia tidak bisa menemukan Isabella di kamar mereka. Setelah mencari di seluruh penthouse, ia menemukannya di tempat yang paling tidak terduga: perpustakaan dan ruang kerja pribadi ayahnya, sebuah ruangan yang belum pernah ia masuki sejak ayahnya meninggal. Ruangan itu seperti sebuah mausoleum, dipenuhi dengan rak-rak buku dari kayu gelap yang menjulang tinggi, aroma samar cerutu tua dan kulit, serta kenangan yang membebani udara.
Isabella berdiri di depan sebuah foto besar yang tergantung di atas perapian yang tidak menyala. Foto ayahnya yang tersenyum lebar, satu tangannya merangkul bahu seorang Antonio Valli yang lebih muda dan tampak penuh kekaguman. Mereka tampak seperti saudara, tak terpisahkan.
"Dia adalah sahabat terbaik ayahku," bisik Isabella, tanpa menoleh saat Leo masuk. "Saat ayahku meninggal dalam 'kecelakaan' mobil itu, dialah yang pertama kali datang. Dia yang memelukku saat aku menangis. Dia yang berjanji di depan makam ayahku bahwa ia akan selalu melindungiku. Dia bilang, 'Kau adalah putriku sekarang'." Air mata mulai mengalir tanpa suara di pipinya. "Semuanya bohong, Leo. Setiap kata. Setiap pelukan. Seluruh hidupku... dibangun di atas kebohongan pria ini."
Ia berbalik, dan di bawah cahaya temaram lampu baca, Leo melihat seorang wanita yang benar-benar hancur. Bukan Ratu. Bukan pejuang. Hanya seorang putri yatim piatu yang menyadari bahwa ia telah kehilangan ayahnya untuk kedua kalinya.
"Bagaimana aku bisa memimpin mereka?" tanyanya, suaranya bergetar, penuh dengan keraguan diri yang belum pernah Leo dengar darinya. "Bagaimana aku bisa menjadi Ratu jika aku begitu bodoh, begitu buta, hingga tidak bisa melihat ular yang tidur di ranjangku sendiri selama bertahun-tahun? Mungkin... mungkin ayahku benar. Mungkin aku tidak pantas memimpin."
Melihatnya begitu hancur adalah pemandangan yang lebih menyakitkan bagi Leo daripada peluru manapun yang pernah menyerempetnya. Ia berjalan mendekatinya, dengan lembut menghapus air matanya dengan ibu jarinya.
"Semua orang bohong," bisik Isabella, suaranya tercekat. "Bagaimana aku bisa percaya siapa pun lagi?"
Leo menangkup wajahnya, memaksa Isabella untuk menatap matanya. "Kau bisa percaya ini," katanya, suaranya dalam dan penuh keyakinan.
Dan ia menciumnya.
Ciuman itu bukan ciuman yang lembut. Ciuman itu adalah sebuah jangkar yang dilemparkan ke tengah badai, sebuah penegasan yang putus asa akan satu-satunya kebenaran yang tersisa di dunia mereka: satu sama lain. Ia menciumnya dengan semua kemarahan yang ia rasakan atas nama Isabella, dengan semua rasa sakit yang ia lihat di matanya, dan dengan semua cinta yang ia miliki untuknya.
Gairah meledak di antara mereka, bukan gairah yang lahir dari hasrat romantis, tetapi dari kebutuhan yang mendesak untuk merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak palsu. Di tengah ruangan yang penuh dengan hantu dan kebohongan ayahnya, mereka saling menelanjangi, merobek lapisan-lapisan kepura-puraan dan kontrol yang telah mereka kenakan dengan susah payah selama berminggu-minggu.
Adegan cinta mereka malam itu adalah sebuah badai. Liar, mentah, dan hampir terasa seperti kekerasan. Itu adalah cara mereka mengusir iblis-iblis mereka, cara mereka membakar habis racun pengkhianatan dari dalam jiwa mereka. Leo mengangkatnya dan mendudukkannya di atas meja kerja ayahnya yang terbuat dari kayu mahoni yang kokoh, menyibakkan tumpukan buku dan dokumen tua ke lantai. Di bawah tatapan foto seorang pengkhianat, mereka saling mengklaim, saling menandai, menegaskan kembali aliansi tunggal mereka melawan seluruh dunia.
Bagi pembaca, "panas" dari adegan ini bukanlah dari gerakan-gerakan sensual, melainkan dari intensitas emosional yang meluap-luap. Itu adalah puncak dari paranoia dan rasa sakit, sebuah ledakan gairah yang lahir dari kehancuran total. Itu adalah dua jiwa yang hancur yang mencoba untuk menyatukan kembali kepingan-kepingan diri mereka dengan cara yang paling primal dan jujur. Gairah mereka adalah satu-satunya kejujuran yang tersisa. Saat mereka mencapai puncaknya bersamaan, itu bukanlah sebuah pelepasan kenikmatan, melainkan sebuah teriakan pemberontakan tanpa suara melawan dunia yang telah mengkhianati mereka.
Saat mereka terbaring dalam keheningan setelahnya, terengah-engah di lantai perpustakaan yang dingin, di antara buku-buku yang berserakan, mereka tidak merasakan kedamaian. Mereka merasakan sebuah kejernihan yang menyakitkan. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka telah menemukan kembali kekuatan mereka di dalam kerapuhan satu sama lain.
Keesokan harinya, Bianca berhasil memecahkan kode terakhir. Ia menyadap sebuah pesan terenkripsi dari Antonio kepada seorang pemasok bahan kimia di pasar gelap. Pesan itu singkat dan mengerikan: sebuah pesanan untuk dosis tinggi Tetrodotoxin—racun ikan buntal yang tidak berasa, tidak berbau, dan sangat mematikan. Pesanan itu dijadwalkan untuk diantar dua hari lagi, tepat pada hari "Malam Perayaan Tahunan Keluarga Rosales".
"Malam Perayaan," kata Isabella di ruang perang, matanya kini telah kembali menjadi kepingan es. Tidak ada lagi jejak kerapuhan. "Tentu saja. Acara di mana semua kapten berkumpul. Panggung yang sempurna untuk sebuah kudeta berdarah."
Mereka kini tahu kapan dan bagaimana. Antonio berencana untuk meracuni anggur pribadi Isabella dan Leo saat acara makan malam. Saat mereka berdua tewas, ia dan para kaptennya yang setia akan mengambil alih, menyalahkan sisa-sisa loyalis Viktor Rostova, dan Serena akan naik takhta sebagai Ratu boneka. Rencana itu sempurna dalam kekejamannya.
"Dia memberi kita panggungnya," kata Leo, senyum dingin tersungging di bibirnya. "Sayang sekali, kita akan mengubah naskahnya."
Malam Perayaan itu tiba. Empress Tower diubah menjadi sebuah aula perjamuan yang begitu mewah hingga terasa sureal. Bunga lili segar memenuhi udara, taplak meja sutra Italia menjuntai ke lantai, dan peralatan makan perak serta gelas kristal berkilauan di bawah cahaya lampu gantung raksasa. Para kapten Keluarga Rosales tiba satu per satu, mengenakan setelan terbaik mereka, wajah mereka penuh senyum dan tawa. Mereka semua membawa hadiah, mengucapkan selamat kepada Isabella atas kemenangannya yang gemilang atas Rostova. Wajah Antonio Valli adalah yang paling berseri-seri, senyumnya paling hangat. Ia memeluk Isabella dengan erat, membisikkan betapa bangganya ia.
Leo dan Isabella memainkan peran mereka dengan kesempurnaan seorang aktor pemenang Oscar. Mereka adalah pasangan penguasa yang penuh kemenangan, murah hati, dan sedikit naif karena cinta. Mereka tertawa, mereka bersulang, mereka mendengarkan laporan-laporan bisnis yang sengaja dibuat membosankan oleh para kapten yang loyal. Tapi di bawah permukaan, setiap indera mereka waspada. Melalui earpiece subkutan yang tersembunyi, Pak Tirta memberikan laporan dari ruang kontrol keamanan.
"Semua tim sudah di posisi. Setiap pelayan, setiap musisi di panggung kecil itu, setiap penjaga di pintu adalah anggota Legiun. Para pengkhianat tidak punya jalan keluar. Ruangan ini adalah sebuah sangkar."
Makan malam disajikan. Hidangan-hidangan lezat yang dirancang oleh Leo sendiri dan disiapkan oleh tim dapur kepercayaannya (yang telah diisolasi dan diperiksa tiga kali) dihidangkan. Tawa dan obrolan memenuhi ruangan, sebuah fasad normalitas yang mengerikan di atas sebuah gunung berapi yang siap meletus.
Akhirnya, tibalah momen itu. Momen hidangan utama. Antonio memberi isyarat yang nyaris tak terlihat pada seorang pelayan kepercayaan—salah satu dari sedikit orangnya di ruangan itu. Pelayan itu mengangguk dan berjalan ke bar pribadi di sudut ruangan, mengambil sebotol anggur merah yang sangat mahal—Château Margaux 1982—dan dua gelas kristal khusus yang bentuknya sedikit berbeda dari yang lain. Anggur yang telah diracuni.
Saat pelayan itu berjalan dengan anggun mendekati meja utama tempat Leo dan Isabella duduk, seluruh ruangan terasa menahan napas. Ini dia. Momen kudeta.
Pelayan itu, dengan tangan yang stabil, menuangkan anggur berwarna merah delima yang gelap itu ke dalam gelas Leo dan Isabella.
"Sebuah persembahan," kata Antonio, berdiri dan mengangkat gelasnya sendiri, menarik perhatian seluruh ruangan. "Untuk merayakan kesehatan dan kepemimpinan Ratu kita yang agung, Isabella Rosales, dan untuk menyambut secara resmi penasihatnya yang brilian, Tuan Leo, ke dalam keluarga kita!"
Semua kapten lain ikut berdiri, mengangkat gelas mereka. Para pengkhianat—Antonio, Serena, dan tiga kapten lainnya yang telah diidentifikasi Bianca—tersenyum penuh arti satu sama lain. Mereka mengira kemenangan sudah di depan mata.
Isabella tersenyum manis pada Antonio. "Terima kasih, Paman. Sebuah pilihan anggur yang istimewa. Kau selalu tahu seleraku." Ia mengangkat gelasnya. Leo melakukan hal yang sama.
Mereka menatap mata satu sama lain di atas gelas mereka, sebuah komunikasi tanpa kata. Lalu, serempak, mereka tidak meminumnya. Mereka melemparkan isi gelas itu ke lantai marmer putih, di mana cairan merah tua itu tampak seperti genangan darah segar.
Keheningan total melanda ruangan. Suara garpu yang jatuh terdengar seperti ledakan. Senyum membeku di wajah para pengkhianat.
"Sayang sekali," kata Isabella, suaranya yang manis kini berubah menjadi dingin yang mematikan. "Aku tidak pernah suka Margaux. Aku lebih suka Cabernet."
Dan saat itu juga, skripnya dibalik.
Dengan suara KLIK yang serempak dan keras, semua pintu dan jendela aula perjamuan ditutup oleh perisai baja tersembunyi, mengubah ruangan mewah itu menjadi sebuah bunker. Lampu kristal yang terang meredup drastis, digantikan oleh lampu sorot tajam dari langit-langit yang hanya menerangi meja-meja tempat para kapten pengkhianat duduk, menjadikan mereka aktor di atas panggung yang mengerikan. Para pelayan, musisi, dan penjaga yang tadinya ramah, kini berdiri tegak. Dengan gerakan yang serempak dan terlatih, mereka mengeluarkan senapan serbu kompak dari balik seragam dan dari dalam kotak alat musik mereka. Dalam waktu kurang dari lima detik, setiap pengkhianat di ruangan itu ditodong oleh setidaknya tiga senjata.
Para kapten yang loyal terkesiap kaget, melompat dari kursi mereka, tangan mereka terangkat, tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Di layar-layar besar yang tiba-tiba turun dari langit-langit, bukti-bukti mulai ditampilkan oleh Bianca dari ruang kontrol: rekaman pertemuan rahasia Serena, log transaksi keuangan Antonio yang mentransfer dana ke perusahaan cangkang Jäger, dan yang paling memberatkan, rekaman audio yang diperjelas dari pengakuan Jäger tentang klien berkode 'Ouroboros'.
Isabella berdiri, wajahnya adalah topeng kemarahan dan kekuasaan yang tenang. Ia berjalan perlahan mendekati meja Antonio, di mana pria tua itu kini duduk membeku, wajahnya pucat pasi seperti mayat, senyumnya yang palsu luntur.
"Kau ingin rumahku, Paman Antonio," desis Isabella, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan yang sunyi senyap. "Kau ingin menempatkan putrimu di singgasanaku. Kau menusukku dari belakang dengan tangan yang sama yang dulu kau gunakan untuk menenangkanku saat ayahku meninggal."
Ia berhenti di depan Antonio, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan kesedihan yang telah hancur. "Kau tidak hanya mengkhianatiku. Kau mengkhianati ingatannya."
Ia mengeluarkan pistol hitam ramping dari balik gaunnya. Pistol yang sama yang selalu ia bawa, yang pernah ia todongkan pada musuh-musuhnya. Kini, ia menodongkannya pada seseorang yang pernah ia sebut keluarga.
Para kapten yang loyal menatap dengan ngeri, akhirnya memahami skala dari pengkhianatan yang baru saja terungkap. Mereka telah menghadiri sebuah perjamuan yang ternyata adalah sebuah pengadilan.
Isabella menodongkan pistol itu, tetapi bukan ke kepala Antonio. Ia menodongkannya tepat ke jantung pria itu. Ia tidak menatap Antonio lagi. Matanya kini menyapu wajah para kaptennya yang lain—para kapten yang terbukti loyal, yang kini menatapnya dengan campuran rasa takut, ngeri, dan hormat yang baru.
"Pengkhianatan terhadap keluarga hanya punya satu hukuman," katanya, suaranya bergema di ruangan yang sunyi senyap itu, setiap kata adalah sebuah ketukan palu hakim.
Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya meresap, membiarkan mereka semua mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya, memaksa mereka untuk menjadi bagian dari momen ini.
"Pertanyaannya adalah..."—matanya yang dingin menatap mereka satu per satu, sebuah ujian loyalitas terakhir yang paling brutal dan paling berdarah—"...siapa di antara kalian yang akan menjadi eksekutornya?"