NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Suara tawa om dan tantenya yang penuh dengan intimidasi terdengar jelas ketika Quin hendak memegang gagang pintu ruang tamu. Dia menelan ludah dan menghela napas. Tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia melihat ke arah jalanan. Dima sudah tidak ada di depan pagar. Dia melangkah mundur sampai berdiri di halaman, lalu melihat ke lantai atas. Balkon ruang tengah lantai dua. Bisa kah dia panjat saja garasi, naik ke balkon, lalu ke kamarnya yang ada di bagian belakang lantai dua? Quin menggelengkan kepala, menghalau imajinasinya itu, lalu dengan berat hati membuka pintu ruang tamu.

“Assalamualakum,” ucap Quin pelan. 

Tidak ada yang menjawab. Mama, Papa, dan om tantenya masih serius berbincang. Terdengar mereka sedang menceritakan rencana umroh mereka yang entah sudah kebeberapa kalinya. 

Quin masuk ke ruang tengah.

“Eh udah pulang! Kok nggak assalamualaikum?” tanya tantenya sambil mengulurkan tangan meminta Quin untuk menciumnya.

“Assalamualakum,” ujar Quin pasrah, tidak mau menjelaskan bahwa tadi dia sudah mengucapkannya, hanya saja tidak ada yang mendengar. Diciumnya tangan tantenya, kemudian tangan omnya yang bau rokok itu.

“Waalaikum salam warohmatullahiwabarokatu!” jawab omnya sambil melanjutkan menghisap rokoknya yang sudah tinggal separuh. “Udah gede. Abis nongkrong sama temen-temen ya?”

“Eh, iya, Om,” jawab Quin berusaha ramah. Dia duduk di sebelah mama papanya.

“Temen-temennya minta ditraktir ayam risih, katanya. Jadi ya udah, sana makan lah,” jelas mamanya.

“Selamat ya, kamu kepilih. Harusnya dari tahun lalu loh. Pemenang tahun lalu itu agak kurang bagus,” Tante yang merupakan anak dari sepupu neneknya itu adalah tante jauh yang paling sering berkunjung untuk silaturahmi - dan untuk flexing keberhasilan mereka.

“Jadi minggu depan acara live ya?” tanya Omnya sambil mematikan rokok di piring kecil bekas puding yang disuguhkan mamanya Quin, padahal di sebelahnya sudah disediakan asbak rokok.

“Iya, Om,” jawab Quin yang merasa tidak betah dan ingin segera masuk ke kamarnya.

“Tante Nia ini cerita, katanya produsernya itu anaknya temennya nenek!” jelas mamanya Quin.

“Oh…,”

“Dulu, nenek Ila cerita kalau nenek kamu itu pengen banget jadi penyanyi. Dia datengin semua studio rekaman. Kenal lah sama yang namanya Pak Robert. Pak Robert itu punya label musik gitu. Tapi sekarang udah tutup,” jelas Tantenya Quin.

“Nah produser yang kemarin itu, Pak Jo, itu ternyata anaknya Pak Robert!” sahut mamanya Quin semangat.

“Besok-besok, kalau ketemu dia. Kamu deketin lah. Ajak ngobrol, bilang kalau nenek kamu itu kenal sama Pak Robert. Pasti Pak Jo juga kenal deh,” suruh tante dengan semangat.

Quin menatap mamanya, bingung, lalu bertanya, “Terus kalau udah kenal emang kenapa?”

“Kamu itu, gimana. Silaturahmi itu penting, kamu harus bisa bikin orang kenal sama kamu. Kalau orang nggak kenal kamu, gimana kamu bisa sukses?” jelas om sambil menatap Quin.

“Untung kita masih ada sejarah kenal sama dia loh. Jadi lebih cair nanti kamu ngomongnya. Pasti dia juga kalau ada apa-apa mau bantu kamu!” kata tantenya lagi.

Meski Quin tersenyum, tapi itu hanya syarat agar terlihat sependapat dengana om dan tantenya. Padahal dalam hatinya bertanya-tanya, ‘Kalau pun kenal, akan bantu apa? Bantu aku supaya bisa menang?’ 

“Mungkin aja kamu nanti jadi lebih sering disorot kamera. Orang akan jadi lebih kenal kamu ketimbang yang lainnya,” kata tantenya berusaha menjelaskan dengan halus, bahwa kalau kenal Pak Jo, mungkin bisa jadi anak emas di acara YAMI.

Quin hanya mengangguk setuju sambil menatap hapenya. Ada pesan dari Dima, bahwa dia sudah sampai di rumah, lalu menyarankan agar Quin menyanyikan lagu-lagunya Melly Goeslaw.

Dima masuk ke ruang tengah sambil nyengir menatap hapenya, membaca balasan dari Quin yang mengatakan sarannya tidak solutif, lagunya Melly Goeslaw kan banyak.

“Dima, duduk!” pinta ayahnya dengan suara tegas dan keras. 

Dima baru sadar ternyata ayah dan ibunya sedang duduk di kursi ruang tengah. Dia paham kalau ayah dan ibunya duduk di ruang tengah dengan keadaan televisinya mati, berarti ada suatu hal yang penting untuk dibahas. Diturunkannya gitar di lantai, lalu dia duduk di kursi sambil menundukkan kepala.

Ayahnya bangkit lalu mengangkat tangan kanannya ke udara dan dengan sekali ayun dan dalam sekejap mata, telapak tangannya mendarat di pipi Dima. 

Terdengar suara benturan di dalam kepala Dima. Tanpa harus melihat ke cermin bahwa pipinya merah, Dima bisa merasakan hangat dan rasa nyeri berdenyut di wajah bagian kirinya.

Ayahnya duduk di kursi lalu bicara dengan nada tinggi, “Nggak ada yang minta kamu jadi pahlawan!” 

Ayahnya yang baru pulang dari rumah Om Budi, memang baru tahu kalau Dima berhasil merebut kembali motornya dari preman-preman itu. 

Ibunya diam, berpaling tidak berani menghentikan ayahnya yang sedang amat sangat emosi.

“Ayah baru dapat pinjaman dari Om Budi, tapi tadi terpaksa harus berhadapan dengan renternir itu! Uang dari Om Budi sekarang nggak ada! Semuanya hilang!” jelas ayahnya sambil menggebrak-gebrak meja di ruang tengah.

“Sudah, Yah,” akhirnya ibunya mencoba menenangkan ayahnya.

“Kalau Ayah tadi tidak membayarkan uangnya ke renternir itu, bisa-bisa kamu yang diincer sama preman-preman itu!” kata ayahnya menghiraukan ibunya. “Kamu tau nggak? Kalau kamu pakai cara ini, ini bukan sekedar hutang piutang lagi, tapi ini berarti kamu cari masalah sama mereka!”

Tiba-tiba ayahnya memegang dadanya, lalu bersandar di kursi berusaha mengatur napasnya yang sesak.

“Ayah!” teriak ibunya khawatir. “Ambilin obat asam lambung, ayah!” Ibunya menatap Dima.

Dima bangkit dan mengabaikan kepalanya yang masih berputar dan cenat-cenut, untuk masuk ke kamar ayahnya dan mengambil obat.

Dima tidak mengerti kenapa ayahnya marah sekali padanya. Padahal yang berhutang itu adalah ayahnya. Padahal Dima hanya ingin membantu. Padahal bukan Dima yang membuat perekonomian keluarganya susah.

Dima keluar dari kamar, lalu bersama ibunya memberikan obat pada ayahnya. 

Ayahnya masih memegang dadanya. Dia tampak lemas dan kesakitan.

“Mau dibawa ke dokter?” tanya Dima pada ibunya.

“Iya. Bawa ke klinik biasa aja. Biar langsung disuntik obat asam lambung,” jawab ibunya sambil menatap Dima dengan tatapan yang sudah dipenuhi air mata.

Dengan susah payah, Dima membopong ayahnya. Disimpannya tangan ayahnya yang tadi menamparnya di pundaknya. Dia lalu pergi membonceng ayahnya pergi ke klinik seperti yang selalu dilakukannya sejak dulu.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!