Radella Hafsah dan Delan Pratama memutuskan mengakhiri pernikahan mereka tepat pada satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan dari perjodohan kedua orangtua mereka yang tidak bisa ditolak, tapi saat dijalani tidak ada kecocokan sama sekali pada mereka berdua. Alasan yang lain adalah, karena mereka juga memiliki kekasih hati masing-masing.
Namun, saat berpisah keduanya seakan saling mencari kembali seakan mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah terus berjalan berbeda arah atau malah saling berjalan mendekat dan akhirnya kembali bersama lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AiMila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resmi Berpisah
Helaan napas terdengar berat berkali-kali, cuaca yang mendadak mendung sungguh menggambarkan perasaan orang tersebut. Melangkah keluar dengan langkah lemas, setiap langkahnya terus menyabet hatinya yang sedari tadi sudah tersayat. Wajahnya terlihat murung, tidak ada lagi semangat.
Cukup dua jam di dalam ruangan yang begitu menyesakkan, hingga palu terketuk dan semuanya resmi berakhir. Ketidakhadiran sosok lain mampu melancarkan dan mempermudah semuanya. Tinggal menunggu beberapa hari untuk menerima surat resmi pisah dari sana.
"Pak Delan, baik-baik saja?" Lontaran pertanyaan yang sudah diucapkan beberapa kali oleh pria yang menjabat sebagai pengacara.
Pria yang menjadi pengacara itu masih tidak habis pikir dengan keputusan kliennya kali ini. Terlihat jelas ketidakrelaan sejak datang hari ini hingga diputuskan semuanya berakhir. Sedari tadi, kliennya hanya mengangguk dan mengiyakan pertanyaan yang diajukan oleh hakim ketua dengan berat hati.
Baru kali ini, pengacara tersebut menangani kasus perceraian dengan masalah konyol seperti ini. Jelas kliennya mencintai istrinya yang sekarang sudah resmi menjadi mantan istri, tapi pria itu malah menceraikannya. Seharusnya, pengacara itu tidak usah ikut campur masalah pribadi kliennya. Namun, pengacara itu malah terlihat penasaran karena bingung dengan permasalahan pria di sampingnya.
Delan mengangguk samar, tersenyum kaku dan sangat dipaksakan. Pria itu butuh menenangkan diri setelah yang terjadi barusan. Dengan suara sedih yang tidak bisa disembunyikan, Delan memutuskan pamit setelah berujar terimakasih kepada pengacaranya.
Mobilnya melaju ke rumahnya sendiri, rumah yang beberapa hari ini tidak dia tempati. Rasa rindu semakin bertumpuk saat di sana, setiap sudut dan setiap detik selalu ada bayangan Radella. Rumahnya menjadi tempat bagaimana satu tahun mereka habiskan bersama. Sejauh yang dia ingat, mereka menghabiskan dengan penuh canda tawa, mereka jarang berselisih besar dan semuanya berjalan dengan hangat dan manis.
Dengan kecepetan di atas rata-rata, Delan mengemudikan mobilnya dan dengan cepat sampai di kediamannya. Memarkirkan mobilnya dengan asal, lalu segera masuk ke rumahnya. Yang dibutuhkan sekarang adalah sebuah ruangan yang bisa membuatnya meluapkan segala macam emosinya sekarang.
Tangan terulur, membuka sebuah kamar tapi bukan kamar yang biasa dia tempati. Memilih kamar yang sudah di hak milik Divina karena setiap datang, dia akan menempati kamar itu. Memilih masuk ke sana agar tidak terganggu dengan kenangan Radella di kamar utama mereka.
"Kenapa sesakit ini," desah Delan.
Rasa sesak masih nyaman bersarang di dadanya, dan untuk pertama kalinya dia menitikkan air mata setelah beranjak dewasa. Matanya buram oleh gumpalan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Kepalanya menatap lurus ke langit-langit kamar yang sangat membosankan.
Selama dua puluh menit, Delan hanya bergeming seperti orang tertidur tapi dengan mata terbuka. Karena, pria itu tidak bergerak sama sekali, hanya berkedip untuk menjatuhkan air matanya lebih banyak. Kegiatan itu terinterupsi karena sebuah getaran ponselnya yang berada di saku celana.
Tangannya bergerak, mengambil ponselnya tapi tidak untuk membukanya. Hanya untuk memindahkan di sampingnya, tidak ingin tahu siapa pengirim pesan tersebut. Bentuk luapan emosi yang bercampur hanyalah tetesan air mata, meski ingin berteriak agar rasa sesak hilang. Namun, dia terlalu enggan untuk membuka suara.
Tidak berselang lama, ponselnya kembali berdering lebih lama pertanda kalau ini sebuah panggilan bukan hanya pesan. Mengembuskan napas kasar, tangannya meraba untuk mengambil ponselnya. Saat melihat layar, nama sang adik terpampang sebagai pemanggil dari seberang.
"Kenapa?" tanya Delan begitu menggeser tombol hijau.
"Bang Delan, di mana?" Suara Divina dari sana terdengar khawatir, tapi untuk saat ini dirinya tidak ingin berhadapan dengan siapapun dulu.
"Di rumah," jawabnya singkat.
"Apa perlu aku temani, Bang?" tawar Divina.
Ada sedikit perasaan hangat menyusup mendengar bagaimana pedulinya sang adik kepadanya, seakan sudah mengetahui keadaannya sekarang. Padahal, beberapa jam yang lalu, gadis muda itu berkata malas dan mengejek dirinya. Namun, ikatan saudara mereka yang kuat, dan terbukti Divina lebih memilih mengkhawatirkan dirinya dibanding melanjutkan ejekannya.
"Tidak perlu. Abang baik-baik saja," lirihnya terdengar jelas kebohongannya.
Gadis di seberang menghela napas, memberikan waktu kepada kakaknya karena tahu, pria itu butuh sendiri. Butuh waktu dan tempat untuk dirinya menenangkan diri. Meski hati kecil Divina ingin mengumpati kakaknya karena jelas hal ini menyakiti dirinya sendiri.
"Baiklah, Bang Delan baik-baik di sana. Mungkin nanti malam, aku akan menginap di sana!" putus Divina lalu mematikan teleponnya begitu saja.
Delan menatap ponselnya yang sudah tidak terhubung lagi dengan Divina. Matanya melebar terkejut karena melihat ada notif pesan dari seorang perempuan yang sekarang tengah menjadi masalah otaknya. Tangannya membuka pesan perempuan itu, jarang sekali perempuan itu mulai mengirim pesan terlebih dahulu.
Bibirnya bergerak membaca pesan yang dikirim dari seorang perempuan di seberang sana. Setelahnya, dia tersenyum miris karena pesan tersebut menanyakan bagaimana persidangan tadi. Tentu, Radella juga harus tahu hasilnya, karena ini menyangkut mereka berdua.
***
"Aku sudah menjadi janda di umurku yang masih muda," bisik Radella menatap kosong sebuah kertas yang baru dia terima.
Kertas berisi hasil keputusan akhir pernikahan mereka, juga surat yang menyatakan kalau mereka resmi berpisah secara hukum. Selang tiga hari dari hari persidangan, kertas itu sudah sampai di tangannya, dan dia ingin sekali merobek merasa tidak rela.
"Kenapa sedih begitu? Bukankah ini yang Kalian mau?"
Suara berat itu terdengar begitu datar, Radella buru-buru mengusap air matanya sebelum menoleh ke arah sang ayah. Air mata yang baru saja dihapus, tidak bisa menutupi kesedihan dan kekecewaan dari wajahnya. Terlebih sang ayah yang sudah menyorot dirinya dengan tajam.
Kalimat ayahnya mengingatkan dirinya pada saat dia dah Delan memutuskan untuk mengakhiri semuanya di depan dua keluarga. Saat itu, mereka masih yakin ini yang terbaik dan mereka tidak memiliki perasaan satu sama lain. Berbicara seolah apa yang mereka putuskan adalah jalan yang memang terbaik untuk keduanya.
"Ayah merah kepada Radella?" cicit Radella merasa malu dengan ayahnya. Harusnya, tadi dia buru-buru ke kamar dan membukanya di dalam. Bukan malah di ruang tamu dan ayahnya tahu betapa kecewanya dia dengan kertas yang dia pegang.
"Tentu saja. Marah dan kecewa Ayah rasakan, bukan hanya Ayah, Bunda, Mama dan Papamu juga merasakan hal yang sama," balas sang ayah berkata lugas.
"Sekarang, Ayah tanya sama kamu, apa benar Kamu sudah bahagia dengan perpisahan seperti ini?" tegas Fatoni menatap intens Radella yang langsung mengalihkan pandangan.
Dalam hatinya berteriak, dirinya tidak senang, dirinya tidak bahagia, dirinya terluka dan dirinya merasa begitu sesak dan sakit sekarang. Namun, bibirnya malah bungkam dengan air mata yang semakin mengalir. Dia kembali cengeng di depan keluarganya, padahal dia sudah lama tidak menangis lagi di depan orangtuanya.
"Apa yang Kalian lakukan ini? Ayah tidak habis pikir dengan jalan pikiran Kalian. Kekeh ingin pisah, dan sekarang lihatlah wajahmu." Fatoni menggeleng prihatin, selanjutnya pria itu lebih memilih memeluk anak sulungnya daripada kembali menghakimi.
"Mungkin Kalian masih butuh waktu lagi agar memahami perasaan Kalian. Sekarang Kamu bisa fokus pada keinginan Kamu. Ayah tidak ingin melihat kesedihanmu lagi, karena ini sedari awal keputusan Kalian sendiri."
"Ayah, maafkan aku." Meminta maaf atas kebodohannya, tapi meski mengetahui perasaannya lebih awal pun, tidak akan mengubah apapun karena Delan dengan cintanya kepada Tantri sang kekasih.
"Kamu hanya perlu hidup lebih baik lagi," bisik ayahnya mengabaikan rasa sakit dan kecewa dengan kejadian ini.