NovelToon NovelToon
SURGA Yang Kuabaikan & Rindukan

SURGA Yang Kuabaikan & Rindukan

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Penyesalan Suami / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: rozh

Takdir yang tak bisa dielakkan, Khanza dengan ikhlas menikah dengan pria yang menodai dirinya. Dia berharap, pria itu akan berubah, terus bertahan karena ada wanita tua yang begitu dia kasihani.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Keluarga Herman

Herman membawa ibunya ke klinik terdekat, seorang bidan menangani sang ibu cepat.

"Ibumu kurang istirahat dan kurang makan ini, harus banyak makan dan istirahat," ucap bidan itu setelah memeriksa ibunya Herman.

"Iya, Bu."

Bidan itu menepuk pundak Herman. "Jadilah lebih baik lagi, jaga ibumu, kasihan dia, apa ini bekas pukulan ayahmu lagi?"

Herman tak menjawab. Tetangga di sekitar sini dan termasuk bidan ini juga tahu, jika sang ibu sering dipukul.

"Ya sudah, semoga ibu kamu cepat sembuh." Sang bidan memberikan obat setelah meraciknya.

"Berapa Bu?"

"Nggak usah bayar, udah, uangnya kamu simpan saja, buat beli makan ibu sama adik-adik kamu," tolak Bu bidan itu.

"Tapi, Bu—"

"Sudah, tidak apa-apa Nak Herman. Uang ini bisa buat beli makan ibumu, belikan ke beras, kasihan dia kurus begini."

"Makasih Bu."

"Makasih Bu bidan," ucap Ibu Herman yang sudah sedikit bertenaga. Dia mendapatkan bubur kacang hijau hangat dari Bu bidan itu tadi.

"Iya, semoga cepat sembuh ya, dan pikirkan baik-baik usulan kami kemarin."

"Iya, Bu."

Setelah itu, di sepanjang perjalan pulang, Herman bertanya pada ibunya. "Usulan apa yang dimaksud ibu bidan itu, Bu?"

"Usulan agar berpisah dan menjauh dari bapakmu yang KDRT itu, suka berjudi dan mabuk-mabukan. Mereka ingin ibu pergi bersama kalian ke tempat lain, ada keluarga jauh ibu bidan itu mau menampung ibu, ada rumah keluarganya yang kosong, hanya perlu di huni dan dibersihkan, di sebelahnya ada pekerjaan yang bisa ibu lakukan juga, membuat box-box dari kardus gitu," terang ibunya.

"Kalau begitu, aku setuju Bu. Itu lebih baik, dari aku kecil hingga aku sebesar ini, ayah tidak pernah berubah, malahan makin menjadi, untuk apa juga ibu bertahan, berharap ayah berubah, dia tidak akan pernah sadar, aku nggak tenang lihat ibu kayak gini, adik-adik masih kecil, tidak ada yang sekolah, makan pun jarang. Kalau ada saja sedikit uang, ayah akan ambil buat berjudi, padahal uang itu uang mengamen adik-adik. Badannya besar sehat tapi tak berguna!" Herman geram mengingat sang ayah.

"Herman, kamu nggak boleh gitu, beliau ayahmu. Hormati dia."

"Aku hormat Bu, tapi ayah tidak pantas di hormati. Aku mendukung ibu pergi, lebih baik pergi cepat, agar ibu pun bisa sembuh. Jika begini, kapan ibu akan sembuh? Lagian jika ibu kenapa-kenapa, aku tidak yakin adik-adik ku akan di rawat ayah, takutnya malah di jual!"

"Astaghfirullah. Jangan berburuk sangka begitu pada ayahmu, Herman." Sang Ibu menatap anaknya, air matanya berderai.

"Bu, ayah pecandu judi berat, pemabuk berat. Apa yang tidak mungkin? Dia aja tega mukul ibu, rampas uang ngamen adik-adik, apalagi buat jual atau gadaikan anaknya. Nanti kalau ibu udah nggak ada, ayah bakalan begitu, karena gak dapat uang dari ibu yang bekerja pontang panting sama uang ngamen adik-adik." Herman berkata tegas.

"Itu nggak benar Herman, jangan berkata seperti itu."

"Sudah lah Bu, kenyataan nya akan begitu, jangan bela ayah lagi, dia gak pantas. Berpikirlah demi kebaikan ibu dan adik-adik yang masih kecil. Bayangkan aja. Itu akan terjadi, Bu. Ya sudah, ayo kita pulang, adik-adik pasti sangat lapar, tadi aku beli beras, minyak dan bahan makanan, takutnya keburu ayah pulang, dia habiskan semua makanan, atau mungkin dia jual pula beras untuk makan ke orang!"

Sesampainya di rumah, adik-adik Herman tersenyum lebar. "Akhirnya Ibu dan Abang pulang."

Makanan sudah tersaji. Ada nasi putih, telur dadar dan mi goreng di atas meja.

"Kamu masak dua biji telur saja?" tanya Herman.

"Iya, Bang."

"Ini nggak cukup buat kita semua."

"Cukup Bang, yang penting nasinya banyak."

"Kenapa dengan pipimu?" Herman bertanya pada adiknya yang baru pulang ngamen.

"Biasa lah bang, tawuran dikit, ada yang sok jagoan penguasa wilayah, mau malak. Tapi kami berdua baik-baik aja, besok kami ke daerah lain aja ngamen," jawabnya.

"Uangnya mana?"

Dua adiknya tertunduk. Herman menghela nafas kasar. "Di ambil ayah lagi di jalan?" tanyanya.

"Iya, cuma tersisa dua ribuan," balasnya.

"Bu, lihat!" Herman menatap sang ibu. "Dia tidak kasihan sedikit pun melihat anaknya lebam begini demi mengais receh, malah dia ambil buat berjudi, padahal anaknya ngamen buat cari makan!" Herman mengacak rambutnya gusar.

Ibu tertunduk sedih.

"Aku setuju dengan kata Bu Bidan itu, lebih cepat, lebih baik, Bu."

"Ya sudah, Abang mau pergi dulu, kalian semua makanlah, simpan sisa makanan yang belum di masak, jangan sampai ayah tahu. Abang keluar dulu, cari pekerjaan, kali aja dapat uang lagi!"

"Baik, Bang. Lalu, Abang gak makan dulu?" tanya adiknya.

"Tidak, tadi Abang sudah makan di rumah Riko, kalian makan saja!"

"Lama banget lu datang Bro?" Riko bertanya saat Herman baru sampai.

"Biasa, *problem* di rumah, ibuku tadi sakit, jadi aku bawa berobat dulu," jawab Herman.

"Kasihan banget *nyokap* lo."

"Ya, mau gimana lagi." Wajah Herman tertunduk lesu. "Kadang pengen gue tikam aja tu *bokap*!"

"Hahaha! Gila juga pikiran Lo!" Riko tertawa. "Gas, *ngudut* enak dulu!" Riko memberikan rokok dan obat penenang. "Tenangkan pikiran Lo sob, masalah gitu hilangkan dari pikiran."

Herman pun bersama teman-temannya berpesta barang haram. Tertawa sendiri melihat langit-langit ruangan yang kelam itu. Bicara ngawur dan mulai halusinasi berat.

Di penjara, Tanan sedang mengaji beberapa halaman usai sholat malam.  Suaranya pelan saja, agar tidak menggangu teman lainnya yang ada dalam sel tahanan.

"*Sadaqallahul azim*." Tanan menutup Al-Qur'an, mencium dan meletakkan di atas kepala, lalu menyimpan Alquran dan sajadah serta sarung di dinding paling atas di tempatnya.

"Sudah selesai ngaji, Bang?" Salah satu penghuni baru bertanya.

"Iya, kamu belum tidur?"

"Tadi udah Bang, terbangun. Suara Abang ngaji bikin hati tenang dan ada sedihnya."

"Sedih kenapa?" tanya Tanan.

Pemuda itu mendekat, duduk di dekat Tanan yang juga duduk bersila.

"Aku sedih, teringat dosa-dosaku. Ibuku jadi *stroke* karena kaget aku masuk penjara gini, Bang. Dia berpikir, aku benar-benar kuliah dengan baik, tapi uang kuliah malah aku pakai untuk hal-hal yang tidak baik. Ayahku marah besar." Pemuda itu melamun.

"Bagus jika kamu ingat dosa, dari pada tidak. Aku juga melakukan hal yang sama, satu tahunan aku butuh waktu untuk rehabilitasi. Enam bulan pertama itu sangat berat, lihat tanganku ini!" Tanan menunjukkan ke dua tangannya, ada bekas goresan dan luka.

"Ini aku gigit, aku lukai karena depresi tidak bisa mengkonsumsi barang terlarang. Aku sudah bertahun-tahun kecanduan, kalau kamu sejak kapan?" tanya Tanan.

1
Rozh
eror nih, malah update double 3 bab, bab sama, isi dan judul sama🗿
Heny
Hadir
Rozh: terimakasih 🙏🏻🌹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!