Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelap Mata
Dua bulan kemudian.
Pagi itu, sinar matahari menembus sela dedaunan, menebarkan kilau hangat di halaman belakang rumah. Anin dan Giandra tengah menikmati akhir pekan bersama Lavanya dan Anggi yang asyik duduk di atas ayunan kayu menggantung pada dahan pohon besar.
Giandra berdiri di belakang mereka, mendorong ayunan dengan pelan. Tawa dia bocah itu menggema, menyatu dengan desiran angin lembut. Di kursi panjang yang tak jauh dari ayunan itu, Anin duduk sembari memegang mangkuk berisi nasi, sayur, dan telur rebus.
“Lavanya, Anggi ... Ayo, makan dulu!” seru Anin.
“Iya, Ibu!” jawab mereka hampir bersamaan.
Keduanya langsung melompat turun dari ayunan. Namun, Anggi terpeleset dan jatuh ke aspal. Seketika suasana hening. Anin dan Giandra saling melempar pandangan, khawatir tetapi menahan diri untuk tidak panik. Sementara Anggi mendongak, menatap mereka, lalu berdiri sembari menepuk-nepuk tangannya yang kotor.
“Horee, Anggi kuat!” seru Giandra sembari mengangkat kedua tangannya ke udara.
Anggi tersenyum lebar, lalu melompat-lompat kecil. “Aku emang hebat!” sahutnya bangga.
“Iya dong. Anak siapa dulu?” tanya Anin sembari tersenyum sumringah.
“Anak Ibu,” jawab Anggi dengan lantang.
“Eh, anak Bapak juga dong,” sahut Giandra.
Dia melangkah mendekat, dan duduk di sebelah Anin. “Ayo, kalian makan dulu. Kasihan Ibu, dia mau tidur siang,” ujarnya lembut.
Anggi mengangguk dan membuka mulut lebar-lebar. Anin menyuapi Anggi dan Lavanya secara bergantian dan penuh kasih.
“Aku mau juga ...” ucap Giandra dengan wajah memelas dan bibir yang dimajukan lima senti.
“Ih, Bapak! Ini makanan punya aku dan Lava,” protes Anggi dengan wajah cemberut.
“Tapi beli makanannya pake duit Bapak,” balas Giandra tak mau kalah.
Anin hanya menggeleng pelan sembari tertawa kecil melihat tingkah Giandra dan putri mereka.
“Udah, udah. Ini makanan milik bersama,” kata Anin berusaha melerai keributan itu.
Dia menyendok sedikit makanan, dan menyuapi ke mulut Giandra. Sementara Anggi menatap mereka sembari mengerutkan dahi.
“Ibu, kenapa Ibu mau sama Bapak? Ibu cantik kayak peri,” ucap Anggi polos.
Giandra langsung menegakkan punggung. “Kamu pikir Bapak jelek? Bapak itu pria paling ganteng di antara semua pria yang berusaha nikahi Ibumu,” katanya penuh percaya diri.
“Aku kan nanya Ibu, bukan Bapak,” balas Anin dengan wajah polosnya.
Anin terkekeh. “Bapakmu itu baik banget. Selain itu, dia juga bertanggung jawab, setia, dan ganteng banget,” tuturnya dengan nada lembut.
Giandra langsung menyeringai lebar, menaikkan sebelah alis dengan gaya sok tampan. Sementara Anggi mendengus kesal, bibirnya mengerucut hingga maju enam senti.
Sementara itu, di ambang pintu belakang. Sri duduk di kursi roda baru yang dibelikan Anin dua bulan yang lalu. Tatapannya tajam menembus pemandangan keluarga kecil yang tertawa hangat di bawah sinar mentari.
“Kenapa dulu Giandra menolakku? Apa aku kurang cantik?” gumam Sri lirih.
Sorot matanya tak lepas dari Anin yang tersenyum bahagia sembari bersandar di bahu lebar milik Giandra. “Rasanya tidak adil melihat Anin hidup dalam kebahagiaan bersama keluarga kecilnya, sedangkan aku diselingkuhi oleh suamiku,” ucapnya dengan nada getir.
Tangan Sri mengepal kuat, rahangnya menegang, matanya memerah diliputi bara iri yang menyala di dalam dada. Anin juga harus merasakan penderitaan yang kurasakan.
...🌹🌹🌹...
Keesokan harinya.
Pagi itu, mentari menyelinap masuk dari jendela dapur yang terbuka lebar. Aroma tumisan bawang menyeruak, Anin tengah menyiapkan sarapan dan bekal untuk Giandra.
“Selamat pagi, duniaku,” sapa Giandra sembari berjalan keluar kamar mandi, dan mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk.
“Pagi juga, cintaku. Tumben kamu wangi banget begini,” celetuk Anin, mengendus tubuh Giandra.
Giandra menyipitkan mata, seulas senyum nakal muncul di wajahnya. Tanpa aba-aba, dia menarik Anin ke dalam pelukannya. “Sebenarnya aku mau nagih janji kamu seminggu lalu,” ungkapnya.
“Janji apa?” tanya Anin, mengangkat wajah. Giandra menatapnya dengan tatapan menggoda.
“Kamu tadi salat subuh, kan? Berarti kamu udah selesai datang bulan dong,” ucap Giandra.
Anin tertegun, mengerti maksud ucapan Giandra. “Jangan sekarang ya. Nanti malam aja,” katanya dengan nada memohon.
Giandra menggeleng cepat, bibirnya mengerucut seperti anak kecil. “Maunya sekarang!” desaknya.
“Kan kamu harus kerja. Lagi pula, anak-anak baru bangun,” tutur Anin.
Giandra mendengus, memalingkan wajahnya dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat, lalu beranjak pergi. Anin menghela napas panjang, mencoba menahan tawa, kemudian kembali memasak makanan yang belum matang.
Beberapa menit kemudian, keduanya berdiri di teras depan. Giandra mengenakan kaus oblong hitam dengan celana panjang hitam juga, sementara Anin mengenakan daster bermotif batik dan rambut yang terikat.
“Kamu hati-hati ya. Jangan ngebut di jalan,” pesan Anin sembari merapikan rambut Giandra.
“Iya, sayangku. Kalau begitu, aku berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamit Giandra.
“Waalaikumsalam,” sahut Anin.
Dia melambaikan tangan, menatap mobil Giandra yang perlahan keluar dari halaman hingga menghilang di ujung jalan. Setelah itu, Anin berbalik, dan hendak masuk ke dalam rumah.
“Giandra tidak pakai sopir?” tanya Sri yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Kalau pergi ke luar kota pakai, tapi ini cuma ke toko bangunan punya bapak jadi nyetir sendiri,” jawab Anin sembari tersenyum sopan.
Sri mengangguk kecil. “Kamu tidak ke pasar?” tanyanya lagi.
“Hmm, nggak. Tapi aku mau ke tukang sayur keliling, soalnya persediaan bawang merah dan bawang putih habis,” jawab Anin.
“Oh, kalau gitu aku aja yang jagain anak-anakmu,” tawar Sri dengan nada ramah.
“Kakak nggak keberatan?” tanya Anin ragu.
“Nggak dong. Mereka juga keponakan aku,” jawab Sri, mengukir senyum tipis di bibirnya.
“Makasih ya, Kak. Kalau begitu, aku pergi dulu. Assalamualaikum,” ucap Anin.
“Waalaikumsalam,” jawab Sri, masih tersenyum.
Anin berbalik, melangkah keluar rumah. Sri menatapi punggung adik iparnya itu hingga menghilang di balik pagar, kemudian seulas senyum dingin muncul di wajahnya.
“Ini saatnya,” gumamnya.
Dia menutup pintu perlahan, kemudian memutar kursi rodanya menuju kamar Anin dan Giandra. Di sana, Erna dan Erni terbaring tenang di kasur, sementara Anggi duduk di sisi tempat tidur sembari mengayun-ayunkan kaki.
“Mana Ibu?” tanya Anggi polos.
“Ibumu ke pasar,” jawab Sri enteng, menatap Anggi tanpa berkedip.
Anggi mengangguk kecil, kemudian kembali memandang kedua adiknya yang kini berusia dua bulan. Tiba-tiba Sri mengangkat Erni dari kasur.
“Bude mau bawa Erni kemana?” tanya Anggi.
“Bude mau kasih Erni makan,” jawab Sri datar.
“Tapi tadi Ibu udah kasih Erni makan,” sahut Anggi sembari mengerutkan kening.
Sri tak menjawab, dia keluar kamar dengan kursi rodanya. Rasa curiga membuat Anggi turun dari kasur dan mengintip ke arah dapur.
Anggi langsung membelalak melihat Sri sedang menghancurkan pisang di piring kecil, kemudian menyuapkannya secara paksa ke mulut mungil Erni yang menangis pelan.
“Bude ...” gumam Anggi pelan.
Dia mematung menatap wajah Erni yang tampak memerah dan tubuhnya menegang. Sri menoleh ke belakang. Anggi langsung bersembunyi, berlari menaikkan kasur, dan pura-pura terpejam.
Beberapa menit kemudian, Sri kembali masuk, membawa Erni yang kini terkulai lemah.
“Kamu tidur yang tenang ya, Erni,” bisik Sri dingin, menidurkan bayi itu di samping Erna.
Sri menatap Anggi yang tampak tertidur. “Anggi tidur ya?” gumamnya pelan, mengelus rambut gadis kecil itu. “Bagus. Kalau sampai dia lihat, aku juga harus membunuhnya.”
Dia memutar kursi rodanya, lalu meluncur keluar kamar dengan tenang. Anggi menghela napas, tetapi tubuhnya gemetar hebat di balik selimut.
Dua puluh menit kemudian, Anin memasuki pekarangan rumah dan berjalan menuju pintu rumah yang tertutup rapat.
“Assalamualaikum,” ucap Anin, membuka pintu, kemudian masuk ke dalam. Namun, rumah terasa sunyi, hanya bunyi detik jam terdengar sayup.
“Pada ke mana? Kok sepi?” gumamnya heran.
Dia berjalan menuju kamarnya yang tertutup rapat. Perlahan, Anin membuka pintu, mendapati ketiga anaknya tertidur lelap di kasurnya. Sementara Lavanya terlelap di kasur sebelahnya dengan kening yang ditutupi kain basah.
“Badan kamu masih panas, Vanya?” tanya Anin, mengangkat kain basah, dan menempelkan punggung tangan ke kening Lavanya.
Lavanya membuka mata perlahan, wajahnya tampak pucat. “Masih, Bu,” jawabnya lemah.
“Nanti minum obat lagi, ya. Tumben Anggi tidur siang, biasanya susah banget disuruh tidur,” ujar Anin sambil tersenyum kecil.
Lavanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Bu. Tadi aku tidur, nggak main sama Anggi.”
“Iya, Nak. Kamu istirahat aja dulu.”
Anin berbalik, menghampiri kedua bayi kembarnya. Dia mematung memandangi mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh pada wajah Erni yang tampak pucat, dan tak bergerak.
“Erni, kenapa wajahmu pucat?” tanyanya panik.
Anin menepuk pipi mungil itu pelan, tetapi tubuh Erni kaku, bahkan napasnya tak terasa.
“Astaghfirullah ... Erni!! Kamu kenapa, Nak?” teriak Anin dengan suara serak.
Anin langsung mengangkat tubuh Erni, dan memeluknya erat. Namun, tak ada suara detak jantung yang terdengar.
“Tolong!!!” teriak Anin parau, kemudian berlari keluar rumah sembari menggendong Erni.
“Ada apa, Anin?” tanya para tetangga yang datang menghampiri.
“Anak saya tiba-tiba nggak bernapas,” jawab Anin dengan napas sesenggukan.
“Innalillahi, kok bisa?” tanya mereka.
“Saya nggak tahu, Bu. Tadi saya ke tukang sayur sebentar tapi pas saya balik, kondisi Erni udah kayak begini,” jawab Anin.
Dia menatap para tetangga dengan wajah yang berlinang air mata.
“Di mana suamimu?” tanya bapak-bapak yang ikut menghampiri.
“Di toko bangunan milik Pak Yasir,” jawab Anin.
“Oke. Kita ke sana. Kamu tunggu ya,” ujar mereka.
Anin mengangguk lemah, memeluk Erni semakin erat. Bahunya bergetar, tangisnya pecah tanpa kendali. Beberapa ibu-ibu merangkul bahunya, berusaha menenangkan, kemudian membawa Anin masuk ke dalam rumah.