Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Wulan duduk berhadapan dengan juragan di atas sado menuju perjalanan pulang kembali ke kediaman. Terkadang ia akan menunduk dan lebih banyak menatap sekitar, menikmati pemandangan yang disuguhkan alam. Perkebunan milik warga, sawah, tanah lapang tempat semua ternak mencari makan.
Namun, semua yang dilakukan Wulan, tak luput dari pandangan juragan. Kedua matanya nyaris tidak berkedip melihat sosok ayu di depannya.
"Ada apa? Apa Wulan mau pergi ke suatu tempat?" tanya juragan saat riak di wajah Wulan berganti kelabu.
Wulan menoleh padanya, dan setiap kali bersitatap dengan juragan ia selalu terpesona. Tak dapat mengendalikan perasaannya.
"Eh, tidak, Juragan. Saya hanya sedikit heran saja. Dulu, sebelum turun gunung saya kira akan ada banyak rumah penduduk di desa. Ternyata masih jarang rumah," ucap Wulan seraya kembali berpaling menatap jejeran pohon karet di sepanjang jalan.
"Tentu saja. Ini bukan kota. Desa yang luas ini hanya dihuni sedikit penduduk. Masih banyak tanah kosong milik penduduk. Rumah-rumah di desa masih jarang dan berjauhan. Apa Wulan tidak pernah pergi ke mana-mana?" ujar juragan semakin dalam menatap wajah manis istri kecilnya.
Wulan menggelengkan sambil menunduk, ke mana dia pergi? Tidak ada tujuan untuk pergi.
"Dari semenjak dibuang bapak ke gunung Munding, saya hanya memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup di tempat itu sendirian. Beruntung saya bertemu dengan seorang wanita tua yang baik hati dan mau merawat saya sampai sekarang. Saya tidak pernah turun gunung," ungkap Wulan teringat kehidupannya saat di gunung.
Sebenarnya dia sering meninggalkan rumah untuk mencari sesuatu, tapi tidak pernah benar-benar turun dari sana karena ada banyak bahaya mengintai di gunung yang jarang terjamah manusia itu.
Juragan terenyuh, tanpa izin meraih tangan Wulan dan menggenggamnya.
"Mulai sekarang, Wulan bisa pergi ke manapun Wulan mau. Katakan saja pada saya Wulan ingin ke mana, saya akan membawa Wulan ke sana," ujar juragan sembari tersenyum manis.
Deg!
Jantung Wulan berdetak, sebentar dia lupa rumor buruk tentang suaminya itu. Pikirannya kini dipenuhi oleh wajah teduh sang juragan. Senyum manis yang jarang ditampakkan itu membuat Wulan tak berdaya.
Dug!
"Argh!"
Roda sado yang menabrak sebuah batu membuat jalan gerobak kuda itu tak seimbang. Wulan tersungkur ke depan, memeluk tubuh juragan.
"Ampun, Juragan! Saya tidak melihat ada batu tadi," ucap kusir menunduk di hadapan mereka.
Juragan yang masih memeluk tubuh Wulan, tersenyum padanya. Ia memaklumi karena segala sesuatu tidak selamanya berjalan sempurna.
"Tidak apa-apa. Lanjutkan saja!" ucap juragan yang lagi-lagi membuat Wulan tertegun.
Perempuan itu mendongak, menatap wajah juragan dari bawah. Menikmati keindahan yang sempurna tanpa cacat. Ya, wajah juragan laksana bulan purnama yang bersinar tanpa cela. Juragan tersenyum melihat Wulan yang tidak berkedip di pelukannya.
"Sudah puas melihat?" tegurnya lembut.
Eh?
Wulan cepat beranjak, menjauh dan kembali ke tempat duduknya. Ia berpaling ke depan, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Seandainya gerobak ini akan selalu seimbang, saya ingin terus memeluknya.
Juragan bergumam di dalam hati, kehangatan pelukan Wulan masih terasa dan tak akan pernah hilang untuk waktu yang lama. Beberapa saat ia merasakan ketenangan.
Namun, tidak dengan Wulan, ia merasakan sesuatu yang aneh dari dalam diri juragan. Itu hanya akan terasa bila mereka bersentuhan langsung.
Sepertinya ada yang salah dengan tubuh juragan. Setiap kali bersentuhan saya merasakan keanehan. Apa juragan menyadarinya?
Wulan melirik diam-diam, dan kembali berpaling saat menyadari bahwa juragan tak pernah berpaling darinya. Tiba-tiba kuda meringkik, dan lajunya pun berhenti. Di dekat tanah lapang yang dijadikan tempat menggembala ternak.
"Ada apa?" tanya juragan kepada kusir di depan.
"Ampun, Juragan. Itu, ada anak-anak di depan," jawab pak kusir.
Juragan memiringkan tubuh keluar gerobak untuk melihat anak-anak yang tubuhnya dipenuhi lumpur.
"Juragan! Juragan!" panggil anak-anak itu dengan riang gembira.
Wulan mengernyit, sungguh kejadian yang tidak terduga. Apa yang akan dilakukan laki-laki dingin terhadap anak-anak. Apakah dia akan memarahi mereka? Atau menghukum mereka karena menghalangi jalan! Lihat wajah kejamnya mulai terlihat.
Saya tidak akan tinggal diam jika dia berani melakukan hal buruk terhadap anak-anak itu.
Wulan melirik belati di pinggang suaminya. Dengan sikapnya yang dingin, dia yakin juragan tidak akan melepaskan anak-anak itu.
"Eh, mau apa, Juragan? Mereka hanya anak-anak. Jangan hukum mereka!" sergah Wulan di saat tangan juragan mengusap belati dan hendak mengeluarkannya.
Juragan berpaling padanya dengan kerutan di dahi. Terlihat tak senang dengan tindakan Wulan yang terburu-buru mencegahnya. Apapun yang ingin dia lakukan, tidak pernah ada orang yang berani mencegahnya.
Apa yang akan dilakukan juragan terhadap anak-anak itu?
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa