NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:250
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30: KUBURAN BETON YANG DINGIN

*THrum... thrum... sputter...*

Keheningan.

Suara generator diesel yang mati terdengar seperti detak jantung yang berhenti. Keheningan yang tiba-tiba itu ribuan kali lebih memekakkan telinga daripada raungan mesin itu sendiri.

Di dalam trailer kontainer yang kini gelap gulita, tiga orang membeku.

Napas Santi Ibrahim tercekat. Dia bisa merasakan remah-remah biskuit kedaluwarsa yang kering di mulutnya.

Reza, di sudut, mengeluarkan suara tercekik yang menyakitkan, seperti seekor hewan kecil yang diinjak.

Rania tidak bergerak.

Kegelapan itu total. Absolut. Satu-satunya sumber cahaya di alam semesta mereka—monitor CRT hijau yang sakit-sakitan—telah mati, layarnya menyusut menjadi satu titik putih kecil sebelum lenyap.

Mereka kini buta. Tiga tikus di dalam kotak logam yang terkubur di dalam kuburan beton.

"Dia... mematikannya," bisik Santi, suaranya bergetar hebat. Dia merangkak mundur, menjauh dari pintu, dan punggungnya membentur dinding logam yang dingin. "Ya Tuhan... dia di luar. Dia mematikannya!"

"Sssst!" Perintah Rania memotong kegelapan. Suaranya datar, tanpa emosi, tapi begitu tajam hingga Santi terdiam seketika.

Hening.

Rania mendengarkan.

Amulet obsidian di dadanya dingin dan diam. Dia *buta* Gema. Tapi indra manusiawinya, yang kini diperkuat oleh efisiensi logis, bekerja dengan sempurna.

Dia mendengarkan melewati napas panik kedua rekannya.

Dia mendengar... tidak ada.

Tidak ada langkah kaki di kerikil. Tidak ada suara logam bergeser. Tidak ada napas selain napas mereka bertiga.

Angin malam yang samar bersiul melalui celah di pagar seng, tiga puluh meter jauhnya. Setetes air jatuh dari langit-langit beton yang bocor di lobi parkir, sepuluh meter jauhnya. *Plop.*

"Tidak ada seorang pun di sana," kata Rania. Suaranya terdengar sangat keras di dalam kotak logam itu.

"Bagaimana kamu tahu?" bisik Reza dari sudutnya. "Mungkin... mungkin mereka 'sunyi' seperti kamu?"

"Mereka 'sunyi' Gema," kata RANIA. "Mereka tidak 'sunyi' fisik. Pembersih itu melompat, dia berlari, dia mendobrak. Dia *berisik*. Tidak ada apa-apa di luar sana."

Dia bangkit dari kursinya. Gerakan itu membuat Santi dan Reza tersentak.

Mereka melihat siluetnya. Sosok gelap yang menghalangi cahaya oranye sakit-sakitan dari "Koreksi" di kejauhan, yang menyelinap masuk melalui jendela trailer yang kotor.

Rania bergerak ke pintu. Dia tidak mengintip melalui celah. Dia mengambil pipa rebar-nya. Dengan ketenangan yang mengerikan, dia membuka kunci pintu dari dalam.

*KLIK.*

Suara itu membuat Santi melompat.

Rania mendorong pintu itu terbuka—*KRRREEEEK*—hanya selebar kepalan tangan.

Cahaya oranye yang redup itu memotong kegelapan, menerangi satu garis di wajahnya yang tanpa ekspresi.

Matanya memindai. Kiri. Kanan.

Generator diesel itu duduk di sana, sepuluh meter jauhnya. Sebuah bongkahan logam yang mati. Tidak ada seorang pun di sampingnya. Tidak ada jejak kaki di debu di sekitarnya.

Dia melihat ke lobi parkir yang luas. Pilar-pilar beton yang gelap. Genangan air yang diam. Tidak ada yang bergerak.

"Bahan bakarnya habis," kata RANIA. Sebuah fakta. Bukan tebakan.

Dia menutup pintu. *KLANG.*

"Bahan bakar... habis?" ulang Reza, suaranya dipenuhi campuran kelegaan dan keputusasaan baru yang sama-sama mengerikan.

"Logis," kata RANIA. "Mesin tua. Mungkin hanya terisi seperempat. Kita telah menghabiskannya."

Dia menyalakan senter LED kecil dari truk—benda yang dia simpan di sakunya—dan menyorotkannya ke lantai, tidak ingin menyilaukan siapa pun. Cahaya putih pucat itu membuat bayangan mereka melompat-lompat seperti hantu yang panik.

"Jadi... jadi begitu?" kata Santi, tertawa histeris. "Kita... kita tidak diserang? Kita hanya... kehabisan bensin?"

"Ya," kata RANIA.

"Lalu... lalu apa sekarang?" kata Santi, tawanya mereda menjadi ketakutan yang dingin. "Kita di sini. Gelap. Tanpa daya. Laptopmu..." Dia menunjuk ke monitor yang mati. "Semua data itu... tidak berguna."

Reza akhirnya berdiri, gemetar. Dia benar. Mereka telah mempertaruhkan nyawa Rania untuk *hard drive* yang sekarang tidak lebih dari pemberat kertas seharga satu juta rupiah.

Rania mematikan senternya.

Mereka kembali ke kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya oranye yang jauh.

"Anda benar," kata Rania kepada Santi. "Tempat ini... 'Elysian Spire' ini... adalah kegagalan. Sebuah *safe house* yang tidak bisa dipertahankan. Kita harus pergi."

"Pergi ke mana?!" suara Reza pecah. "Kita tidak bisa kembali ke kota! Militer ada di mana-mana! Kita tidak bisa tinggal di sini! Kita tidak punya makanan! Kita tidak punya apa-apa!"

"Kita punya *aset*," kata RANIA. "Kita punya *hard drive*. Kita punya *truk*. Dan..."

Dia berbalik dalam kegelapan, siluetnya menghadap Santi. "Kita punya *Anda*."

"Aku?" kata Santi.

"Mobil Anda," kata RANIA. "Anda bilang Anda parkir tiga blok dari sini. Di luar perimeter yang mungkin mereka perhatikan."

"Ya... tapi..."

"Truk pikap ini," kata RANIA, "adalah alat yang berisik. Bensinnya mungkin tinggal sedikit. Itu adalah transportasi sekali jalan. Mobil Anda... itu adalah aset jangka panjang. Itu punya bensin penuh?"

"Ya, saya baru mengisinya kemarin," kata Santi.

"Sempurna," kata RANIA. "Rencana baru. Kita tinggalkan tempat ini. Kita tinggalkan generator dan kontainer ini. Kita berjalan kaki ke mobil Anda. Kita ambil mobil Anda, dan kita pergi ke 'Kota Hantu' yang saya sebutkan tadi. Sebuah *safe house* yang lebih permanen."

"Jalan kaki?" Reza terdengar ngeri. "Melewati patroli?"

"Kita tidak punya pilihan," kata RANIA. "Kita harus bergerak sebelum fajar. Saat fajar, militer akan menyisir area ini. Cahaya oranye itu... akan membuat mereka penasaran."

Keheningan. Rencananya logis. Dan itu menakutkan.

Santi, reporternya, mengambil alih. "Tunggu. Mobil saya. Itu... mobil baru. Itu punya GPS. Pelacak *on-board*. Bukankah Anda bilang itu 'peti mati'?"

Rania terdiam sesaat. Amulet di lehernya terasa dingin. Logika Santi benar. Sebuah kesalahan dalam perhitungannya.

"Itu... benar," kata RANIA. "Data yang bagus. Sebuah komplikasi."

"Jadi, kita ambil truk itu?" tanya Reza.

"Tidak," kata Santi, otaknya kini bekerja. "Dia benar. Truk itu terlalu mencolok, terlalu tua, terlalu lambat. Kita akan ditangkap di pos pemeriksaan pertama. Tapi mobil saya... saya tahu mobil saya. Saya tahu cara... *melumpuhkannya*."

Rania menoleh. "Jelaskan."

"Saya reporter investigasi," kata Santi, sedikit kebanggaan kembali ke suaranya. "Saya sudah berurusan dengan pembuntutan sebelumnya. Saya tahu di mana kotak sekringnya. Saya bisa mencabut modul *on-board* GPS dan telematika-nya. Butuh waktu lima menit dan tang yang bagus."

Rania memprosesnya. "Anda punya tang?"

"Di kotak peralatan darurat di bagasi saya."

"Keterampilan yang efisien," kata RANIA. "Bagus. Rencananya dimodifikasi."

Dia berjalan ke pintu dan membukanya, membiarkan cahaya oranye yang sakit-sakitan itu masuk. Dia menyorotkan senternya ke tumpukan barang rongsokan di sudut kontainer.

"Kita bersiap-siap," katanya. "Reza, cari botol air kosong. Isi semua yang Anda bisa dari dispenser. Santi, cari apa pun yang bisa Anda gunakan sebagai senjata. Kita kekurangan pipa rebar."

Reza mengangguk, senang karena ada tugas. Dia mulai mencari-cari botol di tumpukan sampah.

Santi ragu-ragu. "Dan Anda? Apa yang akan Anda lakukan?"

Rania sedang menatap *hard drive* perak itu, yang masih tergeletak di meja di samping monitor yang mati.

"Saya," katanya, "mengamankan aset utama."

Dia tidak punya daya. Dia tidak bisa menyalinnya. Jadi, dia melakukan hal terbaik berikutnya.

Dia merobek sepotong terpal. Dia membungkus *hard drive* itu dengan hati-hati, seperti membungkus bayi. Lalu dia merobek lapisan busa dari salah satu kursi kantor yang rusak. Dia membungkus *hard drive* itu lagi.

Dia berjalan ke meja, mengambil *keyboard* CRT yang berat dan lengket itu.

"Apa yang Anda..." tanya Santi.

Rania mengangkat *keyboard* itu tinggi-tinggi dan, dengan satu gerakan yang efisien dan brutal, menghancurkannya ke monitor CRT.

*KRRASSH!*

Kaca tebal itu meledak, mengirimkan jutaan pecahan kecil ke seluruh trailer.

Reza dan Santi sama-sama melompat kaget.

Rania tidak berhenti. Dia menghancurkan *motherboard* komputer, *drive* disket, apa pun yang bisa menyimpan satu *byte* data.

"Ra! Hentikan!" teriak Reza.

Rania berhenti, terengah-engah dalam cahaya oranye. Pipa rebar di satu tangan. Keyboard hancur di tangan lainnya.

"Menghapus jejak kita," katanya datar. "Tidak ada yang tahu kita ada di sini, atau apa yang kita lihat."

Dia berjalan ke pintu, melangkahi kaca yang pecah. Dia kini memegang *hard drive* yang terbungkus itu di satu tangan dan pipa rebar-nya di tangan lain.

"Ambil barang-barang kalian," perintahnya. "Kita pergi. Sekarang."

Reza memiliki tiga botol air yang diikatkan di ikat pinggangnya. Santi memegang ban kempes kecil yang dia temukan—berat dan canggung, tapi mematikan.

Mereka bertiga berdiri di ambang pintu kontainer, menatap keluar ke lobi parkir yang luas dan gelap.

"Tetap di bayang-bayang," kata RANIA. "Saya jalan di depan. Saya 'sunyi'. Kalian berdua... jangan 'berisik'."

Mereka melangkah keluar dari tempat perlindungan mereka yang gagal, tiga sosok yang rusak di bawah langit oranye yang retak. Kuburan beton itu telah melepaskan mereka, kembali ke kota yang sedang "dikoreksi".

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!