---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20- PERBINCANGAN SERIUS
Raka duduk di ruang tamu dengan wajah lelah. Hari itu ia baru saja pulang kerja, tapi rasa letihnya bukan karena pekerjaan—melainkan karena batin yang terus diaduk oleh banyak hal.
Ibu Ratna datang membawa dua cangkir teh hangat. Aromanya menenangkan, tapi suasananya justru mencekam.
“Minum dulu, Nak…” ucap Ibu Ratna lembut. Suaranya seolah penuh kasih, tapi ada nada lain di dalamnya—nada yang membuat Raka sedikit waspada.
Raka mengangguk, menerima cangkir itu. “Makasih, Bu.”
Beberapa detik hanya diisi dengan suara jam dinding yang berdetak pelan. Hingga akhirnya sang ibu mulai bicara.
“Raka, Ibu mau bicara sesuatu… tapi Ibu harap kamu dengarkan dulu sebelum menolak,” katanya dengan nada hati-hati.
Raka menegakkan duduknya. “Tentang apa, Bu?”
Ibu Ratna menarik napas panjang, menatap putranya dengan mata yang penuh arti. “Tentang Nona Rianty.”
Raka langsung terdiam. Ia tahu arah pembicaraan ini. Ia tahu betul bahwa setiap kali nama itu muncul, selalu berakhir dengan perdebatan.
“Bu, Raka mohon… jangan bahas itu lagi,” ucapnya pelan, namun tegas.
“Dengar dulu, Nak.” Ibu Ratna mengangkat tangannya, mencoba menenangkan. “Ibu bukan mau memaksa. Ibu cuma ingin kamu berpikir dengan kepala dingin. Perempuan itu datang ke rumah kita dengan niat baik, dan kamu tahu sendiri siapa dia.”
Raka memejamkan mata. “Tapi, Bu… Raka sudah bilang. Raka bahagia dengan Widuri. Kami nggak butuh orang lain di antara kami.”
“Ibu tahu kamu bahagia,” potong Ibu Ratna cepat. “Tapi kamu juga harus realistis, Raka. Dunia ini nggak cuma tentang bahagia hari ini, tapi juga masa depan. Ibu cuma ingin yang terbaik untuk kamu.”
Nada suara itu lembut… tapi di telinga Raka, terdengar seperti tekanan yang halus namun menusuk.
“Bu, masa depan bukan diukur dari siapa yang punya apa. Widuri udah cukup buat Raka,” jawab Raka perlahan.
Ibu Ratna tersenyum kecil—senyum yang samar, tapi menyiratkan sesuatu. “Cukup menurut kamu. Tapi kadang, perempuan yang baik pun bisa kelelahan menanggung hidup sederhana. Ibu cuma nggak mau kamu menyesal di kemudian hari.”
Raka menatap ibunya dalam diam. Ada sesuatu di balik tutur lembut itu—niat yang tersembunyi, hal yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Namun sebelum ia sempat menjawab, ada suara langkah ringan di lorong.
Widuri.
Ia baru saja keluar dari kamar, hendak mengambil segelas air. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar percakapan itu.
Tubuhnya menegang, tangan gemetar di balik tembok. Ia tak sengaja menguping… tapi setiap kata yang ia dengar terasa seperti pisau kecil yang menusuk dada.
“Jadi… Ibu mau Raka menikah lagi?” suara Raka terdengar lirih, tapi jelas.
Hening sejenak sebelum suara Ibu Ratna menjawab, pelan namun penuh tekanan.
“Kalau itu takdir yang bisa membawa hidupmu lebih baik, kenapa harus menolak?”
Napas Widuri tercekat. Matanya memanas, air mata mulai berkumpul tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulutnya, menahan isak agar tak terdengar.
Di ruang tamu, Raka hanya bisa menunduk. “Raka nggak bisa, Bu… itu bukan solusi.”
Namun Ibu Ratna tak berhenti. “Kadang cinta saja nggak cukup, Nak. Kamu pikir Ibu tega bicara begini? Tidak. Tapi Ibu sudah tua, Ibu tahu mana yang membawa hidup ke depan dan mana yang hanya membuat kamu bertahan di tempat.”
Kata-kata itu menggema di telinga Widuri—setiap suku katanya menoreh luka.
Ia melangkah mundur perlahan, berusaha kembali ke kamar tanpa suara. Tapi lantai kayu berderit halus, cukup membuat Raka menoleh.
“Widuri…” ucap Raka pelan.
Tubuh Widuri menegang di tempat. Ia menunduk, tidak berani menatap suaminya. Air matanya jatuh membasahi pipi, satu demi satu.
Raka berdiri, hendak menghampiri, tapi Widuri melangkah cepat masuk ke kamar dan menutup pintu.
Suara pintu itu—pelan tapi berat—meninggalkan luka yang tak kasat mata.
Ibu Ratna terdiam, sadar bahwa percakapan itu telah didengar. Namun alih-alih menyesal, ia hanya menarik napas panjang dan bergumam lirih,
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi…”
raka terbangun dari tidur nya dia tidak bisa terlelap karena ucapan ibu nya dia melirik Widuri yang tertidur dengan mata yang sembab sedang kan arkana yang pulas di ranjang nya
raka memutuskan keluar dari kamar itu
Raka berdiri di tengah ruang tamu, antara cinta yang ingin ia lindungi dan restu yang perlahan berubah menjadi beban.
Dan malam itu—rumah yang biasanya hangat—tiba-tiba terasa begitu dingin dan mencekam.
kini raka yang sedang berkelahi dengan pikiran nya sendiri karena binggung bagaimana kedepan nya disisi lain dia ada rasa yang tidak bisa disembunyikan tentang perasaan nya kepada Rianty
tapi cinta nya kepada widuri juga besar
arghhh raka berteriak kecil karena sangat sangat bingung
"apa yang harus aku lakukan beri aku jalan untuk kedepan nya tuhan" ucap nya lirih nyaris tak didengar
---
#tbc
apa yang akan dilakukan raka kedepan nya ya readers semoga dia tidak mengambil keputusan yang salah
jangan lupa like vote komen subscribe nya readers supaya ga ketinggalan up terbaru dari author