pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sepasang kekasih itu benar-benar menikmati masa-masa awal mereka berpacaran. Di acara rutin tahunan Hera, Baskara pun tak absen untuk datang dan turut serta pada acara yang dilaksanakan di Yayasan kanker Indonesia. Mereka selalu menghabiskan akhir pekan bersama, walau hanya sekedar bersantai di gazebo belakang rumah kediaman Adhitama.
Disela-sela kesibukannya yang semakin padat di quarter ketiga tahun ini, Baskara selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan Maharani. Entah sekedar makan siang bareng atau pulang kerja bareng. Kalau Baskara selesai lebih dulu, dia akan menjemput sang kekasih di kantornya. Menunggu gadis itu selesai dengan pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya. Menikmati malam sambil mengobrol sepanjang jalan. Membicarakan hari mereka dan berbagi cerita. Mereka berdua berusaha untuk selalu hadir dalam hubungan mereka.
Hingga kesibukan membuat mereka tak bertemu selama 3 minggu lamanya. Telponan tiap malam pun selalu diikuti rasa kantuk yang kencang. Waktu mereka bertemu benar-benar terbatas belakangan ini, membuat rasa rindu itu tidak terbendung lagi.
“Mas Baskara!” Ami terkaget melihat kekasih bosnya ada di hadapannya siang itu.
“Hai. Ara ada?”
“Ada di dalem, Mas.”
“Gak lagi ada meeting di dalem?”
“Enggak kok, Mbak Rani lagi sendiri aja. Tapi sejam lagi ada meeting. Langsung masuk aja, Mas. Mbak Rani kayaknya lagi begini,” kata Ami menunjukkan alis yang bertaut dan wajah serius.
Baskara terkekeh, “saya masuk ya, Ami.”
“Oke, Mas. Mau dibuatin minum apa?”
“Gak usah, Mi, makasih ya.”
Baskara mengetuk pintu ruang kerja dan masuk setelah mendengar suara Maharani yang mengizinkannya masuk. Dia berjalan perlahan dan melihat kekasihnya sangat serius membaca sesuatu. Membalik-balik halaman dengan alis saling bertaut dan bibirnya yang manyun. Tanda dia sedang sangat fokus dengan pekerjaannya. Baskara menikmati sesaat pemandangan itu.
*Lagi gini aja kamu gemesin banget sih*, batinnya ingin memainkan pipi mochi kekasihnya itu.
“Serius banget bacanya,” ucapnya.
Wajah Maharani terangkat dan bagai lampu yang menyala, berbinar terang. Gadis itu langsung berhambur dalam pelukan Baskara. Melingkarkan tangan di leher Baskara, dan pria tinggi itu pun tak ragu untuk mengangkat Maharani. Membiarkan kaki jenjang Maharani menggantung dalam pelukannya.
“*I miss you so bad, Baby*,” ucap Baskara, membuat Maharani yang membenamkan kepalanya di ceruk leher Baskara, tersenyum.
“Miss you, too, Kak,” Maharani mengecup leher sang kekasih dan menapakkan kakinya kembali. Dia mengecek kembali leher sang kekasih, memastikan tidak ada lipsticknya di sana. Menatap lekat mata coklat gelap dan dalam dengan alisnya yang menukik. Mata yang selalu menatapnya penuh rasa hangat dan sangat ekspresif padanya.
Maharani mengajaknya duduk di sofa dan langsung memeluk erat pinggang Baskara. Menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kekasih. Mendengar detak jantung yang entah kenapa terasa menenangkan.
“Serius banget sampe gak sadar aku masuk.”
“Iya, ada yang kirim proposal sama TOR minta aku buat jadi salah satu pembicara.”
“Tapi?”
“Tapi kayaknya aku reject lagi, Kak.”
“Jadwalnya gak cocok?”
“Bukan. You know, pembahasan soal pemuda sukses terus berbagi kisah kesuksesan mereka, kayaknya gak cocok sama aku.”
Wajah Baskara mengkerut tanda tak setuju. Menatap wajah Maharani seolah bertanya kenapa dia bisa bilang seperti itu.
“Kamu sendiri pasti udah sering denger gimana orang ngerasa gak relate orang-orang terutama anak muda yang sukses, terus mereka kasih motivasi buat sukses, dan bahkan gak sedikit yang gak suka. Karena apa? Mereka sukses, bisa bikin usaha atau duduk di jabatan tinggi karena keluarga mereka. It goes same to me, Kak. Aku punya banyak privilege buat bikin Hera. Aku gak mikirin dana, atau mikir takut gagal, atau mikir bulan ini makan apa, bayar listrik gimana, karena hidup aku tercukupi. Aku bukan mereka yang harus hidup from paycheck to paycheck atau mereka yang sandwich generation.”
“Terlepas kamu punya privilege, tapi semangat kamu buat selalu belajar dan mau tau itu yang bisa mereka pelajari. Punya privilege atau enggak, balik lagi ke orangnya, Ara.”
“Iya, aku tau. Tapi privilege juga udah satu Langkah lebih maju dan aku beneran ngerasa gak cocok. Aku rasa audience lebih butuh yang relevant dengan mereka, ya gak sih? Karena anak muda yang punya privilege dan ngisi seminar kayak gini tuh udah banyak. TOR yang mereka kirim ke aku pembahasannya lebih ke sana soalnya. Mungkin kalo pembahasan yang mereka minta ke aku lebih ke strategi bisnis, aku masih bisa. Atau aku bikin event gitu kali ya?”
“Kamu kepikiran bikin apa?” tanya Baskara memandangnya lembut.
"Aku jadi kepikiran bikin event buat bangun koneksi antara investor sama pegiat usaha. Kayaknya nanti aku mau omongin sama Kak Dona sama Kak Mira juga. Enough about me. Kamu gimana tadi meetingnya?”
“Lancar. Aku ngantuk sebenernya,” Baskara menyandarkan kepalanya di atas kepala Maharani sambil memainkan jari-jari sang kekasih yang panjang dan lembut. “Aku baru tidur 2 jam dan dari jam 6 udah di kantor buat siapin bahan kerjaan yang harus dilanjutin sama anak-anak. Bahkan Dewo aku suruh dateng jam setengah 8 tadi buat aku brief sebelum aku berangkat.”
“Yang tadi langsung deal?”
“Alhamdulillah, mereka suka dengan proposal kami. Langsung ke pembahasan tahap design dan ngebahas soal kontrak.”
“*Good for you*, Kak. Mau tidur dulu gak? Kamu nanti gak konsen kerja dan nyetir kalo ngantuk gini.”
“Aku gak bawa mobil kok. Tadi aku minta drop di sini sama Ghani abis meeting.”
“Iya tapi kamu butuh tidur, Kak. Mata kamu makin kayak panda, tau,” Maharani mengelus wajah yang terlihat lelah siang itu.
“Gini udah cukup buat aku recharge kok,” ujarnya membuat Maharani memukul dada sang kekasih dan pria itu langsung tertawa, “kok aku di pukul,” ucapnya mengelus dada yang dipukul Maharani.
“Bisaan banget ngomongnya. Kamu tidur aja di sini. Sejam dua jam. Biar entar kerja otaknya udah fresh lagi. Oke? Ya? Aku maksa. You really need it, Kak.”
“Aku bisa tidur nanti di kantor.”
“Kamu gak bakal tidur. Pasti ada aja yang langsung kamu kerjain. Nurut ih,” Maharani mencubit pinggang Baskara yang membuat pria itu mengaduh sakit.
“Iya, iya, cantik. Duh serem banget kalo maennya udah cubit-cubit gini.”
Maharani tertawa, “aku udah pasang alarm,” katanya men-setting alarm di ponsel Baskara. “Kamu tidur aja di sini ya. Aku ada meeting di ruang meeting.”
Maharani men-setting sofanya untuk Baskara tiduri. Tak lupa menutup tirai jendela sehingga ruangan lebih redup.
“*Thank you*,” ucap Baskara yang sudah merebahkan tubuhnya. Tak lupa kecupan mendarat di kening pria itu sebelum Maharani keluar dari ruangannya dengan ipad dan ponselnya.
...♥
...