"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
15 September 2014.
Hujan di bulan September terus mengguyur bumi tanpa henti, menambah suasana sendu hari itu. Setelah hampir sebulan dirawat, akhirnya Melati diizinkan pulang. Selama di rumah sakit, Riko sudah akrab dengan banyak perawat. Bahkan, sesekali ia diminta mendongeng di ruang perawatan anak, membuat namanya dikenal sebagai pendongeng ulung yang selalu ditunggu-tunggu.
Saat kabar kepulangan Riko tersebar, banyak orang—dari perawat hingga pasien anak-anak—merasa kehilangan. Mereka tak ingin melepaskannya, namun mereka tahu Riko harus kembali ke kehidupannya di luar rumah sakit. Dengan senyum dan ucapan terima kasih, Riko pamit, membawa pulang Melati.
Dengan menggunakan taksi online, Riko pulang ke kosannya. Di rekeningnya tersisa uang lebih dari dua belas juta rupiah. Ia mulai menyusun berbagai rencana untuk menyambung hidup, karena mengojek sudah tidak memungkinkan lagi. Motor lamanya rusak, dan Riko sudah tidak punya uang untuk membelinya kembali.
Terpikir untuk kredit motor, namun jika terus mengojek, Riko akan sering meninggalkan Melati sendirian. Setelah mengalami dua kali percobaan pembunuhan, trauma membuatnya takut meninggalkan Melati sendirian. Kini, Riko harus mencari cara lain agar tetap bisa menghidupi keluarganya tanpa mengorbankan keselamatan melati.
Sampai di kosan, Riko melihat bangunan itu tampak kotor dan tidak terawat. Saat hendak masuk, ia melihat tulisan di gerbang: “Tanah dan bangunan ini dalam sengketa.” Riko tertegun. Belum lama Bu Zuleha meninggal, kini kosannya sudah berstatus sengketa. Ia bertanya-tanya, siapa yang membuat perkara hingga tanah ini jadi sengketa.
“Riko!” teriak seseorang dari kejauhan.
Riko menoleh, namun sebelum sempat bereaksi, sebuah pukulan mendarat di wajahnya.
“Ayahhh!” teriak Melati sambil menangis melihat ayahnya dipukul.
“Mas, ada apa? Kenapa mukul saya?” tanya Riko kepada Anton, anak bungsu Bu Zuleha, yang kini berdiri dengan wajah marah.
“Ini semua gara-gara anakmu! Kalau ibu tidak menyelamatkan anakmu, ibu tak akan meninggal dan tanah ini tidak akan jadi sengketa!” kata Anton dengan nada penuh dendam, menyalahkan Riko atas segala masalah yang menimpa keluarganya.
Riko tertegun, hatinya memang dipenuhi rasa bersalah. Namun, semua itu di luar kendalinya. Bu Zuleha memilih menyelamatkan Melati tanpa memikirkan keselamatannya sendiri. Andai waktu bisa diulang, Riko ingin sekali menggantikan posisi Bu Zuleha.
“Ayahhhh,” suara Melati memecah kesunyian. Ia mendekat dan memeluk Riko erat.
“Ayahhhh… jangan sakiti Ayah…” isak Melati sambil menahan tangis, membuat hati Riko semakin remuk.
“Kamu anak pembawa sial! Kalau bukan karena kamu, ibuku tidak akan meninggal,” ucap Anton dengan penuh amarah.
Riko bangkit, matanya merah menyala karena marah dan sakit hati. Tanpa pikir panjang, Riko menerjang Anton dan memukulnya tiga kali berturut-turut.
“Bugh!”
“Bugh!”
“Bugh!”
Sebagai seseorang yang pernah belajar bela diri, pukulan Riko terasa berat dan tepat sasaran.
“Kau boleh memukuliku sampai aku mati, tapi jangan pernah menghina Melati,” ucap Riko dengan tatapan tajam penuh amarah, menegaskan batas kesabarannya.
Seketika nyali Anton ciut. Ia tak menyangka Riko bisa membalas dengan pukulan yang keras.
“Aku mohon maaf kepada Bu Zuleha, tapi itu adalah pilihannya sendiri. Andai nyawaku bisa membangkitkan Bu Zuleha, ambil saja,” ucap Riko tegas.
Anton berdiri dengan tatapan penuh dendam, tapi tak mampu melawan.
“Sepertinya kita harus mencari tempat baru, Nak,” ujar Riko sambil menatap kosan yang mulai terlihat kumuh dan tak terawat.
menyimpan banyak kenangan dia dengan melati
Iya, Ayah… Melati takut tinggal di sini,” ucap Melati lirih.
Riko merasa bersalah; seharusnya Melati tak perlu menyaksikan perkelahian orang dewasa.
Riko berjalan bersama Melati, sambil membawa banyak barang bawaan—kopor dan tas ransel—meninggalkan kosan yang mulai terasa tidak bersahabat lagi dengan mereka
Melati berjalan tanpa merengek minta digendong.
Riko melangkah menuju pemakaman Bu Zuleha.
Terlintas dalam benaknya kenangan-kenangan bersama Bu Zuleha, tentang kebaikan dan kasih sayang yang pernah diberikan perempuan itu selama hidupnya.
“Ayah, nenek ada di dalam, ya?” tanya Melati.
“Iya, nenek ada di dalam,” jawab Riko lembut.
“Suruh keluar, ya… aku mau menemui nenek,” ucap Melati polos.
Riko membelai rambut Melati sambil berkata, “Nanti juga kita akan masuk ke tanah. Nanti kalau sudah waktunya.”
“Oh, ya sudah. Ayo kita masuk, ya,” balas Melati polos.
“Ya, belum waktunya, dong, sayang,” jawab Riko sambil tersenyum.
Riko kemudian memimpin doa dengan khidmat, diikuti oleh Melati.
“Selamat jalan, Nek… nanti kita main, ya,” ucap Melati penuh haru.
Lalu mereka keluar dari area pemakaman, berjalan bergandengan tangan, Melati dipegang erat oleh Riko, siap menempuh hidup baru di tempat yang baru.
Belum jauh melangkah, Riko bertemu dengan Mila, anak kedua Bu Zuleha, perempuan biasa yang tidak sukses seperti anak-anak Bu Zuleha yang lain.
Riko langsung memasang sikap waspada, takut Mila akan marah seperti Anton tadi. Ia siap menghadapi situasi yang mungkin tak menyenangkan demi menjaga Melati dan dirinya sendiri.
“Riko,” ucap Mila pelan.
“Ya, Mba. Maafkan saya dan Melati, Bu,” jawab Riko segera meminta maaf.
“Tidak, Riko, kamu tidak salah. Itu memang keinginan ibu saya,” kata Mila.
“Saudara-saudaraku memang kurang ajar. Padahal mereka sendiri mendengar kalau kosan tiga petak itu jadi milikku karena aku anak yang sering berkunjung ke sana. Tapi mereka memang rakus,” lanjut Mila.
Riko tertegun mendengar pengakuan itu. Ia memilih diam, tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga orang lain.
“Sebelum ibuku meninggal, dia menitipkan ini padaku,” kata Mila sambil memberikan secarik kertas.
Tertulis “b9452PUK.”
“Ini apa?” tanya Riko.
“Aku tidak tahu, hanya disuruh menyampaikan. Sepertinya ini penting,” jawab Mila.
Riko memandang kertas itu dengan seksama. Sepertinya tulisan itu adalah nomor plat kendaraan.
“Sepertinya ini nomor kendaraan pelaku yang berniat mencelakai Melati,” gumam Riko dalam hati.
“Ok, Mba, terima kasih banyak. Sekali lagi, saya turut berduka cita,” ucap Riko dengan tulus.
“Ya, maafkan aku juga. Asal kamu tahu, salah satu wasiat ibu adalah memberikan satu petak kosan untuk kamu pakai. Selama kamu mau tinggal di situ, kamu boleh tinggal tanpa harus membayar,” kata Mila.
Riko tertegun mendengar hal itu.
“Tapi kamu tahu sendiri, aku ini orang bodoh, tidak mengerti masalah hukum, jadi aku biarkan saja,” ucap Mila dengan pasrah.
“Ok, yang sabar ya,” jawab Riko menenangkan.
Mereka pun berpisah dengan perasaan campur aduk,
,,,,
Kita intip kehidupan Laras dan Doni.
Laras akhirnya dirawat di rumah sakit swasta, menghabiskan biaya sekitar dua puluh juta rupiah.
“Maafkan aku, Sayang, kamu jadi keluar uang banyak,” ucap Laras sambil menggenggam tangan Doni.
“Tak masalah aku keluar uang sekarang. Sebentar lagi kamu akan mendapatkan warisan, jadi semua uang ini akan kembali padaku,” batin Doni.