Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beraksi
Sinar matahari pagi masuk melalui celah tirai. Di dalam kamar rawat, suara bip pelan dari alat pemantau detak jantung masih terdengar konsisten. Tapi suasana damai itu segera buyar.
“Ck,” Raka mendesis pelan, lalu dengan satu tangan mencabut selang infus di tangannya.
Cairan sisa dari ujung selang menetes ke lantai. Ia meringis sedikit, namun segera bangkit dari ranjang.
> “Raka!” suara lembut itu terdengar — Cheviolla, yang baru saja terbangun di sofa kecil sebelah ranjang.
Gadis itu segera berdiri dan mendekat, wajahnya masih menunjukkan sisa kelelahan dan kekhawatiran.
> “Hei, kamu belum boleh keluar. Dokter bilang kamu harus diobservasi setidaknya sehari lagi!”
Raka menoleh pelan, menyunggingkan senyum tipis.
> “Ayolah, ini cuma lecet-lecet. Aku baik-baik saja.”
> “Raka…” Cheviolla menghela napas berat, nada suaranya setengah menyerah.
> “Aku harus ke kampus. Aku… punya kejutan.”
Cheviolla sempat mengernyit curiga, tapi ia tahu Raka tidak akan bergeming saat sudah punya tekad. Ia mendekat, mengecek luka di lengan Raka yang sudah dibalut rapi.
> “Kejutan,? Cheviolla bertanya dengan curiga, manun tak bertanya lebih jauh.
Dalam hatinya, ia tahu: Raka sedang merencanakan sesuatu.
> “Baiklah… Tapi aku yang urus administrasi keluarnya kamu,” ujarnya, berbalik menuju meja suster.
Raka hanya tersenyum tipis, lalu mulai merapikan pakaiannya.
..
Mobil berhenti pelan di depan sebuah gedung apartemen bertingkat di pusat kota.
Raka membuka pintu dan turun.
"Hati-hati di jalan," ucapnya singkat sambil menutup pintu mobil.
Cheviolla hanya melirik ke arah Raka sejenak, lalu mengangguk pelan. Tanpa kata tambahan, ia langsung menginjak pedal gas. Mobil hitam itu perlahan melaju menjauh dari lobi apartemen.
Raka berdiri sejenak, menatap langit pagi yang cerah dengan tatapan kosong. Kemudian ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk ke dalam gedung. Ada hal penting yang harus dipersiapkannya..
..
Sebelum naik ke atas, Raka sempat mampir ke warung kecil di dekat gedung apartemennya. Ia membeli dua bungkus bubur ayam tanpa banyak bicara.
“Dua porsi, tanpa kerupuk,” katanya datar.
Penjual hanya mengangguk, sudah hafal wajah Raka yang sering muncul dengan ekspresi tanpa senyum. Tak lama kemudian, dua bungkus bubur berpindah tangan. Ia membawanya naik ke lantai delapan.
Begitu pintu apartemen tertutup, suasana sunyi langsung menyelimuti ruangan. Raka meletakkan dua bungkus bubur di meja makan, lalu membuka satu per satu, mengaduknya perlahan dengan sendok.
Tanpa bicara, ia duduk dan mulai makan.
Satu bungkus habis cepat. Tanpa jeda, ia lanjutkan bungkus kedua. Tidak ada tergesa-gesa, tapi juga tidak santai. Seolah tubuhnya hanya sedang mengisi bahan bakar untuk menghadapi sesuatu yang berat.
Setelah selesai makan, ia berdiri dan berjalan menuju kamar. Di hadapan cermin besar, Raka menatap refleksinya.
Pria tinggi berkulit bersih, tubuh kekar tersembunyi di balik kemeja tidur, dan wajah tanpa emosi. Tatapan matanya terlalu tajam—terlalu menusuk.
Dengan gerakan tenang, ia membuka laci dan mengambil kacamata bulat klasik.
Kemudian ia duduk, membuka kotak kecil berisi softlens Ia kenakan dengan hati-hati, menyamarkan warna alami matanya yang berwarna hazel yang tak biasa.
Rambutnya yang biasa dibiarkan acak-acakan kini ia sisir rapi ke samping. Kemeja lusuh dan jeans abu-abu ia kenakan, dilapisi jaket hoodie hitam tua. Sepatu kanvas butut dipakai terakhir.
Cermin kembali menampakkan dirinya.
Raka menghela napas pendek. Kini, tak ada lagi aura tajam yang menakutkan. Yang berdiri di sana hanyalah seorang mahasiswa biasa—yang tidak akan menarik perhatian siapa pun.
Namun, dalam pikirannya, semuanya sudah disusun.
Hari ini... bukan hari biasa.
Ia membuka pintu apartemen, mengambil helm, dan menuruni lift. Di tempat parkir bawah, vespa tuanya masih terparkir rapi. Ia hidupkan mesin, dan suara knalpot tua yang khas mengiringi kepergiannya menuju kampus.
Perjalanan pun dimulai.
Di basement apartemennya yang remang, suara mesin tua meraung pelan saat Raka menuruni jalan menanjak sempit menuju permukaan. Vespa biru kusam yang telah menemaninya bertahun-tahun itu seperti sudah mengerti bahwa hari ini akan berbeda.
Ia melirik arlojinya—jam canggih yang lebih dari sekadar penunjuk waktu. Wajahnya tenang, namun napasnya dalam. Dua porsi bubur pagi tadi tak ia makan karena lapar, melainkan sebagai bagian dari skenario.
> "Ini bukan cuma soal penyelamatan," gumamnya pelan. "Ini juga... soal pembalasan."
Raka memacu Vespa keluar apartemen berbelok melewati gang dan menyusuri jalanan kota yang mulai ramai. Tak lama kemudian, ia berhenti tak jauh dari gerbang Universitas Agra Mandala, memarkir motornya di tempat tersembunyi dekat taman kecil di seberang jalan.
Dari balik helm setengah wajahnya, Raka mengamati halaman depan kampus. Matanya menyipit saat menemukan target yang ia tunggu.
Tepat seperti dugaannya—Rico dan gerombolannya, mahasiswa arogan yang pernah memukulinya karena Menyukai cheviolla, tengah berkumpul di halaman. Mereka berdiri di bawah pohon besar sambil tertawa-tawa, menunggu waktu masuk kelas seperti biasa.
Raka membuka sarung tangan dan menyentuh layar jam di pergelangan tangan kirinya. Ia menggeser ikon kecil bertuliskan: SIBER-OP.03 // AKMAL: ONGOING.
> [Pesan terkirim: “5 menit. Fokus pada sisi timur. Pengalihan dimulai.”] berisiap!!
Setelah mengirim sinyal, Raka kembali mengenakan sarung tangan, menutup visor helmnya, dan menaiki Vespa dengan satu hentakan gas.
> “Waktunya main…”
BRUUMMM!!
Vespa tua itu meraung nyaring menembus halaman kampus dengan kecepatan tinggi, suaranya berderit-derit memekakkan telinga. Mahasiswa yang baru datang menepi kaget, beberapa bahkan berteriak.
Dan suara Raka pun ikut menggema:
> “WOOOYY!! REMNYA BLOOONG!! MINGGIRRR! HUAHAHAHA—!!”
Rico dan kawan-kawannya menoleh, telat sepersekian detik.
BRAAKKK!!
Benturan keras mengguncang halaman. Vespa itu menabrak meja taman hingga terjungkal, dan tubuh Raka terpental — tepat ke arah Rico. Semua terjadi begitu cepat, seperti kecelakaan nyata.
Namun detik berikutnya… terdengarlah suara paling menjijikkan pagi itu.
> "UUUEEKKHHHH!!"
Dua porsi bubur hangat yang sengaja disimpan di perut Raka tumpah ruah ke tubuh Rico—langsung di wajah, leher, dan dada jaket putih mahalnya. Bau amis, asin, dan pedas bercampur menjadi mimpi buruk.
> “ANJING KAU!!!” Rico menjerit.
“GUAA MUAAK!! LU MAU MATI YA!!”
Pukulan pertama mendarat. Lalu yang kedua. Raka dipukul, diseret dari tanah, ditendang. Ia membiarkan semuanya terjadi, hanya tertawa kecil, puas dengan keributan yang kini menyita seluruh perhatian di halaman depan kampus.
Dosen-dosen mulai berdatangan. Beberapa staf keamanan kampus buru-buru melerai. Mahasiswa berkerumun, merekam dengan ponsel. Situasi benar-benar kacau.
Sementara itu—di sisi timur kampus, tim penyelamat bergerak.
Tepat seperti rencana. Saat mata semua orang teralihkan ke halaman…
Langkah senyap dan cepat mulai menyusup ke dalam gedung tua di belakang perpustakaan—tempat yang ditandai dalam data Raka sebagai lokasi kemungkinan Akmal ditahan.