Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
"Kak Edward menangis?" Kania sedikit kaget mendengar isakan pria itu. "Tidak". Jawab Edward pelan. Kania kemudian membingkai wajah suaminya dengan kedua tangan kecilnya. Tatapan matanya menelisik pemilik manik coklat gelap itu. "Kalau tidak menangis kenapa matanya merah?"
Edward gelagapan. "Kurasa karena kelilipan atau mungkin karena tanganmu menyentuh wajahku. Ckkk kau berani sekali". Edward berpura-pura marah. Kania terkikik geli mendengar ucapan suaminya. Gadis itu melepaskan tangannya dari wajah Edward, tatapannya menerawang jauh entah sedang memikirkan apa.
"Kenapa?" Edward menyadari perubahan raut wajah istrinya.
Kania menoleh, gadis itu menimbang-nimbang apakah pertanyaan di kepalanya saat ini harus dilontarkan? Ia takut suaminya tersinggung. "Ehmmm saat mengobrol dengan ibu waktu itu, ibu pernah bilang kalau ia takut Kakak tidak akan mau menikah. Katanya mungkin saja kejadian buruk di masa lalu membuat Kakak mengubah pandangan Kakak soal menikah. Memangnya ada kejadian apa, Kak?" Tanya gadis itu hati-hati. Edward melotot kaget mendengar pertanyaan istrinya.
"Aku pernah dikhianati ketika akan menikah. Seminggu sebelum pemberkatan, mantan calon istriku memilih selingkuh. Aku kecewa berat waktu itu. Waktu itu aku pikir aku tidak akan menikah setelah kejadian buruk itu. Ibu dan Felix selalu menguatkanku, mengatakan bahwa harusnya aku bersyukur karena belum terikat secara resmi dengan perempuan murahan itu. Sejak awal, Felix bahkan sangat menentang hubunganku dengan wanita ini, tapi aku terlalu dibutakan oleh cinta, mengabaikan setiap ucapan Felix yang ternyata benar adanya. Entahlah, pria itu seperti punya indera keenam". Panjang lebar Edward Lamos menjelaskan, tanpa beban.
Kania tersentak kaget mendengar penjelasan suaminya. Pria yang selalu terlihat baik-baik saja itu nyatanya menyimpan pernah mengalami hal yang menyakitkan.
"Jangan melihatku dengan tatapan itu aku tidak suka". Protes Edward.
"Tatapan apa?" Kania mengerutkan keningnya bingung.
"Ya kau menatapku seolah-olah aku makhluk paling menyedihkan sekarang. Cih menyesal aku bercerita padamu, kau terlalu terbawa suasana". Kania mendengus kesal mendengar ucapan suaminya. Pria itu kembali menyebalkan seperti biasa. Hening, keduanya larut dalam ruang pikirannya masing-masing, terjebak dalam labirin tak berujung yang begitu menyiksa. "Kak bolehkah aku mengetahui tentang keluargamu?" Kania memilih bicara duluan.
"Tidak ada yang istimewa, sayang. Aku anak tunggal, seperti dirimu. Ibuku meninggal saat aku berusia 19 tahun. Kalau ayahku? Aku bahkan tidak tau bagaimana rupanya. Kata ibu ayah sudah lama meninggal dan ibu tidak pernah menyimpan fotonya. Entahlah aku rasa itu hubungan pernikahan yang aneh, tapi aku tidak protes pada ibu soal itu. Sejak ibu meninggal, hidupku berantakan tak tau arah. Aku mabuk, bahkan beberapa kali menjadi sasaran kemarahan preman. Aku mungkin telah lama meregang nyawa jika malam itu Ibu Elen tidak menolongku. Wanita tua yang sangat berisik itu seperti hadiah yang besar bagiku. Sejak saat itu, aku tinggal bersama Ibu dan Felix. Aku dan Felix memiliki nasib yang sama, kami tidak mengenal siapa ayah kandung kami masing-masing. Itu mungkin jadi salah satu penyebab kami bisa sedekat sekarang. Kania entahlah aku sangat bersyukur dipertemukan dengan mereka". Edward mendesah pelan. Pria itu menegukkan ludahnya kasar, tenggorokannya terasa kering setelah berbicara panjang lebar. Sekali lagi Kania tercengang mendengar kisah hidup suaminya. Setelah ia pikir-pikir, pria itu benar-butuh dikasihani.
"Apa Kak Edward tidak pernah mencari tau tentang ayah kandung Kakak?" Tanya Kania tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya . Edward meraih segelas air yang ia taruh di nakas sebelah ranjang, kemudian meneguknya pelan.
"Pernah". Jawabnya kemudian.
"Lalu apa hasilnya?" Tanya Kania cepat.
"Tidak ada keluarga bermarga Lamos di negara ini. Aku juga menyuruh anak buahku mencari informasi seputar seputar nama Lamos di beberapa negara lain dan hasilnya nihil. Informasinya sangat sulit didapat. Orang-orangku mengatakan mungkin saja data diri keluarga itu benar-benar dilindungi. Aku kehabisan cara, Kania. Sekarang, aku sudah tidak peduli lagi siapa ayahku. Aku dan Felix sepakat untuk melupakan pria-pria merepotkan itu". Kania menitikkan air matanya. Rumit sekali kehidupan suaminya. Gadis itu bahkan tengah terisak sekarang, terlalu terbawa suasana begitu menurut Edward. Semakin lama tangis gadis itu semakin menjadi-jadi. Edward sedikit kelimpungan menghadapinya, pria itu bahkan beberapa kali menggaruk tengkuknya asal, menghalau perasaan bimbang yang datang tanpa permisi. Pria itu kemudian mengambil tisu lalu membersihkan sisa-sisa air mata yang menghalau pandangan gadis itu. Pemandangan itu seperti seorang paman yang tengah menenangkan keponakannya.
"Sudahlah, aku baik-baik saja sekarang. Kenapa jadi kau yang menangis?" Edward cekikikan. Sungguh ia tak siap dengan reaksi berlebihan Kania.
"Kak Edward kalau butuh teman cerita jangan ragu untuk datang padaku, oke?" Kania terlihat serius.
Edward tergelak walaupun hatinya sedikit menghangat mendengar ucapan tulus istrinya. "Aku tidak biasa curhat pada anak kecil kau yang benar saja". Edward merapikan anak rambut yang menutupi kening istrinya.
Kania mencebikkan bibirnya kesal mendengar jawaban suaminya. Lagi-lagi ia dianggap anak kecil oleh pria dewasa itu.
"Kak ayo jalan-jalan kau sudah berjanji kan?"
"Jalan-jalan sekarang? Baiklah, sekalian kita makan malam di luar". Pria itu kemudian mengajak istrinya ke luar kamar setelah ia menguncir rambut istrinya.
Kedua pasangan itu kemudian berjalan kaki menyusuri kota yang bahkan masih sangat ramai di malam hari. Kania terlihat sangat senang, gadis itu berulangkali menyunggingkan senyum manisnya.
Edward Lamos menggenggam erat tangan istrinya dengan posesif. Pria itu seperti menjilat ludahnya sendiri, mengatakan bahwa tiga bulan adalah waktu yang terlalu singkat untuk menumbuhkan cinta di hatinya. Siapa pun yang melihatnya akan tau kalau pria itu tengah jatuh cinta. Ya jatuh cinta pada istri kecilnya, istri dadakannya.