Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Semua orang di Dojo Black Eagle mendadak terdiam ketika pintu utama terbuka. Suara langkah kaki Kia yang dulu selalu penuh energi kini terdengar tenang. Kali ini bukan dengan hoodie robek atau jaket kulit seperti biasanya tapi dengan gamis sporty, hijab warna hitam pekat yang dililit rapi dan sepatu sneakers putih. Sosoknya benar-benar bikin pangling.
Lebih mengejutkan lagi, ia datang tidak sendirian. Di sebelahnya, berdiri seorang pria tinggi berwajah teduh dengan pakaian sederhana tapi gagah, berpeci hitam, dan sorot mata tajam tapi damai. Semua langsung mengenali sosok itu Ustadz Damar.
Rico yang sedang latihan langsung menghentikan pukulannya. “Sumpah itu KIA Eveline Kazehaya ketua kita?”
“Bro dia pakai hijab?!” seru Ciko pelan matanya membelalak.
Thoriq yang duduk sambil melipat perban di pergelangan tangannya langsung berdiri. “Astaga dan itu yang di sebelahnya siapa, apakah suaminya?”
“Beneran dong yang waktu itu dia bentak Mas Ustadz depan dojo itu ternyata suaminya?” ucap Nira lirih, wajahnya bingung campur kagum.
Edo menoleh ke Azka yang dari tadi tak bersuara. “Azka, kamu tahu soal ini?”
Azka mengangguk pelan. “Aku udah duga sih, sejak pertama lihat mereka bareng waktu latihan dulu. Tapi kupikir cuma ustadznya yang ngejar Kia ternyata mereka udah nikah,” bisiknya.
Ansar menyikut pelan lengan Edo. “Fix, dojo kita bentar lagi jadi pondok pesantren,” celetuknya dengan tawa pelan.
Kia melangkah masuk sambil tersenyum tipis. Ia sadar semua mata tertuju padanya, tapi tak satu pun ia balas dengan malu atau ragu. Ia justru menoleh ke suaminya dan berkata,
“Mas, ini markas lamaku. Dulu aku yang paling barbar di sini. Sekarang ya, tinggal sedikit sisa bar-bar.” candanya Kia.
Damar tersenyum kecil, lalu menjawab santai, “Bar-bar atau nggaknya kamu, itu bukan urusan mereka. Yang penting sekarang kamu istri ustadz dan lawan sparring Mas malam ini.”
Tawa kecil pecah dari beberapa sudut. Ciko nyeletuk, “Fix, Dojo Black Eagle malam ini bakal punya sejarah baru Ustadz vs mantan petarung bar-bar.”
Dan malam itu, semua orang menyaksikan hal yang mereka nggak pernah bayangkan yaitu pertarungan seru, canda tawa, dan chemistry aneh antara dua dunia yang dulu kelihatan bertolak belakang sekarang justru saling melengkapi.
Edo yang dari tadi menahan rasa penasaran akhirnya maju selangkah ke tengah tatami. Dengan tangan disilangkan di dada, ia menatap Ustadz Damar yang sedang duduk santai di sudut dojo sambil menemani Kia mengganti pelindung siku.
“Ustadz Damar...” panggil Edo, nadanya dibuat serius tapi senyum jailnya nggak bisa disembunyikan.
Semua langsung melirik Kia sempat mendongak, lalu memicingkan mata ke arah Edo. “Eh, jangan macem-macem, Do,” katanya memperingatkan.
Tapi Edo pemuda yang paling tua dari semua anggota Black Eagle yang hanya lima belas orang itu malah semakin percaya diri.
“Tenang, Kia. Cuma sparing ringan kok. Siapa tahu aku bisa belajar teknik sabar dan adem dari Ustadz,” ujarnya setengah bercanda.
Damar mendongak pelan, lalu tersenyum. “Mau belajar sabar lewat sparing?” tanyanya santai.
“Siapa tahu habis kena sikut ustadz, aku langsung hijrah,” sahut Edo disambut tawa kecil dari Ciko dan Thoriq.
Kia berdiri setengah kesal. “Mas, serius nih mau diladeni?”
Damar hanya mengangguk pelan, lalu berdiri. “Gapapa. Kita sparing ringan. Buat senang-senang aja,” ucapnya lembut sambil melepas jubah luar dan menyisakan kaos olahraga lengan panjang warna gelap yang mencetak postur tubuhnya yang padat dan terlatih.
Azka berbisik ke Ciko, “Gue rasa Edo bakal kaget. Soalnya Ustadz itu nggak selembut tampangnya.”
“Apa kalian lupa berita viral beberapa minggu lalu ketika seorang ustadz dan putri konglomerat bertarung karena sang cewek menolak dijodohkan dengan ustadz?” Tanyanya tiba-tiba Bayu.
Semua orang menatap ke arah Bayu,” iya yah, OMG! Kenapa gue sampai lupa kalau ustadz Damar jago beladiri juga.”
“Kayaknya Edo dapat lawan tangguh malam ini,” celetuk Rico.
Pertandingan pun dimulai. Edo mengambil kuda-kuda, mencoba menggoda dengan langkah-langkah ringan khas gaya bertarung bebas. Tapi begitu Ustadz Damar mulai bergerak, seluruh dojo mendadak sunyi.
Gerakannya tenang, tapi presisi. Ia tidak menyerang duluan, hanya menahan dan mengalihkan setiap serangan Edo seolah sudah membaca arah gerakan lawan sejak awal. Dua kali pukulan Edo meleset. Sekali tangannya hampir ditarik keseimbangan.
“Wah, Masya Allah... ini ustadz apa mantan paspampres sih?” gumam Nira dengan mulut menganga.
Edo akhirnya mencoba melancarkan tendangan rendah, tapi dalam satu gerakan cepat, Ustadz Damar menangkap pergelangan kakinya, memutar tubuhnya pelan, dan menjatuhkannya ke matras dengan teknik pengalihan yang halus tapi efektif.
Duk!
Suara matras bergema. Edo langsung terduduk, napasnya ngos-ngosan.
“Udah... udah... nyerah,” katanya sambil tertawa kaku, “Ustadznya bukan tipe yang ceramah doang, ini mah jurusnya bisa bikin tobat.”
Semua tertawa terbahak-bahak mendengar kalau Edo hanya dalam waktu singkat langsung angkat tangan menyerah.
Damar hanya menatapnya dan berkata pelan, “Latihan fisik itu penting. Tapi mengendalikan diri itu lebih sulit.”
Kia menoleh sambil menyeringai, “Tuh, kan. Aku aja nggak pernah menang kalau debat, apalagi sparing.”
Edo bangkit sambil mengusap keringat. “Gue resmi pensiun dari sparing ustadz. Mulai besok, gue ngaji dulu deh tiap habis latihan.”
Dan malam itu, legenda tentang "Ustadz Black Eagle" resmi dimulai di dalam dojo mereka.
Kia berdiri di sudut dojo dengan tangan bersedekap di dada, mata beningnya menatap ke arah Ustadz Damar yang sedang tersenyum santai sambil membantu Edo berdiri.
Cahaya lampu dojo memantul pelan di wajah suaminya itu, membuat peluh yang menetes di pelipis tampak seperti cahaya bintang.
Entah sejak kapan Kia mulai tersenyum tanpa sadar. Dalam hatinya bergemuruh bukan karena suara sparing tadi, tapi karena kekaguman yang makin sulit ia redam.
“Masya Allah… ini ustadz atau hidden hero?” lirihnya dalam hati.
Dulu ia pikir Damar cuma bisa ceramah, ngaji, dan ngomong soal hijrah. Tapi kenyataannya, suaminya itu bisa masak enak, urus rumah tanpa banyak bicara, tahu cara menenangkan Kia waktu bad mood, bisa naik motor trail, jago sparing, hafal banyak hadis dan gantengnya stabil kayak saham perusahaan tambang.
“Orang tuh biasanya kalau ganteng ya minimalis skill,” gumam Kia pelan.
“Eh, ngomong apa?” tanya Nira yang berdiri di sampingnya.
“Enggak cuma mikir, suami gue kok serba bisa ya?” sahut Kia dengan ekspresi antara takjub dan geli sendiri.
Nira cekikikan. “Iya, ya. Mana low profile banget. Udah punya perusahaan sendiri pula, padahal banyak yang kira dia cuman guru ngaji keliling.”
Kia mengangguk pelan. “Perusahaannya sih belum sebesar MK Corp. Tapi caranya kelola, bener-bener berlandaskan prinsip syariah dan kejujuran. Aku malu sendiri kadang kalau bandingin gaya manajemenku.”
Nira menepuk bahunya, “Udahlah, Kia. Lo kan CEO yang punya nama. Tapi lo juga istri Ustadz Damar. Itu udah kombinasi langka di bumi. Cantik, cerdas dan dikasihi orang soleh. Lengkap.”
Kia tersenyum malu-malu. Pandangannya kembali tertuju ke Damar yang kini sedang menjelaskan sesuatu ke Thoriq tentang teknik keseimbangan tubuh dalam sparing. Cara bicaranya tenang, tidak menggurui, dan penuh respek pada lawan bicaranya.
“Aku kira menikah karena dijodohkan itu kayak neraka,” lirih Kia lagi dalam hati, “Tapi ternyata bisa jadi surga juga kalau pasanganmu itu Damar Kazmi.”
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣