"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dufan
...Happy reading...
Di kejauhan sana, gemuruh suara riuh rendah orang-orang berteriak histeris bercampur gelak tawa membahana menguar ke. Tak lama kemudian, motor Leo memasuki pekarangan parkir yang luas dan dipenuhi barisan kendaraan berbagai jenis.
"WAHHH!" Cely berseru kagum, matanya berbinar-binar menyapu pemandangan di sekelilingnya. Wajahnya berseri-seri penuh keterkejutan dan kekaguman.
Setelah memarkirkan motor, mereka berdua berjalan beriringan menuju pusat keramaian. Langkah kaki mereka menapak di atas aspal yang panas, ditemani alunan musik ceria yang menghentak. Di sepanjang jalan, berjejer stan-stan makanan dengan berbagai aroma menggoda. Asap ngebul dari panggangan sate dan jagung bakar bercampur dengan wangi manis gulali dan popcorn.
"Beli makan dulu kali yak," kata Cely.
Ia berpikir keras, perutnya terasa mulai bernyanyi. Ia menghentikan langkahnya dan berdiri di depan deretan stan makanan, matanya menjelajahi setiap menu yang terpampang.
Tak lama kemudian, Leo mendekati Cely yang sudah duduk manis di salah satu kursi panjang di tepi jalan. Di tangannya, tergenggam dua gelas plastik berisi minuman berwarna ungu mencolok dengan butiran es yang berkilauan.
"Nih!" ucap Leo sambil mengulurkan salah satu gelas jus kepada Cely.
"Eh, lo tau aja apa yang gue suka!" kata Cely.
Senyumnya mengembang lebih lebar saat menerima minuman rasa taro kesukaannya.
"Thank you, bro!" ucapnya, kemudian mengambil bungkusan kertas berisi corndog yang masih hangat.
"Nih, buat lo juga!" katanya sambil menyerahkan corndog itu kepada Leo.
"Makasih!" jawab Leo.
"Abis ini kita naik apa ya?" tanya Cely, matanya masih berbinar-binar mengagumi keramaian Dufan. Ia berputar sedikit, menoleh ke kanan dan kiri, berusaha memutuskan wahana mana yang akan mereka coba selanjutnya.
"Naik Bianglala?" tanya Cely tiba-tiba, ide itu melintas begitu saja di benaknya. Ia menunjuk ke arah Roda Raksasa yang berputar anggun di kejauhan.
"Saya takut ketinggian, Cel!" jawab Leo dengan cepat, dengan senyuman yang terukir di wajahnya.
"Oh, iya ya ... lupa!"
Cely menepuk jidatnya pelan, baru teringat ketakutan sahabatnya.
"Habisnya naik apa dong? Kora-kora? Roller coaster? Hysteria? Ah, nggak mungkin, itu jelas-jelas lebih tinggi!" Cely menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mencoret semua wahana ekstrem dari daftar pilihan. Ia terdiam sejenak, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu tanda berpikir keras.
"Kalau emang kamu mau, nggak papa kok, saya bisa temenin kamu," ucap Leo tiba-tiba.
"Ah, yang bener?" tanya Cely, tidak yakin dengan kesungguhan Leo. "Ntar nggak pingsan kan? Tapi kayaknya ga usah deh!" ucap Cely.
Ia tidak ingin kesenangan mereka berubah menjadi petaka karena ketakutan Leo. Senyumnya yang tadi ceria kini sedikit meredup, digantikan kerutan khawatir di keningnya.
"Kalo lo nunggu di sini, nggak papa?" tanyanya.
Sebenarnya Cely sangat penasaran sekali untuk menaklukkan Hysteria, menara jatuh bebas yang menjulang tinggi ke angkasa. Setiap kali melihat wahana itu dari kejauhan, desiran adrenalin langsung mengalir deras dalam tubuhnya. Namun, di sisi lain, hati kecilnya tak tega membayangkan meninggalkan Leo sendirian di bawah, menunggu dirinya selesai dengan petualangan ekstremnya.
"Gue pengen banget naik Hysteria," ucap Cely dengan suara yang pelan.
"Saya temenin kamu naik!" kata Leo tanpa ragu, dengan tekad bulat terpancar dari matanya. Ia menguatkan dirinya sendiri untuk mengalahkan ketakutan yang menggerogotinya dari dalam.
"Eh, apa-apaan?! Jangan gila!" kata Cely dengan cepat, nada bicaranya meninggi karena terkejut.
"Ntar kalo lo kenapa-kenapa gimana? Terus siapa yang mau nyetirin motor balik? Masa gue?! Bisa-bisa kita nggak pulang ke rumah, tapi pulang ke hadapan Allah!"
Cely terus merocos panjang lebar, mulutnya bergerak cepat tanpa henti. Berbagai skenario horor terus berputar di benaknya, dari yang masuk akal hingga yang benar-benar menggelikan.
Imajinasi liarnya menciptakan gambaran-gambaran tragis tentang apa yang mungkin terjadi jika Leo nekat ikut menaiki Hysteria. Kekhawatiran yang berlebihan itu memenuhi setiap kata yang keluar dari mulutnya, membuat ocehannya terdengar lucu di telinga Leo.
"Ssttt ..." Leo dengan tenang mengangkat jari telunjuknya, menutup lembut bibir Cely yang bergerak cepat bagai kereta api.
"Kita ke sini berdua, masa kamu naiknya sendirian," kata Leo dengan nada suara yang melembut, berusaha menenangkan Cely yang kepanikan.
"Kalau pun saya ikut naik, palingan efek sampingnya cuma pusing saja, habis itu balik lagi ke semula," ujar Leo dengan senyum tipis terukir di bibirnya, berusaha meyakinkan Cely bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Langkah kaki Leo terasa berat saat mendekati wahana yang menjulang angkuh di depannya. Besi-besi raksasa itu tampak mengangkasa, menantang keberanian siapa pun yang nekat menaikinya.
Suara gemuruh mesin bercampur jeritan histeris para pengunjung lain yang tengah diombang-ambingkan di atas sana, sukses membuat perutnya bergejolak tak karuan. Mual dan ngeri bercampur aduk menjadi satu. Dengan tangan sedikit gemetar, diraihnya sabuk pengaman. Gesper itu diklik erat-erat di pinggang, satu-satunya harapan yang kini bisa menahannya agar tidak terlempar ke angkasa.
Di sebelahnya, Cely menatap Leo yang berada di sebelahnya. Senyum kecil hinggap di bibirnya yang ranum.
"Lo yakin nggak apa-apa?" tanya Cely sekali lagi, memastikan tidak ada kejadian yang tidak ia inginkan.
"Nggak apa-apa!" jawab Leo.
Ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya di balik nada bicara yang dibuatnya setenang mungkin, meski sebenarnya jantungnya berdegup kencang, membentur-bentur dinding dadanya hingga sesak. Bayangan wahana itu berputar cepat, melambung tinggi ke udara, terus menghantuinya. Rasanya, sebentar lagi nyawanya akan melayang entah kemana.
"Yaudah kalo gitu, pegangan tangan gue aja," perintah Cely, seraya mengulurkan tangannya ke arah Leo. Tanpa ragu, Leo meraih uluran tangan Cely, menggenggamnya erat seolah genggaman itu adalah satu-satunya jangkar yang bisa menyelamatkannya.
Melihat Leo menggenggam tangannya, Cely tersenyum miring. Ada rasa bangga dan sedikit kemenangan menjalar di hatinya karena akhirnya berhasil menggenggam tangan Leo.
Tepat saat hitungan mundur berakhir, wahana itu melonjak dengan dahsyat. Dalam hitungan detik, mereka sudah terangkat tinggi ke atas, meninggalkan bumi di bawah sana.
Teriakan histeris pecah dari segala penjuru. Pengunjung lain di sekeliling mereka berteriak seperti lepas kendali, suara mereka bergema membelah langit biru. Di tengah kebisingan itu, Leo merasa seluruh tulangnya meleleh. Kakinya gemetar hebat, lemas tak terkira, genggaman tangannya pada Cely semakin erat.
Begitu wahana berhenti dan kembali menapak bumi, Leo merasa lututnya benar-benar lemas. Ia turun dari kursi dengan langkah sempoyongan, seperti orang yang baru saja selamat dari bencana besar. Wajahnya pucat pasi, seputih tembok, benar-benar seperti orang yang kehilangan seluruh darahnya. Dengan terhuyung, ia mendudukkan diri di atas dinginnya lantai semen, mencoba mencari pijakan pada kerasnya bumi.
Cely turun dengan riang, wajahnya berseri-seri penuh kegembiraan. Ia menatap Leo yang terduduk lemas.
"Gimana? Seru nggak?" tanyanya.
"Udah ... udah cukup!" jawab Leo dengan suara lirih, napasnya masih terengah-engah. "Saya nggak mau naik lagi ... cukup sekali ini saja."
Mendengar itu, Cely justru tertawa kecil. "Loh, jangan gitu dong! Habis ini kita naik roller coaster loh! Itu pasti lebih seru!" katanya antusias, matanya berbinar membayangkan sensasi yang lebih dahsyat.
Mata Leo langsung terbelalak mendengar kalimat itu. "Eh ... anu ..." Ia berusaha mencari alasan untuk menghindar. "Gimana kalau ... kalau habis ini kita lihat-lihat barang yang bagus aja? Atau nggak ... kita cari makanan? Saya lapar nih tiba-tiba," ujarnya, mencoba mengalihkan perhatian Cely dengan harapan gadis itu akan melupakan ide gila tentang roller coaster.
Namun, Cely menggeleng cepat.
"Nggak pengen! Gue maunya naik roller coaster!" jawabnya tegas, tanpa sedikit pun menunjukkan simpati pada kondisi Leo yang mengenaskan.
Leo hanya bisa menunduk lesu. Ia menghela napas panjang, berusaha menetralkan jantungnya yang masih berdebar kencang dan menenangkan perasaan mual yang masih menggerogoti perutnya. Sepertinya, hari ini ia harus pasrah mengikuti keinginan gadis di sebelahnya, meskipun nyawa terasa di ujung tanduk.
"Yaudah, kalau gitu lo tunggu aja di mana gitu kek!" suruh Cely, tangannya menarik Leo untuk bangkit.
"Biar gue naik sendirian aja. Kasian juga gue lihat muka lo ... kaya mumi baru keluar dari kuburan tau nggak?!" Ia menambahkan.
"Nggak apa-apa kan, saya nggak nemenin?" Leo bertanya lagi.
"Ya nggak apa-apa lah! Daripada lo pingsan! Udah sana, cari kursi di mana gitu kek, biar lo nggak makin pucet!" Cely mendorong bahu Leo dengan lembut. "Yaudah, gue duluan ya ... Bye bye!"
Cely melenggang pergi, langkahnya ringan dan penuh semangat menuju loket roller coaster.
Leo mengangguk kecil, kemudian bangkit dengan gerakan perlahan. Kakinya terasa sedikit lebih kuat sekarang, meskipun jejak-jejak ketakutan masih terasa. Dengan langkah pelan, Leo mulai menyusuri keramaian taman hiburan.
Matanya mencari tempat yang tenang, tempat di mana ia bisa duduk sendiri, menenangkan detak jantung yang masih belum kembali normal, dan mungkin ... sekadar merenungkan pengalaman di ambang kematian yang baru saja ia alami.
...___________...