Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah
"Natasha enggak rampas apapun dari hidup Lo. Dia murni sekolah, tentang perasaan Sangga berpindah ke lain hati, itu kemauannya sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Kami tau, kasih sayang Lo kepada Sangga seluas taman asteena tetapi untuk memiliki hidupnya, itu egois," desis Alleta.
"Gue menyayangi Sangga! Ada apa dengan pikiran Lo, Alleta? Dulu, sebelum ada Natasha, Lo dukung kehendak gue, begitu Natasha muncul Lo khianati gue! Kenapa Lo ikutan dukung hubungan mereka? Kenapa kaki Lo mundur jauhi gue? Kenapa mesti Natasha yang dapatin Sangga? Kenapa satu kelas membenci gue? Apa salah gue?!" teriak Adara.
"Lo enggak salah, tapi hubungan Lo dan Sangga enggak bisa dibenarkan! Sadar Adara, Lo, itu, adiknya dia! Lo enggak boleh menyukai Sangga melebihi ala kadarnya, perasaan yang Lo anggap sayang bukan nyata perduli, pemahaman Lo keliru, Lo udah kejebak sama perasaan Lo sendiri!" raung Alleta berusaha menyadarkan.
"Lo mengejek gue sakit jiwa!"
"Gue enggak ejek Lo sakit. Gue bicara apa adanya, menyukai abang sendiri tentunya berbahaya! Sebelum perasaan Lo jatuh lebih dalam, lebih baik introspeksi diri dan lupain Sangga. Gue berani kasih nasehat karena Lo teman gue! Gue peduli sama Lo, gue enggak mau Lo terjerumus ke jurang kesalahan!" seru Alleta menggebu-gebu.
"Gara-gara kejahatan Lo mengurung Natasha dan Sangga di kamar mandi, akibatnya mereka pacaran! Lo harusnya nyadar diri, akui kesalahan Lo terus minta maaf ke mereka berdua. Hasutan Lo pada orang lain bikin Natasha dicaci warga asrama! Natasha rela menanggung keburukan atas omongan Lo, saat semua orang mengucilkannya, Natasha tetap tegar menghadapi cobaan, orang yang Lo tuduh merebut pacar orang sekarang beneran jalin hubungan sama orang yang Lo sayang!" lanjut Alleta memojokkan.
"Diam!" jerit Adara menutup telinga dengan telapak tangan.
"Lo sengaja laporin Natasha dan Sangga ke guru BK biar Natasha di keluarin dari asrama? Dengan begitu, Lo berasumsi semua saingan Lo kalah, dan Lo bisa miliki Sangga seutuhnya, benar-benar licik!" hardik Alleta.
"Gue emang pelaku penjebakan dia namun bukan berarti gue sudi mengadukannya, buat apa gue laporin kejadian itu kalau pada akhirnya menyakiti perasaan gue!" histeris Adara.
...
Cerita Alleta saat mengintimidasi Adara di ruang musik seketika mengheningkan suasana kelas.
Gibran melempar atensi ke beberapa kursi kosong di sekitarnya, hari ini, Adara, Natasha serta Sangga mendadak tidak masuk sekolah.
"Bisa kompak begini pada ke mana?" celetuk Dimas.
Kevin termenung bingung merangkai puzzle di kepalanya mengenai permasalahan ini. "Natasha juga enggak tau siapa orangnya, kalau Adara bukan pelaku pelaporan, lalu siapa?" gumamnya.
"Selaku orang tua, Bu Liza mungkin tau pelaku penjebakan Sangga dan Natasha tempo lalu, gue ada ide gimana habis pulang sekolah, kita bertamu ke rumah beliau? Kita gali informasi buat usut masalah," saran Gibran.
"Ide bagus," manggut Kevin.
"Sekalian kita jenguk lihat kondisi Adara," tambah Alleta.
"Acungkan jari bagi yang mau ikut," kata Kevin.
Gibran, Kevin dan Alleta mengangguk maklum begitu yang ikut serta dalam pemecahan masalah hanya mereka bertiga.
"Lo enggak ikut, Dim?" tanya Gibran.
"Gue sibuk," cengir Dimas.
*
"Dobrak Gib!" cetus Kevin.
Alleta menyenggol badan cowok seenaknya asal memberi masukan. "Bedain kenyataan, ini pintu rumahnya Bu Liza bukan pintu toilet waktu lalu di dobrak Gibran."
"Kasus tengah kita tangani serius, jangan di rendam lama-lama, kita ambil jalan pintasnya aja biar cepat mengintrogasi," geram Kevin.
"Dari tadi kerjaan Lo ngegas terus, harap kondisikan emosi Lo," tegur Gibran.
"Lagian pergerakan Lo terbatas amat, masalah ketuk pintu ragu-ragu, awas, gantian posisi!" ujar Kevin.
Mencegah Kevin berulah, Gibran mengetuk daun pintu di depannya, tidak berselang lama, pemilik kediaman membukanya.
"Selamat siang, Bu," sapa Gibran.
"Kalian," gumam Bu Liza.
Gibran menoleh kepada Alleta dan Kevin, meminta bantuan bicara.
"Anu, Bu, kita mau ketemu Adara, penasaran kenapa hari ini enggak masuk kelas tanpa surat keterangan. Apa, Adara nya ada?" alasan Alleta.
"Kalian mencari Adara? Mari, biar saya tunjukkan sesuatu." Bu Liza mengajak murid didiknya masuk.
Kesan pertama menginjakkan kaki ke dalam rumah wali kelasnya adalah sepi dan dingin seolah di kediaman ini tak berpenghuni.
"Silakan duduk, saya ke dapur sebentar ambil minuman untuk kalian."
Bu Liza pergi ke dapur meninggalkan murid-muridnya di ruang tamu.
Alleta menghembus nafas dengan lega, sejauh ini dapat mengendalikan lidah tak bertulang nya tidak meleset ngomong, sedangkan Gibran dan Kevin saling berbisik mendiskusikan langkah berikutnya.
"Tanyain Adara dulu, udah itu to the point' ke kasus ini," arahan Gibran.
"Oke."
Wanita berprofesi sebagai guru kembali dengan membawa nampan terdapat tiga gelas orange jus. Bu Liza menaruh nampan di atas meja rendah dan menyuruh anak-anak didiknya minum.
"Terimakasih, Bu," ucap Gibran meraih gelas berkaki panjang, ikutan minum seperti Alleta dan Kevin lakukan.
"Untuk bertemu Adara, kalian harus berusaha cukup extra," lirih Bu Liza.
"Adara baik-baik aja, kan, Bu?" tanya Alleta.
Bu Liza menggeleng samar dengan tatapan kosong. Alleta menyenggol Kevin, lalu senggolan bersambung ke lengan Gibran. Mereka bingung melihat ekspresi melamun Bu Liza.
"Ibu enggak apa-apa?" tanya Alleta hati-hati.
Bu Liza menggeleng, mengambil dua amplop putih di atas nakas dan meletakkannya di meja.
"Bukalah, kalian pasti terkejut membaca isi suratnya," kata Bu Liza.
Kevin mengambil dua amplop sekaligus, membuka satu per satu dan membaca barengan dengan Gibran serta Alleta.
Amplop pertama menerangkan kondisi psikologis Adara. Amplop kedua menjelaskan pengunduran diri dari sekolah atas nama Sangga dan Natasha.
Kevin, Gibran, dan Alleta tercengang, Tidak menyangka pernyataan di kedua surat tersebut menjawab serentetan tanda tanya di benak masing-masing.
"Kapan Sangga dan Natasha pergi?" tanya Kevin, menekan sesak di dada. Fakta menyakitkan bahwa perempuan disukainya akhir-akhir ini terbukti menyimpan hubungan spesial dengan cowok si paling 'Unggul'.
"Kemarin, dini hari. Saya mendapatkan surat pengunduran langsung dari tangan kepala asrama. Saya tidak bisa berbuat apa-apa ketika kepala asrama mencoret nama Sangga dan Natasha dari daftar nama para peserta. Beliau menerima keputusan mereka berdua yang mengakhiri pendidikan," jawab Bu Liza, sendu.
"Alasannya membingungkan di sini mereka enggak mencantumkan alasan di balik pengunduran diri, mengapa kepala asrama menyetujui begitu aja?" protes Kevin merasa tak rasional.
"Mereka berdua sudah menikah. Kepala asrama mengetahui hal itu karena beliau pemberi hukuman atas kesalahan Sangga dan Natasha. Kalian ingat kejadian kala itu, Natasha dan Sangga tertangkap basah berduaan di kamar mandi. Itu mengapa, Sangga tidak menjelaskan detail keputusannya meninggalkan asrama bersama Natasha, alasannya karena kepala sekolah sudah mengizinkannya pergi," terang Bu Liza mengungkap penuh kerelaan hubungan gelap putranya dengan siswi baru.
Keterkejutan Gibran berlipat ganda.
Alleta terpekik.
Kevin berteriak.
Ketiganya shock!
Selama ini Sangga dan Natasha diam-diam merahasiakan perkara nikah!
"Gimana kondisi Adara?" suara Gibran bergetar tipis.
"Kepergian Sangga meninggalkan rumah diketahui Lathesia setelah baca surat itu. Dia terpuruk, mengisolasi diam di kamar. Jangankan makan, minum pun tak lagi mengisi perutnya, Adara sangat menghukum kesehatannya sendiri," tercekat Bu Liza.
"Ya ampun, Adara! Bu, boleh saya coba mengetuk pintu kamarnya? Siapa tau, Adara keluar," cemas Alleta.
"Saya akan berterimakasih jika kamu berhasil membujuk Adara mau membuka pintu," isak Bu Liza.
Gibran mencari kamar Adara dan mengetuk brutal pintu berwarna biru bergantung papan nama Princess.
Alleta lari menyusul memanggil-manggil nama Adara berharap gadis sengaja mengurung diri, membuka pintu.
Terganggu suara berisik dua temannya sedang berjuang menemui Adara.
Kevin meraup kasar wajah kusutnya, 'Selanjutnya apa?' kalut.
"Ibu tau ke mana perginya Sangga membawa Natasha?" tembak Kevin.
"Sangga tidak bilang pergi ke mana. Tapi, kamu bisa coba menelponnya." Bu Liza mengambil pena dan buku, mencatat dua belas digit angka nomor putranya.
Alis Kevin menekuk bengkok menatap buku di sodorkan Bu Liza. "Kenapa enggak Ibu aja menghubungi Sangga?" bingung.
Bu Liza tersenyum getir. "Puluhan kali Saya menghubunginya, tapi tak jua diangkat."
Miris.
Emosi Kevin bergolak di ubun-ubun, si misterius Sangga bersikap kelewatan tega mengabaikan kecemasan ibunya.
Kevin mengeluarkan ponsel dari kantung celana abunya, mengetik nomor Sangga dan coba memanggil. Berdering, namun tak dijawab.
"Tersambung?" tanya Bu Liza.
"Nihil Bu," geleng Kevin.
"Coba telpon sama dua temanmu," usul Bu Liza.
"Gimana bisa Bu. Kami semua enggak ada simpan nomornya Sangga, anak Ibu terlalu seleb, coba dari dulu udah saling save nomor, sejak awal saya inisiatif telpon ratusan kali."
Sedangkan,
Terbayang wajah sendu Natasha. Gibran berhenti menggedor daun pintu.
"Ini salah," lirih Gibran mundur perlahan.
Alleta menoleh.
Gibran menggeleng, berlari menjauh membawa perasaan tak menentu.
Tidak mengerti, Alleta tetap mengejar, namun terkesiap dikagetkan oleh seruan tinggi Kevin yang memanggilnya.
"Ada apa dengan Gibran? Kenapa tuh, anak, ngeloyor pergi?"
"Gue juga enggak tau," geleng Alleta, lantas menyambung lari.
"Ada yang enggak beres. Bu, kami pamit dulu!" Kevin lari menyusul teman-temannya meninggalkan kediaman.
Di tengah jalan asrama, Alleta meraih lengan Gibran dan membalik paksa tubuh lawan bicaranya yang berhasil membuatnya bingung.
"Lo kenapa main pergi? Kita belum tau kondisi Lathesia gimana!" sentak Alleta.
"Mengkhawatirkan orang egois seperti Adara enggak ada gunanya, Lo ingat, berkat Adara menjebak Sangga dan Natasha, mereka berdua jadi nikah. Adara melakukan itu dengan perencanaan disengaja untuk apa kita memperdulikannya? Dia terluka karena ulahnya sendiri, andai Adara enggak melakukan hal bodoh semacam itu, perasaan sakit hati enggak akan dia dapat!" ketus Gibran.
"Ini alasan Lo memilih pergi karena Natasha korban penjebakan Adara. Lo belum bisa memaafkan kesalahan Adara? Jawab gue, Lo suka sama Natasha?" todong Alleta menangkap kemarahan terpancar jelas dari tingkah laku orang sedang diam-diam diperhatikannya.
"Iya. Gue sadar menyukai Natasha!"
Deg!
Menyimak pengakuan Gibran menaruh perasaan langka terhadap Natasha, Kevin menelan ludah.