Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Dapur kecil di sudut rumah besar keluarga Atmadja malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu redup berpendar, hanya menyinari sebagian wajah Syifa yang pucat.
Tangannya gemetar memegang cangkir teh yang tak sempat ia minum sejak sore. Perasaannya kacau. Hati dan pikirannya terombang-ambing antara bahagia, takut, dan rasa bersalah.
Erna, sepupunya yang juga bekerja sebagai pelayan di rumah itu, duduk di hadapannya. Matanya menyipit penuh tanya.
“Jadi... kamu yakin, Sa? Positif?”
Syifa mengangguk pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.
>“Tiga kali aku periksa. Semuanya sama... Aku hamil, Er.”
Erna membekap mulutnya dengan tangan. Matanya membesar, antara terkejut dan takut.
“Syifa... ini... ini anaknya Tuan Muda Jordan, kan?” bisiknya, hati-hati sekali, seakan nama itu adalah rahasia Tuhan.
Syifa tak menjawab. Hanya air mata yang menjatuh di pipinya. Namun keheningannya sudah menjelaskan segalanya.
“Ya Allah, Fa... ini bisa jadi malapetaka kalau Nyonya Laura tahu,” Erna berkata pelan, lalu meraih tangan Syifa. “Tapi kenapa tidak kau bilang ke Tuan Muda?”
Syifa menggeleng. Dengan air mata yang mengalir semakin deras, ia akhirnya bicara.
“Aku takut, Erna. Takut dia... suruh aku gugurkan. Jordan bukan lelaki yang bisa dengan mudah menerima sesuatu yang tak sesuai rencananya. Apalagi... ini.”
Syifa menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah segalanya.
“Aku cuma pelayan, Er. Bahkan statusku sebagai istri sirinya pun tak pernah disebutkan siapa-siapa. Di mata orang, aku ini tak lebih dari bayang-bayang. Kalau ini sampai ketahuan apalagi oleh Nyonya Laura aku bisa diusir. Atau lebih buruk... anak ini bisa lenyap sebelum lahir.”
Erna menggenggam tangan Syifa lebih erat.
“Syifa, dengar aku. Aku akan bantu. Aku akan jaga rahasia ini seperti nyawaku sendiri. Kau nggak sendirian, ya?”
Syifa mengatupkan bibirnya, lalu memeluk Erna erat-erat. Tangisnya pecah, namun pelukan itu sedikit meredakan badai di dadanya.
“Aku juga nggak mau Casandra tahu. Aku... aku bukan siapa-siapa dibanding dia. Istri sah. Tapi... dia bahkan tak pernah disentuh oleh suaminya sendiri. Jordan... dia... dia malah memeluk aku, bukan Casandra. Sakit rasanya melihat mata Casandra yang tulus itu... yang menanti cinta dari seseorang yang justru diam-diam tidur di ranjang pelayannya.”
Erna menunduk. Ia pun tahu betapa rumit dan gelap hubungan yang terjadi di balik kemewahan rumah besar itu.
“Tapi satu hal yang kau harus pegang, Syifa,” kata Erna pelan. “Kandunganmu ini bukan aib. Ini anugerah. Kalau orang-orang tak bisa melihatnya sebagai berkah, bukan berarti kau harus membuangnya. Kita akan simpan ini baik-baik. Sampai kau siap. Sampai waktunya tiba...”
Syifa menggigit bibir, menahan isak yang hampir pecah kembali.
“Terima kasih, Erna. Aku... aku hanya ingin melindungi anak ini. Meski aku harus bersembunyi dari seluruh dunia…”
“Dan aku akan bantu kau sembunyi,” jawab Erna dengan mantap. “Seperti bayangan yang tak pernah lepas dari tubuhmu.”
Ruang rapat utama PT Arshaka Group sore itu dipenuhi ketegangan. Dinding kaca berbingkai hitam memantulkan cahaya matahari yang mulai condong ke barat. Di ujung meja panjang, Jordan Arshaka, mengenakan setelan abu-abu gelap, duduk tegak dengan ekspresi dingin namun karismatik. Matanya menyapu setiap anggota dewan direksi yang duduk berbaris. Di sebelahnya, Jayden dan Jonathan, dua adik lelakinya yang lebih muda dan berjiwa lebih berapi-api, tampak bersiap dengan dokumen presentasi.
“Kerja sama dengan perusahaan Qatar ini bukan sekadar proyek, tapi ekspansi strategis jangka panjang. Mereka butuh integritas dan kontrol penuh dari pihak kita,” ujar Jordan dengan suara datar tapi dalam, penuh tekanan dan otoritas.
Salah satu direktur senior, Pak Adi, mengangkat tangan. “Tuan Jordan, kami tak mempermasalahkan ekspansi. Tapi kami ingin memperjelas… kenapa kontrol penuh tetap di tangan pusat? Bukankah perusahaan mitra menawarkan sistem bagi hasil yang adil, bahkan bersedia memberi teknologi mereka?”
Jayden menyela cepat, nada suaranya naik satu oktaf.
“Karena kita bukan perusahaan ecek-ecek yang harus bertekuk lutut demi teknologi! Kita punya modal, kita punya nama. Qatar butuh kita seperti kita butuh mereka!”
Jonathan mengangguk setuju. “Kalau kita beri celah sekarang, selamanya kita jadi mitra junior. Visi kak Jordan adalah kemandirian, bukan ketergantungan.”
Beberapa dewan menggeleng, bisik-bisik mulai terdengar.
“Kalau semua keputusan mutlak dari keluarga pemilik, lalu apa gunanya kita duduk di sini?” cetus salah satu dewan lain, lirih tapi cukup terdengar.
Jordan mengangkat tangan. Suasana langsung senyap.
“Cukup.”
Ia menatap satu per satu. “Saya tidak mengajak rapat untuk mendengar keluhan personal. Ini rapat strategi. Keputusan akhir tetap pada jajaran eksekutif. Dan sampai hari ini, saya masih CEO-nya.”
Semua terdiam. Aura dingin Jordan membuat ruangan itu terasa sempit.
Tapi di balik kaca jendela, di luar ruangan rapat yang megah itu... ada rahasia yang jauh lebih besar daripada proyek Qatar.
---
Di paviliun kecil belakang rumah utama Arshaka, Syifa duduk di atas sajadah, memegangi perutnya yang masih datar. Matanya menatap kosong ke arah jendela. Erna berdiri di sampingnya, baru saja mengunci pintu kamar dengan hati-hati.
“Rapatnya belum selesai,” gumam Erna pelan. “Berita ini belum bisa kau sampaikan sekarang. Dia lagi sibuk berperang di meja direksi.”
Syifa mengangguk lemah. Jemarinya membelai pelan kain bajunya, tempat sang janin tumbuh dalam diam.
“Kapan waktu yang tepat, Erna?” tanyanya lirih. “Kalau terus begini, nanti malah Jordan tahu dari orang lain… atau lebih buruk... dia merasa dikhianati.”
Erna duduk di sampingnya. Mengusap punggung Syifa dengan lembut.
“Kalau kau bilang sekarang, Syifa… bisa-bisa dia minta gugurkan. Kau tahu sendiri betapa keras hatinya kalau merasa dikejutkan. Biarkan dulu dia selesaikan urusan besar itu. Anakmu… anak ini, adalah urusan yang lebih besar lagi. Tapi kita harus cerdas menyampaikannya.”
Syifa memejamkan mata. Air mata mengalir tanpa suara.
“Aku cuma ingin... anak ini diinginkan. Bukan jadi aib. Bukan jadi rahasia.”
Sementara di ruang rapat, Jordan menutup laptopnya. Rapat berakhir. Tapi pikirannya masih bergelayut. Bukan hanya soal Qatar, tapi juga Syifa.
Entah mengapa, sejak semalam ia merasa Syifa berbeda. Lebih banyak diam. Matanya menyimpan sesuatu. Tapi Jordan terlalu sibuk untuk menyelami isyarat itu.
Dan ia belum tahu bahwa ketika malam turun nanti, satu kenyataan akan menguji batas logika dan emosinya sebagai suami dan sebagai laki-laki yang selama ini mengira dirinya bisa mengatur segalanya.
Berselang beberapa hari kemudian…
Sudah dua minggu berlalu, sejak garis merah di alat uji kehamilan itu mengubah hidup Syifa. Tapi bukan hanya tubuhnya yang berubah jiwanya ikut berkecamuk setiap malam.
Ia bekerja seperti biasa, menyajikan teh, membersihkan kamar Jordan, dan merapikan segala sesuatu dengan ketelitian yang nyaris berlebihan. Tapi hatinya terus waspada, seakan dinding rumah itu bisa bicara kapan saja, membocorkan rahasia yang ia simpan rapat-rapat bersama Erna.
Namun malam ini berbeda, Jordan tengah berada di pesawat menuju New York, untuk urusan bisnis penting bersama mitra dari Amerika. Dan Syifa, yang selama dua minggu menahan rasa takut dan rasa bersalah, akhirnya membuat keputusan besar.
Kamar pelayan yang sunyi, pukul 01.45 dini hari.
Syifa duduk di tepi ranjang kecilnya. Sebuah tas kain usang sudah terisi beberapa helai pakaian, beberapa lembar uang tabungan, dan dokumen penting yang ia sembunyikan di balik lemari baju.
Erna tertidur di kamar sebelah, kelelahan setelah shift malam yang panjang. Syifa menatap pintu kamar sepupunya itu dengan sorot sendu.
“Maafkan aku, Er... Kalau aku tetap di sini, kau yang akan jadi korban. Kalau rahasia ini terbongkar, bukan cuma aku yang hancur. Kau juga. Kau bisa dipecat. Kau punya ibu yang kau kirimkan uang tiap bulan. Aku... tak bisa menyeretmu dalam badai ini.”
Tangannya bergetar saat meraih syal tipis yang biasa ia pakai untuk menutupi hijabnya. Ia lilitkan di leher, menutupi sedikit wajahnya. Perutnya yang mulai terasa lebih hangat disentuhnya lembut.
“Nak... Ibumu bukan pengecut. Tapi aku sedang melindungimu... dari dunia yang belum siap menerima kehadiranmu.”
Langkahnya ringan namun hati-hati. Ia menyusuri lorong-lorong gelap rumah besar itu, menahan napas di setiap suara langkah yang mencicit di lantai kayu.
Saat melewati kamar Casandra, ia berhenti. Hatinya terasa diremas. Ada suara isak pelan dari balik pintu itu seperti biasa, Casandra menangis dalam diam. Istri sah yang tak pernah disentuh, tak pernah disentuh suaminya yang justru memberi cinta pada seorang pelayan biasa.
“Aku tak lebih baik darimu, Nona...” bisik Syifa lirih, lalu berjalan lagi, menahan air mata.
Sampai akhirnya ia sampai di pintu samping, yang biasa digunakan untuk akses keluar masuk staf malam hari. Ia membuka kunci yang sudah ia curi duplikatnya dari gudang seminggu lalu.
Udara malam menyambutnya dengan dingin dan kebebasan semu.
Langkah pertama keluar dari rumah itu terasa seperti melompat dari tebing yang tinggi. Tapi Syifa tak menoleh lagi. Ia memilih pergi bukan karena lemah, tapi karena ia mencintai terlalu banyak orang dalam diamnya, anaknya, Jordan, Casandra, dan Erna.
Di kamar sebelah, Erna terbangun.
Telinganya yang sensitif menangkap suara pintu kecil yang tertutup perlahan.
Ia bangkit, memanggil dengan pelan,”Syifa…?”
Tapi yang ia temukan hanya kasur kosong, jendela sedikit terbuka, dan selimut yang sudah dingin.
Matanya membulat. Tangannya menutup mulut, dan napasnya tercekat. “Ya Allah… dia pergi… dia benar-benar pergi…”
Jangan mau jadi mesin ATM nya....
semoga kamu berjodoh dengan suami Mu....