Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Aku Ingin Bertemu Tapi Tak Bisa
Langit sore di tiga kota berbeda tampak sama-sama cerah, namun hati keempat sahabat itu menyimpan rasa yang tak sama. Hidup baru telah dimulai, mimpi-mimpi telah dilepaskan dari angan menjadi langkah nyata. Namun kota-kota ini… belum seperti rumah.
Achazia duduk di balkon asramanya di Lunaria Beauty Institute, memandangi langit oranye yang perlahan memudar menjadi biru keunguan. Angin sore menerbangkan helaian rambutnya yang terurai. Matanya menatap kosong, walau ponsel di tangannya menyala dengan notifikasi grup chat “Masa SMA Paling Chaos 🌀”.
Kaivan:
“Oke, aku beneran butuh kabur dari kampus ini bentar. Kepala ku udah kayak bejana reaksi kimia.”
Brianna:
“Kaivan lebay. Tapi aku setuju. Aku juga udah suntuk sama laporan magang. Guys, kapan nih kita ketemu?”
Achazia tersenyum kecil membaca chat itu. Ada rasa hangat, tapi juga ada perih yang tak bisa disangkal.
Achazia:
“Gimana kalau akhir pekan ini kita ketemuan? Aku kangen banget. Beneran kangen.”
Balasan langsung bermunculan.
Kaivan:
“SETUJU! Aku gak peduli mau ketemu di warteg kek, asal ngumpul.”
Brianna:
“Aku udah lama gak ketawa lepas bareng kalian. Yuk, fix in tempat!”
Tapi, yang paling dinanti belum membalas.
Achazia menunggu. Layar ponselnya dipandangi, berharap ada nama Elvareon muncul dengan balasan yang sama semangatnya. Tapi justru yang muncul adalah notifikasi private message.
Elvareon (private chat):
“Zia, aku gak bisa ikut ketemuan.”
Achazia membacanya pelan, dan detak jantungnya ikut melambat.
Achazia:
“Kenapa, El? Kamu sibuk?”
Elvareon:
“Aku ada shift IGD, Zia. Full weekend. Dan… aku gak bisa pulang sebelum lulus.”
Achazia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang mulai menyergap. Ia sudah tahu, beasiswa Elvareon memang ketat. Tiket pulang hanya diberikan di awal masuk dan setelah kelulusan. Tak ada perjalanan bolak-balik, apalagi dengan jadwal kuliah dan jaga yang padat.
Achazia:
“Gak bisa cuti sebentar? Atau… aku ke sana aja?”
Balasan Elvareon tidak datang seketika. Tapi saat akhirnya muncul, hati Achazia makin sesak.
Elvareon:
“Zia, jangan. Aku gak mau kamu repot datang cuma buat lihat aku yang sibuk jaga pasien. Lagipula, jadwalku chaos banget. Aku bahkan susah atur waktu buat istirahat.”
Mata Achazia berkaca-kaca. Rindu itu semakin mengganggu, tapi ia tidak mau memaksa.
Achazia:
“Baiklah, El. Aku ngerti.”
Tapi dalam hati, ia tahu, dirinya tidak benar-benar mengerti. Bagaimana mungkin rasa rindu ini diukur dengan pemahaman logika? Hatinya tidak butuh pengertian. Hatinya butuh pelukan.
Rencana yang Gagal
Di grup chat, Brianna dan Kaivan masih antusias membahas ide pertemuan.
Kaivan:
“Jadi gimana, Zia? El?”
Achazia mengetik perlahan, mencoba menjaga nada cerianya.
Achazia:
“Elvareon gak bisa join. Dia full shift IGD, guys.”
Ada jeda beberapa menit. Lalu muncul balasan dari Kaivan.
Kaivan:
“Astagaaa. Dunia kedokteran memang keras, bro.”
Brianna:
“Aku jadi males kalo El gak ada. Nanti malah kita cerita-cerita, dia cuma bisa baca doang.”
Kaivan mengirim stiker orang menangis lebay.
Kaivan:
“Yaudah… fix, kita tunda. Gak seru kalau gak komplit.”
Achazia menatap layar ponsel, rasa hangat menjalari hatinya. Mereka memang sahabat yang aneh, tapi saling menjaga satu sama lain.
Percakapan Pribadi: Jarak yang Tak Terjembatani
Malam harinya, Achazia memberanikan diri menghubungi Elvareon lagi, meski tahu lelaki itu pasti lelah setelah shift panjangnya.
Achazia:
“El, kamu lagi sibuk banget ya?”
Balasan Elvareon datang lebih cepat dari dugaannya.
Elvareon:
“Gak sibuk buat kamu, Zia. Aku masih sempat baca chat kamu kok.”
Achazia terdiam, matanya mulai memanas.
Achazia:
“El, aku pengen banget ketemu. Aku capek chatting, capek ketawa lewat layar. Aku pengen ketemu kamu, El. Langsung.”
Elvareon tidak langsung membalas. Tapi ketika balasannya datang, kalimat itu terasa berat, penuh beban.
Elvareon:
“Zia, kamu tahu kan aku juga pengen? Tapi aku gak mau kamu lihat aku kayak gini. Capek, lusuh, gak bisa ngapa-ngapain buat kamu. Aku mau ketemu kamu nanti… saat aku bisa berdiri di sampingmu dengan bangga.”
Air mata Achazia jatuh perlahan. Ia mengetik dengan jari yang bergetar.
Achazia:
“El, aku gak butuh kamu berdiri sebagai siapa-siapa. Aku butuh kamu, Elvareon. Yang dulu, yang sekarang, yang kapanpun.”
Tapi ia tahu, Elvareon terlalu keras pada dirinya sendiri. Terlalu keras pada perasaannya sendiri.
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu. Rindu yang tak terucap kini mereka isi lewat obrolan di grup chat.
Brianna:
“Aku yakin, suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Tapi sekarang, yuk kita tetap jadi ‘chaos’ dari jarak jauh.”
Kaivan:
“Gue dukung. Chaos virtual pun chaos lah. Nanti pas ketemu, ledakannya lebih dahsyat.”
Elvareon mengirim voice note. Suaranya serak, lelah, tapi terdengar lembut.
“Kalian jangan pernah berpikir aku lupa sama kita. Tiap aku capek, aku ingat kita dulu di kantin, ketawa bareng. Kalian adalah alasan kenapa aku bertahan di sini.”
Achazia mendengarkan voice note itu dengan air mata berlinang. Ia membalas dengan voice note juga.
“El, Bri, Kai… aku bangga banget sama kalian. Kita mungkin terpisah jarak, tapi hati kita tetap sama. Kita chaos, walaupun di dunia yang berbeda.”
Mereka bertiga membalas dengan emoji hati, seolah mengirimkan pelukan dari jauh.
Malam itu, Achazia kembali duduk di balkon. Tangannya menulis di chat grup, sambil menatap bintang yang tak henti berkelip.
Achazia:
“Suatu hari nanti, aku ingin kita bertemu tanpa halangan. Bukan hanya sebagai teman SMA, tapi sebagai orang-orang yang udah berjuang bareng.”
Balasan datang dari Kaivan.
Kaivan:
“Setuju. Kita ketemu pas masing-masing dari kita udah bawa cerita perjuangannya.”
Brianna:
“Aku janji. Aku mau peluk kalian semua sampe lemes pas ketemu nanti.”
Dan akhirnya, Elvareon membalas.
Elvareon:
“Hari itu akan datang, Zia. Aku gak janji kapan. Tapi aku janji, aku pasti datang.”
Achazia tersenyum. Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih. Ia merasa kuat, karena tahu, ikatan mereka terlalu kuat untuk diukur dengan jarak dan waktu.
Walaupun mereka tidak bisa bertemu sekarang, Achazia, Elvareon, Brianna, dan Kaivan tahu satu hal pasti: mereka sedang berjalan di jalannya masing-masing, tapi ujung jalan itu akan membawa mereka kembali bersama.
Hanya soal waktu.
Hingga hari itu tiba, mereka akan terus menguatkan satu sama lain, walau lewat layar kecil di tangan mereka.
Dan rindu itu, meski menyakitkan, adalah pengingat bahwa mereka masih saling terhubung, sekuat dulu.