Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH PENAWARAN
Ketukan pintu terdengar—kali ini lebih keras, lebih rapat, seolah tak memberi ruang untuk diabaikan. Suaranya memantul di sepanjang lorong rumah, menghantam kesunyian dengan nada tergesa dan menekan. Ada desakan di baliknya, sesuatu yang membuat jantung Arum berdegup tak beraturan.
Arum kemudian menggenggam gagang pintu, dan menariknya terbuka. Ia tersentak. Dihadapannya bukan Viona, wanita yang sempat datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, bukan juga Langit yang dikabari akan segera tiba.
"Ta-Tante Laura," Lirih suara itu, lolos dari bibir Arum.
"Saya mau bicara sama kamu!" Tandas Laura. Tanpa permisi, ia melangkah masuk ke dalam rumah Arum lalu terduduk di salah satu kursi tamu. "Duduk!" Perintahnya.
Arum menelan saliva. Dengan gugup dan rasa takut yang perlahan menyelimuti dirinya, ia mulai duduk di kursi lain, tepat dihadapan wanita itu.
Di saat yang sama, tanpa sepatah kata pun, Laura merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Gerakannya tegas, nyaris kasar. Sesaat kemudian, sebuah amplop cokelat tebal melayang dari tangannya dan menghantam permukaan meja dengan bunyi yang keras, menggema tajam di ruangan yang mendadak sunyi. Getarannya membuat benda-benda kecil di atas meja bergeser tipis, seolah menegaskan amarah dan keputusan dingin yang tak perlu lagi diucapkan.
"Di dalamnya ada dua puluh juta..." Ucap Laura. Nadanya merendah, namun penuh penekanan yang lugas. "... kamu ambil uang ini dan tinggalkan Langit! Kamu juga bisa... pakai uang ini untuk menggugurkan kandungan kamu ketika kamu hamil, maka dari itu... semua tentang Langit dalam hidup kamu selesai!"
Ucapan itu menghantam tanpa ampun.
Arum tersentak. Seolah seluruh udara di sekitarnya direnggut paksa. Matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Detik berikutnya, air mata jatuh begitu saja, tanpa izin, tanpa bisa ditahan dan perlahan membasahi pipinya yang pucat.
Tangannya gemetar. Bukan karena takut, melainkan karena kata-kata itu terlalu kejam untuk dicerna. Terlalu rendah untuk ditujukan pada siapa pun, apalagi padanya. Dadanya terasa perih, seperti diremas dari dalam, sementara rasa malu dan sakit berkelindan menghancurkan harga dirinya.
"A-Apa maksud Tante?" Lirih suara itu akhirnya lolos dari bibir Arum. "A-Aku mencintai Mas Langit, tulus."
Laura mendesis, tubuhnya condong ke arah Arum sambil memukul meja, hingga membuat Arum kembali tersentak. "Stop berpura-pura menjadi wanita lugu dan layak untuk di cintai!" Katanya, dengan nada setengah meninggi. Jemarinya terangkat, menunjuk-nunjuk tepat ke wajah Arum. "Kamu itu harusnya ngaca! Kamu tuh gak layak buat mendapatkan Langit, anak saya! Dan saya tahu ujungnya, apa... kamu hanya mengincar harta Langit dan memanfaatkan situasi ini!"
Arum menggeleng. "Tante salah..." Jawabnya, nadanya getir dan berusaha membela diri di antara isak tangis yang semakin merayap. "... aku mencintai Mas Langit, karena memang aku tulus memiliki perasaan itu. Apa yang Tante pikirkan tentang aku itu bukan aku,” Lanjutnya. “Aku tidak pernah menjadikan Mas Langit sebagai tujuan, apalagi uang atau statusnya. Aku hanya… mencintainya. Sesederhana itu."
Air mata Arum semakin jatuh, lebih deras kini. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan rasa sakit yang mencabik harga diri. “Kalau memang perasaanku salah di mata Tante… maka biarlah aku yang menanggungnya. Tapi jangan rendahkan cintaku,” Ucapnya, nyaris tak terdengar.
Laura menggeleng jengkel, "Cinta?" Ulangnya. "Kamu itu ngaca! Yang layak bersanding dengan Langit itu Viona... bukan kamu! Di dunia ini... hanya ada yang namanya kebetulan, bukan keberuntungan. Kamu pikir saya bodoh?! Kamu bahkan menjual tubuh kamu demi mendapatkan kehidupan yang layak dari anak saya!"
"Cukup Tante!" Balas Arum cepat. Kalimat terakhir itu menghantam dadanya. "Mas Langit dan aku melakukannya dengan sadar. Bahkan aku. Aku tahu, aku salah. Dan Mas Langit pun merasakan hal yang serupa. Tapi, aku... tidak ada rasa menyesal, karena bukan alasan yang ada di dalam pikiran Tante, tapi aku benar-benar mencintai Mas Langit, tanpa memandang siapa dirinya." Tandasnya. "Aku... telah berjanji pada diriku sendiri untuk tetap bersama Mas Langit dan janjinya agar tetap bersamaku, apapaun yang terjadi.
Ia berhenti sejenak, menelan ludah yang terasa pahit. Tatapannya naik, lurus, meski rapuh.
“Termasuk… Tante.”
Mata Laura seketika membulat. Rahangnya mengeras. Bibir bawahnya digertak kuat, menahan kesal yang mendidih di dadanya. Ia tak pernah menyangka—bukan perempuan seperti Arum—yang selama ini ia pandang rendah, kini berani berdiri dan menantang ucapannya secara langsung.
Ada keheningan menyesakkan. Laura menatap Arum lama, seolah mencoba menemukan celah untuk kembali menghancurkannya. Namun kali ini, Arum tidak menunduk. Meski tubuhnya masih bergetar dalam rasa sakit, ia bertahan, membalas tatapan itu dengan keberanian yang lahir dari cinta dan tekad yang tak lagi bisa diabaikan.
Di saat itu, Laura meraih kembali amplop cokelat tebal yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Uang yang ia yakini mampu membuat perempuan itu lari dari hidup anaknya, kini ia masukkan kembali ke dalam tasnya dengan gerakan kaku dan penuh amarah.
Tanpa sepatah kata pun, tanpa permisi, ia berbalik. Langkahnya cepat dan tegas, seolah ingin segera meninggalkan ruangan sebelum amarahnya meluap lebih jauh. Suara tumitnya beradu dengan lantai terdengar keras, meninggalkan gema dingin di belakangnya.
Sementara itu, dengan tatapan kosongnya, Arum hanya terdiam. Tubuhnya masih gemetar dengan air mata yang masih mengalir deras. Ada perih yang tertinggal, ada luka yang menganga—namun juga ada keyakinan baru yang perlahan menguat di dadanya.
****