NovelToon NovelToon
Menguasai Petir Dari Hogwarts

Menguasai Petir Dari Hogwarts

Status: sedang berlangsung
Genre:Akademi Sihir / Fantasi / Slice of Life / Action
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zikisri

Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.

Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.

Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.

Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.

“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.

“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22 — Bertengkar

“Perkenalkan, aku Vanessa Greengrass, prefek kalian,” ujar gadis itu tenang dari tangga batu. Suaranya lembut tapi berwibawa, menggema di ruang bawah tanah yang remang. “Kata sandi untuk memasuki ruang bersama akan diganti setiap dua minggu sekali. Kata sandi saat ini adalah Ouroboros —simbol ular yang memakan ekornya sendiri. Kalian bisa melihat pengumuman sandi baru nanti di papan dekat perapian.”

Ia menyapu pandang ke seluruh ruang bersama. Lampu-lampu hijau di langit-langit bergetar pelan, menyorot wajah-wajah muda penuh rasa ingin tahu dan ambisi.

“Di Hogwarts, kita adalah Slytherin,” lanjut Vanessa. “Kita tidak menolak ambisi—kita mengarahkannya. Kita elegan, tenang, dan menjaga kehormatan kita. Aku harap kalian semua bisa membantu mengembalikan nama baik Slytherin. Sudah beberapa tahun kita tidak memenangkan Piala Asrama. Jangan habiskan energi hanya untuk bertengkar dengan Gryffindor. Gunakan waktu kalian untuk belajar… dan membuktikan bahwa kita pantas dihormati.”

Suasana hening sesaat, sampai sebuah suara kasar terdengar dari barisan belakang.

“Kenapa kita harus menahan diri?” seru seorang siswa berambut pirang keemasan dari tangga lain. “Lihat dunia sihir sekarang—segalanya sedang berubah. Ini saatnya Slytherin kembali memimpin!”

Vanessa menatapnya dingin. “Rory Yaxley, kan? Prefek tahun kelima,” bisik Agnes di samping Ethan, menjelaskan cepat.

“Cukup,” potong Vanessa, nada suaranya berubah tajam. “Jangan bawa urusan luar sekolah ke sini. Kau datang untuk belajar, bukan berpolitik.”

Rory mendengus. “Kalau begitu, mungkin kau lupa siapa kita sebenarnya. Slytherin lahir dari darah murni, bukan campuran. Tapi lihatlah, sekarang bahkan penyihir kelahiran Muggle bisa duduk di ruang ini. Apa itu masih bisa disebut kehormatan?”

Beberapa siswa menunduk, yang lain saling berpandangan. Ketegangan mengental di udara.

Ethan hanya diam. Ia tahu sindiran itu ditujukan padanya, tapi tidak tertarik untuk membalas. Ia berjalan perlahan melewati kerumunan, meninggalkan ruang bersama tanpa sepatah kata pun.

Dalam hati, ia sudah menilai situasi: Slytherin terpecah dua—faksi netral yang hanya ingin belajar, dan faksi darah murni yang percaya pada ambisi lama tentang supremasi dan kekuasaan. Dunia luar sedang bergejolak, dan gema perang itu rupanya sudah merembes sampai ke dinding kastil ini.

Ethan menarik napas panjang dan terus berjalan menyusuri lorong bawah tanah hingga menemukan pintu kamarnya.

Ruangan itu luas, dindingnya terbuat dari batu halus dengan kilau hijau dari pantulan air Danau Hitam. Tempat tidur berkanopi tertata rapi di tengah ruangan, dengan tirai hijau zamrud. Lilin-lilin menyala di atas meja, memantulkan bayangan lembut pada permadani bergambar legenda keluarga Slytherin.

“Setidaknya… tempat ini nyaman,” gumam Ethan sambil tersenyum tipis. Ia tak terlalu memedulikan bagaimana orang lain menilainya. Tapi untuk urusan keamanan dan kekuatan, ia harus mulai membuat rencana.

Ia mengeluarkan beberapa catatan dari tasnya dan mulai menulis di buku kecil.

“Pertama: tetap rendah hati. Jangan menonjol terlalu cepat. Kedua: terus berlatih, setiap hari. Ketiga: pelajari sihir defensif secepat mungkin.”

Tatapannya menajam. “Dan keempat… jangan percaya siapa pun sebelum benar-benar mengerti maksud mereka.”

Dalam sekejap, seluruh pikirannya berubah fokus—bukan tentang kehormatan asrama, tapi tentang bertahan hidup.

Keesokan paginya, pukul enam, Ethan sudah bangun dan melakukan peregangan. Udara ruang bawah tanah masih dingin menusuk, tapi ia terbiasa dengan suasana hening seperti ini.

Jadwal pelajaran Hogwarts cukup padat. Dua kelas pagi dimulai pukul sembilan dan berakhir sebelas. Lalu makan siang, dan dua kelas lagi di sore hari dari pukul satu sampai tiga. Setelah makan malam di Aula Utama, siswa bebas belajar atau bersantai di ruang bersama hingga jam malam pukul sembilan.

Hari itu, Selasa—dua pelajaran pagi adalah Kelas Mantra, dan sore nanti Sejarah Sihir.

Ethan berpakaian rapi, merapikan dasinya, lalu memeriksa tongkat sihir di saku. Ia berencana menjelajahi kastil lebih dulu untuk mengenali rute dan ruang kelas.

Ruang bawah tanah masih sepi. Dari jendela yang menghadap danau, seekor cumi-cumi raksasa melintas perlahan, tentakelnya berkilau diterpa cahaya biru. Pemandangan itu menenangkan sekaligus aneh, seperti mimpi.

Setelah puas memandangi sekeliling, Ethan meninggalkan asrama dan mulai menjelajahi kastil. Ia berjalan hampir dua jam, mencoba mengingat setiap lorong dan menara. Tangga-tangga yang bergerak acak beberapa kali membuatnya pusing, hingga akhirnya ia menggumam pelan, “Gradus Stabilo” —kutukan penahan tangga agar tetap di tempat. Tangga itu berhenti bergerak, memberinya jalan stabil ke atas.

Menara utama Hogwarts menjulang tinggi dengan delapan lantai. Di puncaknya, kantor kepala sekolah berdiri megah, terhubung dengan beberapa menara lain. Ruang kelas tersebar di antara bangunan-bangunan menara itu, sementara ruang bersama Ravenclaw dan Gryffindor terletak di sisi yang berbeda, dihubungkan oleh jembatan gantung menuju Menara Astronomi.

Dari jembatan batu di sisi lain, Ethan bisa melihat rumah kaca besar di bawahnya dan halaman tengah kastil yang luas. Ia berhenti sejenak di sana, menikmati pemandangan kabut pagi yang menggantung di atas danau.

Hogwarts, pikirnya.

Tempat penuh rahasia, sihir, dan intrik.

Dan mulai hari ini—tempat di mana ia harus bertahan hidup.

1
Mike Shrye❀∂я
wiiih tulisan nya rapi..... semangat
Zikisri: makasih atas penyemangat nya kk🤭
total 1 replies
Opety Quot's
di tunggu chapter selanjutnya thor
Sertia
Mantap/Good/ lanjutkan
Iqsan Maulana
lumayan bagus ni😁
Iqsan Maulana
next Thor
Hani Andini
next..
king_s1mbaaa s1mbaa
tambahin chapter nya thor...
Reyhan Ramdhan
lanjut thor👍
Zikisri: siap💪
total 1 replies
Reyhan Ramdhan
Bagus, Sangat Rekomen/Good/
Zikisri: thanks 👍
total 1 replies
I Fine
lebih banyak chapter nya thor/Shy/
I Fine
next chapter nya thor💪
Zikisri: Oke 👍
total 1 replies
Niat Pemulihan
nice
Evan Setyawan
Lanjutannya thor👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!