"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Rantai Duka yang Tak Pupus
Mila dikembalikan seperti paket yang rusak. Tubuh mungilnya yang dulu dipenuhi tawa kini hanya menyisakan ringkihan napas tersengal oleh asma parah dan keracunan makanan.
Setelah beberapa hari dirawat intensif di rumah sakit, dia akhirnya boleh pulang, tetapi keadaannya masih sangat lemah. Musim dingin yang kejam seolah tak mau mengampuni, salju lebat terus menerpa, mengurungnya di dalam rumah.
Rafael menjadi perawat sekaligus penjaga yang tak pernah lelah. Saat ini, Mila duduk di sofa, bersandar pada dada kakaknya, sementara Rafael duduk di belakangnya, dengan hati-hati memotong bolu gulung stroberi kesukaannya.
“Buka mulutmu, Piccolina,” bisik Rafael, menyuapkan potongan bolu yang lembut.
Mila mematuhi, mengunyah dengan lambat. Matanya yang dulu berbinar kini kosong, bagai danau yang membeku.
Rafael lalu dengan lembut merapikan rambut Mila yang sudah panjang, mengepangnya dengan rapi seperti yang dia pelajari dari Rosa. Sentuhannya penuh kasih, mencoba menembus dinding trauma yang menyelimuti adiknya.
Di kamar, Rosa juga terbaring lemah, dirawat oleh Matteo yang wajahnya mulai dipenuhi bayang-bayang kecemasan.
Mila tidak lagi seperti dulu. Dia jarang bicara, dan saat tidur, selalu menggenggam erat tangan Rafael, takut ditinggal sendirian dalam kegelapan. Badannya yang dulu montok kini menyusut, membuat Rafael sakit hati setiap memandangnya.
“Ketika musim semi tiba,” kata Rafael, mencoba memecah kebisuan, “Kakak akan membawamu ke kota. Kita akan membeli baju baru, mainan, apapun yang kau inginkan.”
Tapi Mila menggeleng pelan. “Aku benci kota. Aku benci gadis-gadis kota.” Suaranya lirih, tapi penuh keyakinan yang menyakitkan. Trauma karena diculik atas perintah orang kota—Serafina—telah meracuni pikirannya.
Rafael tersenyum getir, berusaha menahan tangis. “Baiklah. Kalau begitu kita pergi ke pasar desa saja.”
Kedamaian sesaat itu tiba-tiba hancur oleh dering telepon. Suara Marco di ujung sana, pecah dan nyaris tidak terkendali.
“Rafael ... bayi-bayi itu ... si kembar ... hilang!”
Dunia Rafael berputar. Giada baru saja meninggalkan kedua bayi lelakinya sebentar di ruang tamu untuk ke kamar kecil. Kembali, boks mereka sudah kosong.
Dengan kaki gemetar, Rafael menuju kamar orangtuanya. Matteo menatapnya, bertanya. Tapi Rafael hanya bisa menggeleng, mulutnya terkunci. Dia tidak bisa mengatakannya. Melihat Rosa yang sudah sekarat ini mengetahui cucu-cucunya hilang? Itu akan membunuhnya seketika.
...🌊🌊🌊...
Di kediaman Rinaldi, suasana neraka sedang berlangsung.
“DI MANA ANAK-ANAKKU?! DI MANA?!” Jeritan Giada memecah langit-langit rumah. Nafasnya tersengal, asmanya kambuh parah. Wajahnya merah, penuh kepanikan dan kesakitan yang tak tertahankan.
Marco mencoba memeluknya, menahannya. “Tenang, Amore mio, tenang! Kita akan menemukan mereka!”
Tapi Giada mengamuk. Dia melempar segala yang bisa dijangkaunya. Vas, piring, foto keluarga. Verona—sang mertua—mendekat, tapi diteriaki. Adrian Rinaldi, yang biasanya tegar, hanya bisa terduduk, wajahnya pucat pasi melihat menantunya yang histeris.
“MEREKA MENGAMBIL ANAK-ANAKKU!”
Tangis Giada pecah, tak terbendung. Chiara, dengan air mata berlinang, berusaha menenangkannya, tapi Giada seperti tidak mendengar. Tubuhnya terguncang hebat, hingga akhirnya, kekuatannya habis. Dia ambruk di lantai, pingsan, dikelilingi oleh reruntuhan hati keluarganya.
“GIADA!”
...🌊🌊🌊...
Di suatu tempat yang gelap, dua bayi mungil itu menangis lemah. Para penculik yang diperintah Leonardo hanya bisa saling pandang.
Apa yang harus mereka lakukan pada dua jiwa tak bersalah ini?
Perintahnya jelas. Buat Rafael dan keluarganya menderita.
Marco, setelah berhari-hari mencari tanpa hasil, akhirnya menyadari kebenaran pahitnya. Ini pasti ulah keluarga Romano. Balas dendam karena Rafael berani mendekati putri mereka.
Amukannya memuncak. Di tengah hujan salju yang tak kenal ampun, dia menemui Rafael di luar rumah De Luca.
“KAU BRENGSEK!” teriak Marco, menyeret kerah Rafael. “WANITA ROMANO-MU YANG BRENGSEK! DIA YANG MENCULIK ANAK-ANAKKU!”
BUGH!
Tinju Marco yang keras menghujam wajah Rafael. Rafael tidak melawan. Dia hanya menerima, tubuhnya terhuyung-huyung di atas salju.
BUGH!
BUGH!
Setiap pukulan adalah kebenaran yang dia benci untuk akui. Setiap tendangan adalah rasa bersalah yang menghancurkan jiwanya.
“AKU MINTA MAAF ... AKU MINTA MAAF, MARCO …,” isak Rafael tenggelam dalam gemuruh amarah Marco. “AAAAAARGHHHH!”
Salju yang putih mulai diwarnai percikan darah dari hidung dan bibir Rafael yang pecah. Dia terjatuh, dan Marco masih terus menghajarnya. Rasa sakit fisiknya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan siksaan batin yang dia rasakan—menyaksikan adiknya hancur, keluarganya tercerai-berai, dan kini dua keponakannya yang tak berdosa hilang, semua karena dia mencintai wanita yang salah.
Dia menyerah.
Di atas salju yang dingin, dibawah hujan pukulan, Rafael tahu ini adalah hukumannya.
Dan ini baru awal.
Dendam Leonardo Romano masih panjang, dan keluarganya adalah sasaran empuk berikutnya.
...🌊🌊🌊...
KEDIAMAN ROMANO, ROMA
Ruang tengah yang megah dan luas itu bagai sebuah stage yang salah waktu. Di tengah hawa dingin yang menyusup dari jendela-jendela tinggi, berdirilah seorang gadis dengan gaun musim panas yang tipis dan berwarna pastel. Kainnya yang ringan berkibar-kibar setiap kali dia berputar, menampakkan kaki yang sudah membiru kedinginan.
Serafina.
Matanya kosong, tapi bibirnya tak henti menyanyikan nama yang sama, berulang-ulang, seperti mantra yang patah.
“Rafael ... Rafael De Luca ... cintaku ... nelayanku…”
Dia menari, tapi ini bukan tarian. Ini adalah gerakan spasmodik, goyangan tubuh yang tak terkendali, seolah-olah dia berusaha melepaskan diri dari kulitnya sendiri. Tangannya terkadang meraih udara kosong, seolah mencoba memeluk bayangan yang tak ada.
Dari balik pintu, Isabella, sang Mamma—atau lebih tepatnya, Mamma tiri—menyaksikan dengan tangan menutup mulut. Air matanya mengalir deras, menatap putri yang dibesarkannya kini berubah menjadi hantu yang mengenaskan.
Leonardo Romano berdiri seperti patung marmer, wajahnya tampak murka dan tangan dikepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Amarah dan rasa malu bergolak di dadanya. Dia melihat kegilaan ini sebagai penghinaan terbesar terhadap nama keluarganya.
“BASTA!” teriak Leonardo, suaranya menggelegar memecah ruangan.
Tarian Serafina terhenti. Dia berbalik, menatap Leonardo dengan mata yang tiba-tanya tajam dan penuh tantangan.
“Lihat apa yang telah kau lakukan padaku!” hardik Leonardo, mendekat dengan langkah mengancam. “Kau lahir dari rahim seorang pelayan! Seorang pencuci piring! Dan alih-alih bersyukur atas hidup yang kuberikan padamu, kau ... kau mempermalukanku dengan cara seperti ini?!”
Kata-kata itu seperti cambuk. Tapi kali ini, Serafina tidak menangis atau meratap. Sebaliknya, senyum tipis dan tak waras merekah di bibirnya.
“Kau salah, Papà,” katanya, suaranya tiba-tiba jernih dan menusuk. “Bukan salah si pelayan. Bukan juga salahku.”
Dia melangkah mendekati Leonardo, matanya membara.
“Ini salahmu,” desisnya. “Kenapa kau menyentuhnya? Kenapa kau pikir tubuhnya adalah milikmu untuk diambil? Kau pria yang lemah, Papà. Lemah dan kotor.”
Leonardo terkesiap, wajahnya berubah pucat. Tak pernah ada yang berani berkata demikian padanya.
“Aku…” Serafina menunjuk dirinya sendiri, “...adalah karma-mu.” Senyumnya semakin lebar, semakin gila. “Dosamu yang kembali menghantuimu. Dan kau tahu apa yang akan kulakukan?”
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Leonardo, berbisik dengan nada penuh kemenangan yang mengerikan.
“Aku akan melakukan persis seperti yang kau lakukan. Aku akan membuat diriku hamil oleh pemuda laut yang kau hina itu. Aku akan membawa dalam rahimku seorang anak haram Romano lagi. Seorang pewaris takhta kebohonganmu, yang lahir dari darah seorang nelayan!”
Isabella menjerit, “NO, SERAFINA!”
Tapi kata-kata itu sudah terlanjur melayang. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya diisi oleh desisan nafas Leonardo yang memburu dan tatapan kosongnya pada putrinya.
Ancaman Serafina bukan lagi sekadar pemberontakan. Itu adalah sebuah kutukan, sebuah ramalan yang akan menghancurkan segalanya yang dia bangun.
Dia melihat kegilaan di mata Serafina, dan untuk pertama kalinya, Don Leonardo Romano yang perkasa merasakan ketakutan yang paling mendasar. Karmanya telah datang menjemput, dan dia datang dalam wujud putri sendiri, siap menghancurkan warisannya dari dalam.
...🌊🌊🌊...
Di sebuah kediaman keluarga yang berpengaruh di Roma, keluarga yang lebih berkuasa daripada Romano, pria itu tersenyum menyaksikan drama keluarga rivalnya itu. Apa dia harus masuk sekarang?