NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

GAIRAH YANG HALAL

Mobil hitam yang dikendarai Tama perlahan berhenti di depan rumah bercat hijau toska di kawasan Cisarua. Udaranya sejuk, dengan pepohonan rindang mengelilingi halaman kecil yang dipenuhi pot-pot tanaman gantung. Kemala melirik ke arah rumah itu dengan gugup, sementara tangan Tama menggenggamnya erat, memberikan kekuatan yang tak terucap lewat kata-kata.

Mereka turun bersamaan, dan baru saja melangkah ke teras, pintu rumah terbuka. Seorang wanita yang sangat Kemala kenal, belum terlalu tua itu kaget saat melihat kedatangan mereka.

"Assalamu'alaikum," sapa Tama sopan.

"Wa-wa'alaikumsalam...." Jawab wanita itu gugup.

"Mas Tama suaminya Mbak Erina ya? Eh, sama Neng Kemala juga? A-ada apa ini?" tanya wanita itu, wajahnya tampak terkejut sekaligus cemas.

Imas, istri dari Mang Jaka yang juga merupakan orang tua Ningsih, teman main Kemala terlihat sangat gugup. Wajahnya tegang saat melihat anak dari mantan majikannya itu.

"Ningsih nya ada, Bu?" tanya Kemala basa-basi.

Imas menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Bicaranya berubah ketus. "Gak ada. Ningsih udah gak tinggal disini. Ikut sama bibinya kerja di Jakarta," ucap Imas yang terlihat salah tingkah itu. Gelagatnya malah

Membuat Kemala dan Tama curiga.

"Kalau begitu, Kami ingin bicara dengan Mang Jaka, Bu," ucap Tama, suaranya tegas namun tetap sopan.

Wanita itu terdiam sejenak. Matanya menelisik kemala dan Tama bergantian, seolah heran mengapa mereka berdua bisa datang kemari? Dan yang membuatnya tambah heran, kenapa dua orang itu terlihat sangat mesra? Mereka bahkan tidak melepaskan pegangan tangan.

Pikiran negatif tiba-tiba hingga dalam benaknya. 'Apa jangan-jangan mereka selingkuh?'

Imas memang belum mengetahui tentang pernikahan siri yang dilakukan oleh Kemala dan Tama, suami dari Erina.

"Maaf, kalian tidak bisa menemui suami saya. Dia sedang sakit!" tegas Imas menolak dengan nada ketus.

Tama mendekat, menatapnya dengan tajam. "Kami datang baik-baik. Saya bisa saja berbuat kasar jika anda tidak bisa kooperatif!" tegasnya.

Takut dengan tatapan elang pria asal Malang itu, ia pun akhirnya setuju.

Imas mengangguk pelan. "Masuklah dulu. Tapi... Mang Jaka masih belum banyak mau bicara sejak kecelakaan itu," ucapnya sambil membuka pintu lebih lebar.

Tama dan Kemala saling pandang sejenak sebelum melangkah masuk. Ruang tamu rumah itu sederhana, wangi minyak kayu putih samar tercium. Di sudut ruangan, Mang Jaka duduk di kursi roda, menghadap

Jendela. Kakinya yang sebelah kiri sudah tidak ada, hanya tersisa selimut menutupi bagian bawah tubuhnya.

Wajah Mang Jaka tampak lebih tirus, kumis dan jenggotnya tak serapi dulu. Matanya sayu, namun ketika menoleh dan melihat mereka, sorot itu berubah menjadi gugup. Ia mencoba berdiri, namun teringat kakinya yang hilang, lalu mengangguk pelan sebagai sapaan.

"Mang Jaka," ucap Kemala, suaranya bergetar. "Bagaimana kabarnya? Maaf aku baru sempat kemari."

Kemala memang baru ke sini lagi. Padahal dulu biasanya dia sering main dengan Ningsih. Meskipun Mang Jaka adalah bawahan ayahnya begitupun dengan Ceu Imas yang merupakan pelayan di rumah juragan Subagja, namun pertemanan Kemala dan Ningsih begitu erat tanpa memandang status mereka. Bahkan Ningsih juga di sekolahkan oleh ayahnya Kemala.

Setelah kecelakaan tragis itu, hanya Mang Asep yang bolak-balik ke rumah mantan supir pribadi Subagja. Pihak keluarga Kemala juga sudah memberikan santunannya berupa uang untuk modal usaha karena Jaka sudah tidak mungkin bekerja sebagai sopir lagi mengingat kondisinya yang saat ini cacat.

Mang Jaka hanya mengangguk. Tak mengatakan sepatah kata pun, namun dari tatapannya, pria itu terlihat sangat terluka.

"Kami... ingin bertanya sesuatu."

Mang Jaka tetap diam. Matanya kembali tertuju ke jendela, seolah tak mendengar.

"Mang Jaka, tolong... jawab pertanyaan kami. Ini soal

Kecelakaan itu. Dan soal Tante Erina," lanjut Kemala, kini lebih berani.

Namun pria tua itu tetap diam.

Istri Mang Jaka yang berdiri di belakang mereka ikut bicara, "Sejak kecelakaan itu, bapaknya Ningsih memang berubah. Dia nggak mau cerita apa-apa. Bahkan pada saya, Neng."

Tama maju satu langkah, nadanya mulai mengeras.

"Mang Jaka, saya tidak datang jauh-jauh hanya untuk melihat Anda diam. Saya tahu Anda menyimpan sesuatu. Kalau Anda pikir dengan diam Anda bisa melindungi seseorang, maka Anda salah. Diam Anda bisa menghancurkan lebih banyak orang lagi!"

Mang Jaka menunduk, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Masih belum ada jawaban.

"Kalau begitu saya lapor ke polisi saja. Saya punya bukti foto bahwa Anda pernah bertemu dengan Erina sehari sebelum kecelakaan terjadi. Kalau saya serahkan ini ke penyidik, Anda pasti akan dipanggil," ancam Tama, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto dari pesan misterius tadi pagi.

Mang Jaka menatap layar itu. Matanya membesar. Kemala bisa melihat jemari pria tua itu mulai bergetar.

"Kau pikir Erina akan melindungimu kalau kau ditangkap? Dia bahkan tidak peduli dengan kondisimu sekarang. Dia hanya pakai kamu untuk rencananya yang busuk," ujar Tama lagi. "Jangan pikir kita tidak tahu, Mang Jaka. Ingatlah, serapat apapun menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga!"

Diam yang panjang menyelimuti ruangan. Suasana di ruang tamu dengan sofa yang lusuh itu kini tampak menegang. Imas hanya diam, wajahnya terlihat ketakutan.

Setelah beberapa saat, akhirnya, Mang Jaka menarik napas panjang. Pelan-pelan, ia mengusap wajahnya, lalu memandang mereka dengan mata berkaca.

"Saya... saya tidak bisa bohong terus. Batin saya tersiksa... saya bermimpi buruk hampir tiap malam. Tapi percayalah, Saya tidak bersalah!"

Kemala maju, duduk di kursi dekat Mang Jaka.

"Tolong, Mang. Katakan semuanya."

Mang Jaka mengangguk pelan, suaranya parau ketika mulai bicara.

"Benar... saya bertemu dengan Mbak Erina sehari sebelum kecelakaan itu. Dia datang ke rumah saya malam-malam, sendirian. Dia bilang... di-dia ingin menyingkirkan Ibu Indira. Saya menolak keras. Bagaimana pun bapak dan ibu sudah sangat baik pada keluarga saya. Ta-tapi dia mengancam."

Kemala mengerutkan kening. "Mengancam? Mengancam apa?"

"Mbak Erina bilang, akan mecelakai Ningsih dan Egi saat itu. Kami orang kecil, Neng. Mendapatkan tekanan itu, tentu saja kami takut. Sebenarnya yang ingin Mbak Erina singkirkan hanyalah ibu. Dia punya niatan ingin merebut bapak. Maafkan saya, Neng. Maafkan saya yang saat itu tidak punya kekuatan untuk melawannya. Mbak Erina ingin menyingkirkan kakaknya sendiri supaya bisa merebut hati Bapak dan pada akhirnya bisa merebut posisi

Ibu," ucap Mang Jaka dengan air mata berderai. Di hadapan Kemala, ia akhirnya mengatakan sejujurnya apa yang dia ketahui selama ini.

Kemala tercekat. Air matanya mulai menggenang. Hatinya kembali sesak. Tantenya benar-benar sangat jahat.

"Tapi kenapa Bapak ikut celaka? Jika memang bapak bersekongkol, tentu bapak tidak akan ambil resiko ini, bukan?" tanya Tama.

"Sa-saya... menyesal. Tapi saya tidak bersalah. Saya tidak mau menuruti apa perintahnya. Malam itu, saya tidak bisa tidur. Saya menghubungi Mbak Erina dan mengatakan bahwa saya tidak setuju. Lebih baik saya kehilangan nyawa dari pada harus menghianati orang yang selama ini telah begitu baik pada keluarga saya. Tapi ternyata, Mbak Erina punya 1000 cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Saya benar-benar tidak tahu jika mobil itu rem nya blong, atau lebih tepatnya disengaja blong. Saya menyesal, mengapa tidak mengeceknya lebih dulu. Saya coba banting setir untuk menyelamatkan bapak dan ibu. Tapi... mobil masuk ke jurang. Bapak dan ibu..."

Jaka menghentikan kalimatnya, tak kuasa untuk melanjutkan cerita yang membuatnya trauma seumur hidup. Tangisnya benar-benar pecah. Ia menyesal karena tidak bisa melindungi majikannya.

"Kenapa Mamang tidak lapor polisi atau cerita jujur pada mang Asep? Kenapa selama ini diam saja?"

Mang Jaka menunduk dalam-dalam. "Saya takut, Mas. Mbak Erina datang ke rumah sakit saat itu. Selain mengancam lagi, ternyata dia memiliki sesuatu yang bisa membuat Ningsih malu seumur hidup. Entah di mana dan

Kapan kejadiannya, mbak Erina punya foto dan Video Ningsih yang saat itu melakukan tindakan as u sila dengan laki-laki. Kami sangat syok, Ningsih juga terpukul dan bahkan mengancam akan bunuh diri. Namun mbak Erina janji tidak akan membocorkan semua ini asal kita semua tutup mulut."

DEGH.

Kemala makin tercengang. Begitupun Tama.

Ningsih, teman dekat Kemala ternyata memiliki masalah yang begitu besar. Kemala benar-benar tidak percaya. Bagaimana mungkin Ningsih yang alim dan pemalu itu bisa melakukan hal yang memalukan dan mencoreng nama baik keluarganya?

Pantas saja Ningsih tidak ada saat kecelakaan itu.

Ningsih sudah lama tidak menemui Kemala. Wanita itu seolah menghindar. Ternyata Ningsih memang sengaja mengasingkan diri.

Tangis Kemala pecah. Ia tergugu, tangisnya benar-benar menyayat hati. "Berarti selama ini... Ningsih..."

"Ningsih... apa yang sebenarnya terjadi padamu?

Kenapa semuanya begitu rumit? Kenapa kamu nggak cerita sama aku?" Kemala begitu terpukul dengan kenyataan ini. Tangisnya semakin deras.

"Kami berusaha untuk menutupi semuanya demi Ningsih, Neng. Itulah sebabnya saya tutup mulut. Maafkan Mamang... Maafkan karena tidak bisa menyelamatkan bapak dan Ibu waktu itu," ucap Mang Jaka kembali menangis, menatap sedih anak majikannya.

Tama mengangguk, mulai mengerti apa yang terjadi.

Mang Jaka tidak terlibat dalam kecelakaan itu, dan itulah sebabnya dia juga jadi korban.

Pria itu langsung memeluk Kemala, mengusap punggungnya dan mencoba menenangkannya. Begitupun Imas, yang menyentuh bahu suaminya yang masih tergugu. Ruangan itu dipenuhi oleh tangis kesedihan.

"Kami kemari untuk mencari bukti tentang kejahatan Erina. Tapi kami kini mendapatkan informasi lain, sebuah kenyataan yang benar-benar membuat kami semua sangat syok. Kami akan datang lagi besok, Mang. Terima kasih karena sudah mau bicara. Saya akan minta Bapak untuk bersaksi kalau dibutuhkan nanti. Terima kasih, Mang Jaka, Bu Imas. Ini... langkah awal kita untuk menyingkap semua kebusukan Erina."

Mang Jaka hanya bisa menunduk. Wajahnya menua lebih cepat karena beban dan penyesalan yang ia pikul.

Kemala berdiri, memeluk Ceu Imas, istri Mang Jaka yang juga tergugu. "Terima kasih, Bu, sudah izinkan kami datang. Ijinkan saya untuk bertemu dengan Ningsih nanti."

"Tentu, Neng. Maaf, ibu berbohong mengatakan Ningsih ada di Jakarta. Sama seperti Mang Jaka, Ibu takut jika Mbak Erina benar-benar nekat menyebarkan video itu. Ibu sangat yakin jika Ningsih tidak sadar melakukannya. Sebenarnya dia ada di Sukabumi, dia sedang mengasingkan diri. Neng Kemala boleh menemuinya kapan saja. Dia pasti akan senang. Jaga diri kalian baik-baik. Erina... dia sangat jahat dan licik," balas perempuan itu pelan, sebelum mengantar mereka keluar.

Kemala mengangguk. Wajahnya masih basah dan

Sendu saat ia masuk ke dalam mobil. Hari ini, akhirnya mereka pulang tidak dengan tangan kosong. Informasi ini sangat penting. Dan mereka sudah memiliki bukti yaitu seorang saksi yang kuat. Dan kemungkinan besar, apa yang terjadi pada Ningsih juga adalah ulah Erina.

Saat mobil Tama melaju turun dari perbukitan Cisarua, hati Kemala bergetar. Ia tahu, ini baru awal. Tapi setidaknya, satu pintu kebenaran telah terbuka. Dan Erina, tidak akan bisa mengelak lagi.

Langit mulai gelap saat mobil yang dikendarai Tama berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang tak jauh dari pusat kota. Lampu-lampu di lobi memancarkan cahaya temaram keemasan, memberikan kesan hangat dan nyaman. Tama menoleh ke arah Kemala yang sejak tadi hanya diam, pandangannya kosong.

"Kita menginap di sini malam ini," ucap Tama pelan.

"Besok kita ke kantor polisi ya, Sayang. Kita laporkan Erina! Apa kamu sudah siap?"

"Tentu saja, Mas. Aku sangat siap untuk melihat kehancuran wanita jahat itu!"

Kemala mengangguk tanpa protes. Ia tahu, pulang ke rumah bukan pilihan aman. Setelah semua yang terjadi hari ini-pengakuan Mang Jaka, pesan misterius, dan pria yang mengintainya dari balik pohon-rumah tak lagi memberi rasa tenang.

Tama turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Kemala. Ia menggenggam tangan istrinya, erat.

"Kamu aman sama aku."

Mereka naik ke kamar di lantai 9, suite mewah yang menghadap ke arah taman kota. Begitu masuk, Tama langsung memeriksa sekitar, memastikan semuanya baik-baik saja. Barulah kemudian ia menarik Kemala ke dalam pelukan.

"Kita sudah makan malam. Sekarang waktunya kamu istirahat," bisik Tama sambil mengecup puncak kepala istrinya.

Kemala menyandarkan tubuhnya ke dada Tama. Hangat. Aman. Bahkan detak jantung pria itu seakan menyelaraskan kegelisahannya yang sejak siang tadi menumpuk tak tertahankan.

Tak lama kemudian, keduanya bergantian masuk ke kamar mandi. Air hangat membasuh tubuh mereka, seperti membersihkan jejak-jejak kepenatan yang menempel sepanjang hari.

Kemala yang sudah selesai mandi duduk di pinggir ranjang, memandangi bayangan kota dari balik kaca jendela. Rambutnya basah terurai, ia mengenakan bathrobe putih dari hotel.

"Mas..." bisik kemala saat Tama keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan jubah handuk.

Tama menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya, tangan kirinya mengusap lembut punggung Kemala.

"Maafkan Mas belum bisa membawa kamu keluar dari masalah ini secepatnya," ucapnya lirih. "Sekarang malah ada masalah baru. Kamu pasti kepikiran dengan temanmu itu. Jika apa yang terjadi pada Ningsih memang ada kaitannya dan terbukti ulah Erina, maka dia harus

Mendapatkan hukuman berlipat-lipat. Dia sudah sangat keterlaluan! Mas telah tertipu wajah manisnya selama ini!"

Kemala menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat lebih lelah dari biasanya. "Mas... kamu sudah berusaha. Dan aku bersyukur karena aku punya kamu. Entah Bagaimana jika tidak ada kamu, mungkin belum tentu aku bisa menguak kejahatan tante Erina secepat ini. Mulai besok, dia tidak akan bersenang-senang lagi. Dia harus membusuk di penjara!"

Tama tersenyum tipis, lalu menarik tubuh Kemala ke pelukannya. "Kamu benar, Sayang. Sedikit lagi, kita akan mendapatkan bukti itu. Dan Kita akan mendengar sendiri dari mulutnya, dia harus mengakui kejahatannya! Aku janji, semuanya akan baik-baik saja. Kamu gak sendiri. Kita hadapi ini bareng-bareng."

Kemala mengangguk kemudian menyenderkan kepalanya di dada suaminya.

"Terima kasih sudah percaya padaku, Kemala. Mas janji akan melindungimu. Tak ada yang bisa menyentuhmu apalagi menyakitimu!" ucap Tama sungguh-sungguh.

Kemala menatap mata suaminya, dan untuk sesaat, segala ketegangan yang mengungkung pikirannya mulai mengendur. Ada ketenangan yang hanya Tama mampu ciptakan. Bahkan saat dunia terasa berguncang, kehadiran pria itu bisa menjadi tempatnya bersandar.

Tama menyentuh pipi Kemala dengan lembut, lalu mengecupnya perlahan. Awalnya hanya sekilas, namun kemudian berlanjut menjadi ciu-man yang dalam dan penuh perasaan. Bukan sekadar hasrat, tapi juga pelipur

Luka-sebuah bahasa yang tak membutuhkan kata-kata.

Ciu-man itu membawa mereka berbaring ke ranjang. Bathrobe yang dikenakan Kemala terasa lembut di bawah sentuhan tangan Tama. Ia menyentuh pundak istrinya, kemudian mengusap pelan lengannya, memberi rasa aman, bukan paksaan.

"Tidurlah, kamu pasti lelah."

Kemala menggelengkan kepalanya. "Aku mau kamu, Mas," ucapnya manja.

"Mas takut kamu capek...," ucap Tama di sela ciu-mannya.

Tapi Kemala hanya menjawab dengan menarik Tama lebih dekat, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan malam itu.

Sentuhan demi sentuhan mengalir seperti arus tenang, menenangkan hati yang semula tegang. Tubuh mereka saling menyatu dalam irama lembut, tidak terburu-buru, namun penuh penghargaan. Setiap ciu-man, setiap hela napas yang tercipta di antara mereka adalah pelampiasan rindu sekaligus penyembuh luka.

"Aaahh, Mas Tama..."

"Kamu membuatku candu, Sayang. Terus panggil namaku."

"Mas.. aaahhh!" Kemala dibuat kepayahan. Suaminya benar-benar bisa membuatnya lupa dengan permasalahan yang sedang dihadapi.

Setiap sentuhan dan gerakannya yang memabukkan itu, membuat Kemala mabuk kepayang. Malam ini, Tama

Benar-benar menghiburnya. Membawa sang istri bagai terbang ke nirwana.

Di luar sana, kota masih bergemuruh dengan lampu-lampu yang menyala. Tapi di dalam kamar hotel yang hangat itu, waktu seakan berhenti. Hanya ada Tama dan Kemala, berdua, saling memberi dan menerima. Peluh bercucuran dalam ga i rah yang halal. Setiap nafas, setiap de-sahan yang keluar, menjadi bukti sebuah cinta dan tanda kepemilikan.

Dan malam pun berlalu dalam pelukan dan malam panjang yang panas. Di tengah badai yang masih menanti, mereka tetap percaya-cinta mereka akan menjadi jangkar yang tak akan goyah.

Dan siapapun yang berani mengusik, maka akan berakhir dengan sangat pedih.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!