NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 23 - Tenang

Vee

Dua hari lagi sebelum syuting pertama. Studio sudah sepi sejak pukul lima sore, tapi aku masih di sini, duduk sendirian di antara set-set separuh jadi. Lampu-lampu studio sebagian sudah padam, menyisakan cahaya putih yang jatuh di atas piano yang baru saja selesai dicat oleh tim art. Bau cat bercampur dengan aroma kayu basah dan debu yang melayang di udara.

Aku menatap layar laptop yang mulai buram karena lelah. Setiap kali menutup satu tab, aku membuka dua lagi. Setiap kali mencoba berdiri, aku kembali duduk untuk memeriksa ulang naskah yang sudah kami potong menjadi beberapa babak bersama Sophie tiga hari lalu. Aku ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana: blocking, kostum, jadwal, peralatan kamera. Aku tahu aku terlalu perfeksionis, tapi mungkin hanya dengan begitu aku bisa menenangkan rasa takutku.

Aku sedang menandai bagian Scene 12: Living Room - Night, saat suara pintu terbuka terdengar di belakang. Langkah kaki perlahan mendekat, lalu berhenti tepat di belakangku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

Tangan hangat melingkar lembut di bahuku, menekan sedikit, seolah mencoba menyalurkan ketenangan yang tak bisa diucapkan. “Istirahat, Vee.” Suaranya rendah, dalam, tapi lembut seperti biasanya. “Kamu nggak bisa kelelahan sebelum syutingnya dimulai.”

Aku hanya menggeleng tanpa menatapnya. “Masih banyak yang harus disiapkan. Semua orang sudah kerja keras, aku nggak mau mereka lihat aku lengah duluan.”

“Percayakan saja sama kru-mu.” Aku bisa merasakan senyum kecil di balik nadanya. “Ayo pulang. Aku masak buat kamu malam ini.”

Aku menoleh setengah tak percaya, menatapnya dari balik rambutku yang kusut. “Seorang Tyler Hill bisa masak? Itu hal paling tidak terduga yang kudengar tahun ini.”

Dia mengangkat alisnya dengan gaya tenang yang khas. “Ayo. Sebelum kamu pingsan di depan laptop.”

Aku menyimpan sisa pekerjaanku, menutup laptop perlahan, lalu membawa semuanya keluar dari studio yang kini gelap dan hening. Udara malam terasa dingin ketika aku mengunci pintu dan berjalan menuju mobil Tyler yang terparkir di depan. Cahaya lampu jalan memantul di kaca mobil, menambah suasana tenang yang anehnya justru membuat pikiranku berisik.

Sepanjang jalan, aku lebih banyak diam. Kepalaku masih penuh dengan detail—jadwal, properti, posisi kamera, blocking adegan pembuka. Setiap hal terasa penting, dan semuanya berlomba-lomba untuk kupikirkan sekaligus. Aku tidak sadar sudah menggigit bibir bawahku sampai suara Tyler memecah keheningan.

“Aku nggak percaya aku yang harus bilang ini,” katanya sambil melirik sekilas ke arahku, “tapi rilekslah, Vee.” Nada suaranya ringan, tapi tulus. “Tidak semua hal perlu kamu pikirkan sekarang. Aku tahu kamu perfeksionis, tapi aku nggak nyangka kalau kamu ternyata selevel dengan Hunt.”

Aku menoleh sebentar, separuh tersenyum, separuh lelah. “Kelihatan banget, ya?”

Ia tertawa kecil, nada tawanya dalam dan menenangkan. “Kelihatan banget.” Lalu, tanpa peringatan, ia menjulurkan tangannya dan mencubit pipiku pelan. “Masalahnya,” lanjutnya sambil tersenyum, “nggak mungkin aku yang harus ngajarin kamu cara santai. Aku ini orang paling kaku di kampus, ingat?”

Aku menatapnya, ingin protes, tapi malah tertawa. Ada sesuatu dalam caranya bicara—entah nada lembutnya, atau ketulusan yang jarang muncul di balik ekspresi dinginnya—yang membuatku merasa aman, bahkan hanya dengan berada di mobil bersamanya.

“Tenang saja,” katanya akhirnya, matanya tetap ke jalan. “Aku akan masak steak paling enak yang pernah kamu makan.” Nada suaranya terdengar seperti janji, tapi juga sedikit seperti godaan.

Kami berhenti di supermarket kecil di tengah kota. Tyler mendorong troli dengan sikap serius, seperti sedang mengatur set syuting. Ia memeriksa setiap label, memegang potongan daging, memilih butter, dan berdiskusi dengan pegawai supermarket soal kualitas asparagus.

Aku hanya mengikutinya, masih sedikit bengong dengan banyaknya perencanaan di kepalaku.

Kami sampai di rumah Tyler. Rumah orangtuanya, yang diwariskan kepadanya. Rumah itu seperti dirinya, rapi, fungsional, tidak neko neko. Dindingnya berwarna abu pucat, dengan sedikit sekali dekorasi. Hanya rak buku di pojok dan sebuah piano tua di ruang tamu. Lampu kuning lembut memantul di lantai kayu, menciptakan bayangan hangat yang menenangkan.

Aku duduk di meja makan kecil di dekat dapur, memperhatikan bagaimana ia mulai menata bahan makanan. Ia terlihat alami di sana, seperti sudah terbiasa. Tangannya terampil, matanya fokus, ada ketenangan yang jarang kulihat di dirinya saat berada di ruang kelas atau studio.

“Kamu bisa bantu aku disini, supaya otakmu bisa berhenti memikirkan film sejenak,” katanya tanpa menoleh.

Aku mendesah. “Aku pernah bilang kan, aku nggak bisa masak.”

“Mustahil. Kamu bisa rawat adikmu sendirian, tapi nggak bisa masak?” Tanyanya

“Instant mashed potato, frozen pizza, roti panggang. Aku jago di tiga itu.” Ujarku. Well masih ada lagi, baked beans, frozen waffle, dan makanan instant lainnya yang disiapkan ayah di kulkas adalah yang bisa ku masak sejak dulu.

Dia berhenti, menatapku, lalu tersenyum kecil. “Tidak ada satupun yang kamu sebut itu real food.”

Ia menarik tanganku lembut ke dapur. “Ayo, aku ajari. Kupas kentang dulu.”

Aku menatap pisau yang diserahkan padaku dengan was-was. “Kamu yakin ini ide bagus?”

“Pegang begini,” katanya pelan, membimbing tanganku. Kulit jarinya kasar, tapi sentuhannya hati-hati. Napasku tercekat. Jarak kami terlalu dekat, tapi aku tak bisa mundur.

Ia membumbui daging dengan rosemary, garam laut, dan lada hitam. Saat ia menaruh potongan steak di atas wajan panas, suara desisnya memenuhi ruangan, diiringi aroma butter yang langsung membuat perutku berbunyi keras. Aku menatapnya panik. “Itu—itu nggak akan meledak, kan?”

Tyler tertawa kecil. “Tenang, ini cuma daging.”

Steak matang dengan  sempurna, medium rare untukku, welldone untuknya. Ia menatanya di piring, menambahkan mashed potato buatanku yang, menurutku, tidak buruk untuk percobaan pertama. Lalu asparagus panggang dan tomat ceri di sisi lain. Sederhana, tapi begitu harum, hangat, dan entah kenapa terasa… seperti rumah.

Aku memotong sepotong kecil steak dan menaruhnya di mulutku. Butter meleleh di lidah, bercampur dengan rasa gurih daging dan wangi herb yang samar. Aku menutup mata, mendesah pelan. “Oh my God…”

“Sudah kubilang,” ujarnya dengan nada puas, “steak terenak yang pernah kamu makan.”

“Dasar sombong,” balasku, tapi aku tak bisa menahan senyum.

Kami makan dalam diam, tapi bukan diam yang canggung. Hanya keheningan yang penuh arti, suara pisau, denting piring, dan detak waktu yang berjalan lebih lambat.

Setelah beberapa saat, kami mulai bicara. Tentang hal-hal kecil yaitu film lama yang kami sukai, buku puisi yang pernah ia baca, lagu-lagu yang dulu kuputar di kamar kecilku di California. Pantai yang sering ku datangi disana. Sampai akhirnya, tanpa sadar, percakapan kami menjadi lebih dalam.

“Kalau bukan di film,” katanya pelan, menatap gelas di tangannya, “aku mungkin masih menulis puisi. Tapi hidup… tidak selalu memberi dua kesempatan.”

Aku menatapnya lama. “Mungkin film adalah caramu menulis puisi dengan bahasa lain.”

Ia tersenyum kecil, matanya hangat. “Dan mungkin kamu satu-satunya orang yang bisa membuat kalimat itu terdengar masuk akal.”

Aku tersenyum, menatapnya balik. Cahaya lampu dapur memantul lembut di wajahnya. Dalam keheningan itu, aku tahu, entah bagaimana, semuanya terasa hangat malam ini.

Untuk pertama kalinya, aku tidak memikirkan kamera, jadwal, atau naskah. Hanya kami berdua, di meja kecil itu, dengan kehangatan sederhana yang menenangkanku.

\~\~\~

Tyler

Beberapa jam lalu, ia masih nyerocos tentang pantai, tentang langit jingga dan suara ombak yang katanya selalu membuatnya tenang. Sekarang, ia tertidur di sofa ruang tamuku, dengan kepala sedikit miring, napas teratur, dan helai rambut menutupi sebagian wajahnya.

Aku memandangnya beberapa saat, nyaris tidak percaya betapa cepatnya transisi itu terjadi, dari energi berlebihan ke keheningan yang sempurna. Dia terlihat sangat lelah. Sudah berminggu-minggu aku melihatnya terus bergerak tanpa henti, menulis, mengatur jadwal, meninjau set, mengoreksi naskah, seolah waktu akan menghukumnya jika ia berhenti sesaat. Mungkin, itu caranya melawan rasa takutnya sendiri.

Aku mendekat pelan, membungkuk sedikit. Ada sesuatu di wajahnya malam ini, bukan hanya lelah, tapi juga damai. Sudut bibirnya sedikit terangkat, seperti seseorang yang sedang bermimpi indah. Aku tidak tega membiarkannya tertidur begitu saja di sofa sempit ini, jadi dengan hati-hati, aku menyelipkan tanganku di bawah tubuhnya, mengangkatnya perlahan.

Ia menggeliat sedikit, menggumam pelan, suara kecil yang nyaris seperti desah napas. Tapi matanya tidak terbuka. Aku menahan napas, takut membangunkannya, lalu membawanya ke kamar.

Aku menidurkannya di ranjang, menarik selimut hingga ke dadanya. Cahaya dari lampu meja jatuh lembut di wajahnya, menyorot garis hidungnya, dan membuat kulitnya tampak keemasan. ku berdiri beberapa langkah dari tempat tidur, menatapnya diam-diam. Ada rasa aneh di dadaku, sesuatu yang lembut tapi kuat, seperti simpul yang mengikat pelan dari dalam. Ia tampak begitu rapuh, tapi di balik itu, aku tahu ia memiliki kekuatan yang tak pernah ia sadari sendiri.

Seorang gadis yang tumbuh besar tanpa sosok ibu, dengan ayah yang selalu absen, tapi masih bisa mencintai dunia dengan seluruh dirinya. Aku akhirnya mengerti mengapa ia begitu keras pada dirinya sendiri, karena tidak ada yang pernah cukup lembut padanya.

Aku menutup pintu kamar perlahan dan menuju kamar orang tuaku. Kamar itu masih sama seperti terakhir kali kutinggali, rangka ranjang kayu, bau debu dan lavender tua yang tersisa di udara.

Aku duduk di ujung ranjang, menatap foto mereka di atas meja, ayah dengan senyum bahagia, ibu dengan tatapan hangat. Keduanya masih muda dalam bingkai itu, seperti waktu berhenti untuk mereka. Selain hutang yang mereka tinggalkan kepadaku, mereka selalu ada disampingku saat aku tumbuh dewasa. Dan, melihat mereka saling mencintai, bahkan sampai ajal menjemputnya, membuatku ingin merasakan hal yang sama, cinta.

Aku memegang bingkai itu sebentar, membiarkan jari-jariku menyentuh permukaannya. “Mom, Dad,” ucapku pelan, suara hampir tak terdengar di antara dengung malam. “Aku tahu hidupku nggak sempurna seperti yang kalian bayangkan. Tapi malam ini…” Aku menatap ke arah pintu kamar di seberang, membayangkan gadis yang kini tertidur di baliknya. “Sepertinya, aku sudah menemukan wanita yang benar-benar kucintai.”

Aku tersenyum kecil, lalu meletakkan kembali foto itu. Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, keheningan itu terasa menenangkan.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!