NovelToon NovelToon
Kesempatan Kedua Sang Duchess

Kesempatan Kedua Sang Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: KazSil

Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.

Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Dalam Mimpi

Malam itu terasa panjang. Angin berdesir melewati celah jendela, membuat tirai berayun pelan. Di ranjang, tubuh Elena mulai gelisah. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Jangan… jangan sentuh aku…!” gumamnya dalam tidur. Tubuhnya meronta hebat, wajahnya pucat disertai air mata yang mulai mengalir.

Mervyn yang terjaga di kursi langsung kaget. Ia berdiri cepat, mendekat ke sisi ranjang. “Elena… tenang, ini aku,” ucapnya lembut, menggenggam pelan tangan istrinya.

Namun Elena justru makin berontak. Jemarinya menepis, kakinya menendang selimut seolah hendak kabur dari sesuatu. Sorot matanya yang masih terpejam menggambarkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan.

“Elena…” Mervyn mencoba menahan tangannya, suaranya terdengar lirih dan hati-hati. Tapi semakin ia mencoba, Elena semakin histeris. Dalam tidurnya, ia seperti mengira Mervyn adalah para pria mabuk yang hampir menodainya.

Mervyn terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. Ia sadar, kata-kata tak cukup. Maka ia langsung meraih tubuh Elena ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat, seerat mungkin agar tubuh yang gemetar itu merasa aman.

“Elena… sudah cukup, tidak ada yang bisa menyakitimu. Aku di sini,” bisiknya berulang-ulang di telinga istrinya.

Elena mulai menangis dalam tidurnya. Tangisannya pecah, tubuhnya mengejang, lalu perlahan-lahan melemah di pelukan Mervyn. Entah karena lelah atau karena merasa terlindungi, tangis itu akhirnya mereda. Tubuhnya merosot tenang, napasnya kembali stabil.

Mervyn tidak melepaskan pelukan itu sampai ia benar-benar yakin Elena kembali tertidur dengan damai. Ia menatap wajah pucat itu lama sekali, lalu dengan hati-hati membaringkannya kembali.

Malam pun berlanjut. Mervyn tetap duduk di kursi di sisi ranjang, menjaga tanpa terlelap. Namun entah kapan, rasa letih akhirnya merayap. Kepala beratnya bersandar ke sandaran kursi, matanya terpejam, tertidur dalam posisi duduk.

Pagi menyapa dengan sinar lembut matahari. Elena perlahan membuka mata. Pandangannya kabur sesaat, lalu tertuju pada sosok Mervyn yang tertidur di kursi. Tubuh tegap itu condong sedikit ke depan, namun masih tegak.

‘Apakah… dia semalaman di sini?’ pikir Elena. Jantungnya berdegup pelan.

Ia menatap Mervyn lama. Lelaki itu terlihat lelah, bahkan posisi tidurnya pasti membuat tubuhnya sakit. Entah dorongan dari mana, Elena memberanikan diri mengulurkan tangan. Ia menepuk bahunya perlahan.

Mervyn tersentak kecil, matanya terbuka. Begitu melihat Elena sudah bangun, refleks ia mendekat, lalu meletakkan telapak tangannya di dahi istrinya. Gerakannya cepat, alami, tanpa berpikir.

“Kau masih panas?” suaranya terdengar khawatir.

Elena terperangah, wajahnya memerah. Ia buru-buru memalingkan wajah ke samping, tak berani menatap Mervyn.

Mervyn salah mengira. Melihat Elena menjauh, ia menghela napas pelan. Tatapannya meredup. “Maaf….”

Elena membeku. Kata-kata itu menampar hatinya. Padahal bukan karena trauma ia memalingkan wajah melainkan karena wajahnya terasa terlalu panas saat diperlakukan begitu lembut oleh suaminya.

Tok… tok…

“Alwen datang untuk memeriksa,” suara kepala pelayan terdengar dari balik pintu. Ia berdiri bersama Alwen dan seorang pelayan wanita yang membawa baki berisi ramuan serta kain bersih.

“Masuklah,” ucap Mervyn singkat.

Pintu dibuka. Alwen segera melangkah masuk, wajahnya serius. Ia menaruh peralatan di meja kecil dekat ranjang lalu mendekati Elena. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Duchess?” tanyanya lembut.

Elena hanya mengangguk pelan. Ia menurut ketika Alwen meminta tangannya. Dengan rela ia ulurkan pergelangan tangannya untuk diperiksa denyut nadi dan suhu tubuhnya.

Di sisi lain, Mervyn yang berdiri agak jauh tampak menegang. Alisnya berkerut dalam, matanya menyorot tak nyaman. Dalam hatinya, ia kebingungan sekaligus kesal.

‘Mengapa dengan mudah dia mengulurkan tangannya pada Alwen… sedangkan ketika aku menyentuhnya, dia menjauh?’ pikirnya. Tatapannya makin tajam.

Alwen menatap Elena sambil mengangguk kecil. “Anda sedikit demam, Duchess. Tidak tinggi, tapi tubuh Anda masih lemah. Sebaiknya istirahat penuh hari ini.”

Pelayan wanita segera menyodorkan ramuan. Alwen menuangkannya dalam cangkir kecil. “Minumlah ini. Akan membantu menurunkan panas dan menenangkan tubuh Anda.”

Elena meraih cangkir itu dengan hati-hati, lalu meneguknya perlahan. Sesekali ia batuk kecil karena rasa pahitnya. Alwen menepuk pelan punggungnya, menenangkannya.

Mervyn yang melihat itu mengepalkan tangannya diam-diam. Rasa tidak enak merayapi dadanya. Ia masih terjebak dalam salah paham yakin bahwa Elena menghindar darinya karena trauma pria, padahal bukan itu alasannya.

...

Setelah selesai memeriksa Elena, Alwen bersama pelayan wanita itu undur diri, meninggalkan ruangan dengan tenang.

Mervyn menatap Elena sejenak, lalu berkata pelan namun tegas, “Aku pergi bekerja dulu. Istirahatlah.”

Elena mengangguk, tampak ragu, sebelum tiba-tiba bersuara, “Sebentar…”

Langkah Mervyn terhenti. Ia menoleh, menunggu.

“Bisakah aku pergi keluar?” suara Elena terdengar hati-hati, namun ada keteguhan di dalamnya.

Ekspresi Mervyn seketika berubah. Matanya menajam, rahangnya mengeras. “Tidak.” jawabnya singkat, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan.

Elena menggenggam jemari tangannya erat-erat, lalu menatap Mervyn. “Aku hanya ingin mengunjungi toko makanan manis di dekat air mancur tengah kota,” ucapnya, teringat janjinya dengan pria dengan tongkat kayu.

“Hanya karena itu?” Mervyn mendengus pelan, nada suaranya dingin. “Kau bisa menyuruh pelayan membeli apa pun yang kau mau. Tidak ada alasan bagimu untuk keluar.”

Elena memberanikan diri melangkah selangkah lebih dekat. “Aku mohon… hanya sebentar saja.”

Sorot mata Mervyn menajam. Kali ini jawabannya lebih keras, nyaris memutus harapan. “Tidak.”

Tanpa menunggu lagi, ia membalikkan badan dan melangkah keluar, pintu tertutup rapat di belakangnya.

Elena terdiam, jantungnya berdegup resah. ‘Bagaimana ini… bagaimana jika dia menunggu dan mengira aku mempermainkannya?’ pikirnya gelisah.

Benar saja, tak lama kemudian, ia menyadari kamar pribadinya kini dijaga ketat. Pengamanan di seluruh mansion diperketat berkali-kali lipat. Bahkan untuk keluar kamar pun Elena tidak lagi memiliki kebebasan tanpa izin langsung dari Mervyn.

...

Di ruang kerjanya, Mervyn berdiri tegak di depan jendela tinggi, tangan terkunci di belakang punggung. Sorot matanya tajam menatap halaman yang diterpa cahaya redup sore.

Tok… tok…

Suara ketukan pintu terdengar.

“Masuk,” ucap Mervyn dingin tanpa menoleh.

Kepala pelayan melangkah masuk dengan hati-hati, menunduk hormat. “Tuan… saya membawa informasi dari Myra.”

Mervyn perlahan berbalik. Tatapannya menusuk, dingin seperti bilah pedang. “Bicara.”

Dengan suara teratur namun menegang, kepala pelayan menyampaikan ciri-ciri para pria mabuk itu, serta sosok pria asing yang muncul menyelamatkan Elena dan Myra malam itu.

Ruangan hening. Hanya detak jam di dinding yang terdengar. Mervyn terdiam beberapa saat, rahangnya mengeras, sorot matanya menggelap penuh perhitungan.

“Rowen.” Suaranya rendah namun tegas, memanggil orang kepercayaannya.

“Ya, Tuan,” Rowen segera maju selangkah.

Mervyn menatapnya tajam, seperti sedang menurunkan beban besar. “Cari mereka semua. Jangan sisakan satu pun.”

“Baik, Tuan.” Rowen menunduk dalam, nada suaranya penuh kepastian.

Suasana ruangan seketika membeku. Kepala pelayan merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!