Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
percakapan toxic
Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas masuk kamar.
Tas belum sempat kulempar ke sudut ranjang, tanganku sudah lebih dulu meraih ponsel di meja belajar. Dengan jantung berdegup cepat, aku membuka layar pesan.
Dan benar saja masih centang satu.
Reza benar-benar sudah memblokirku.
Seakan seluruh udara dalam kamar mendadak hilang, aku tercekat. Rasanya seperti ditinggalkan di tengah jalan tanpa arah pulang.
Aku terjatuh di atas kasur, memeluk guling seakan itu bisa menenangkan resahku. Air mataku jatuh deras tanpa bisa kucegah.
“Kenapa aku setega ini sama aku, Rez…” gumamku lirih di sela isak tangis.
Aku membenci diriku sendiri karena masih mencintaimu, karena masih menaruh harap meski aku tahu semua ini hanya melukaiku.
Dan bodohnya aku, malah membuka Instagram hanya untuk mencari tahu tentang dirinya.
Tanganku gemetar saat kutemukan fakta pahit itu akun Reza masih aktif, terakhir online lima menit yang lalu.
"Dia benar-benar memblokirku"batinku
Air mataku jatuh lagi, tapi aku tetap melanjutkan pencarianku.
Aku ingin tahu siapa saja yang baru dia ikuti. Dan di sanalah mataku berhenti nama seorang perempuan terpampang jelas. Rara.
Seorang janda, cukup cantik, meski tak secantik Caca. Lebih menyakitkan lagi, bio di profilnya terbuka jelas: open VCS.
Hatiku remuk. Seakan-akan ada pisau yang menusuk berkali-kali di dalam dadaku.
“Apakah dia melakukannya bersama cewek lain? Apakah aku hanya sampah baginya? Gratisan yang tak ada harganya?” tanyaku pada diriku sendiri, tapi tak ada jawaban selain rasa hancur yang semakin dalam.
Aku merasa dunia menertawakan kebodohanku. Aku terlalu cinta hingga rela disakiti, sementara dia mencari pelampiasan lain.
Rasanya seperti ditelanjangi bukan hanya tubuhku yang dipermainkan, tapi harga diriku dirundung hina.
Aku menatap layar, menatap nama-nama yang dia follow, lalu bayangan-bayangan itu merayap masuk: tawa mereka, bisik-bisik kecil di balik layar, dan semua yang pernah dia minta dariku.
Aku tidak rela menjadi pelacurnya. Kata itu menghantam seperti batu; pahit, memalukan, memaksa aku menilai kembali segala pengorbanan yang pernah kuberikan. Lebih menyakitkan lagi melihatnya melakukan semua itu bersama orang lain , bukan dengan sunyi, bukan sekali dua kali, tetapi seolah itu adalah rutinitas yang bahkan tak membuatnya bersalah.
Hatinya yang dingin memahat luka baru di dadaku setiap kali kugulirkan foto dan nama yang ia pamerkan.
Dan anehnya, di tengah kehancuran ini, ada keyakinan yang tak mau mati di dalam diriku.
"ia adalah cinta terakhirku"
Kata itu terasa mustahil, tapi tetap menempel. Aku membayangkan masa depan yang absurd,seorang ayah untuk anak-anakku,dan merasa muak membayangkan orang itu pernah melakukan apa yang kulihat sekarang.
"Aku tak mau pria yang kelak menjadi suamiku, ayah dari anak-anakku, adalah seseorang yang pernah menjadikan wanita lain sebagai pelampiasan."
Rasa cemburu, malu, dan marah bercampur jadi satu. Aku ingin menjerit agar dunia tahu betapa hina rasanya mencintai orang yang salah.
Aku melempar tasku dengan sekuat tenaga. Dentang kerasnya memenuhi kamar, lalu aku memukul kaca cermin,suara pecahnya memekakkan telinga. Pecahan-pecahan kaca beterbangan, menusuk udara, dan satu potong tergores di telapak tanganku. Darah mengalir hangat, menetes ke lantai, namun rasa sakit itu kalah oleh amarah yang membara.
Aku menatap bekas retakan di cermin: bayangan wajahku terfragmentasi menjadi serpihan-serpihan kecil, seperti potongan-potongan harga diri yang diseret jauh. “Reza…” aku mendengus, suaraku serak. “Kau hanya tahu mengambil. Kau tahu bagaimana merusak tanpa menanggung akibatnya.”
Air di mataku dan darah di tanganku bercampur. Sakitnya bukan hanya karena luka fisik,karena luka sekecil itu masih bisa di sembuhnya,namun luka yang menancap di dalam, yang membuat setiap napas terasa seperti dipadatkan.
Dengan suara yang penuh kebencian sekaligus putus asa, aku memanggil namanya dalam kutukan: semoga kehancurannya bergema, bukan hanya untuk dirinya, tapi sampai ke orang-orang yang membiarkannya ibu, adik perempuan, bahkan anak perempuan yang mungkin akan ia miliki kelak. Tabur tuai, pikirku; hukum alam itu nyata.
“Kalian yang pernah menjadi pelampiasan di hidupnya, yang pernah berbagi nafas dengan lelaki itu,rasakanlah panasnya akibat yang ia tanam. Biarlah karma mengusut, dan biarlah penyesalan tumbuh di hati kalian seperti duri yang tak pernah lepas.”ucapku dengan penuh harap.
“Bukan kutukan tujuh turunan yang kuharap cukup agar kebohongan dan patah hati itu kembali padanya, agar kebahagiaan yang kau rampas tak pernah kembali utuh. Biarlah kelak ia tahu bagaimana hampa dan dinginnya cinta yang dipalsukan.”
Malam hari pun tidak,di malam itu kamarku masih terkunci rapat. Didalam gelap, hanya ada aku, lampu redup, dan serpihan kaca yang berserak di lantai pecahan-pecahan cermin yang memantulkan bayangan wajahku menjadi fragmen-fragmen kecil,terpecah-pecah seperti harga diriku.
Aku duduk di antara pecahan itu, lutut menempel dada, napas tercekat. Darah di jariku masih mengering; hangatnya menyisakan rasa nyata di tengah semua khayalanku tentang pengkhianatan. Mataku kosong, tapi di dalamnya badai marah, malu, dan lelah yang tak tertahankan.
Orang mungkin melihatku seperti orang gila: duduk terpaku, tertawa sekali-kali yang terdengar lebih seperti isakan histeris, memegang kepingan kaca seakan itu petak-potongan kenangan yang ingin kusekat kembali.
Namun aku hanya menatap, berbisik pada diri sendiri mulai dari kata-kata yang kasar hingga janji-janji yang membara.
Tibak tibak ponselku bergetar,lalu ku lihat layar ponselku notifikasi dari Reza. Waktu menunjuk 19:57. Jantungku serasa dijepit. Marah dan lelah berkecamuk jadi satu.
Aku buka chatnya, ini percakapan yang kutahu akan datang:
Reza: p
Rasanya seperti garuk lama yang sengaja diulangi. Tanpa pikir panjang aku membalas dengan amarah yang membara:
Aku: Ngapa? Katanya mau blok
Aku: Yaudah blok
Beberapa detik kemudian balasan singkat itu datang, dingin dan enteng:
Reza: ngga
Kemarahan itu meledak lagi di dadaku. Aku menatap layar, napas berat. Selama ini aku sudah diberi janji-janji kosong, diomongin seenaknya, diperlakukan seperti mainan. Dia datang, mengacaukan lagi malamku hanya dengan satu huruf“p”seperti menyalakan luka lama.
Aku menatap layar ponselku dengan tangan bergetar. Aku yakin benar, Reza nge-chat aku lagi bukan karena kangen, apalagi sayang. Entah karena dia gak mampu nyewa cewek atau lagi berantem sama pacarnya di Lampung sana.
Dengan getir aku ketik pesan:
Aku: Berantem y bang sama cewek Lo?
Aku: Knp, di selingkuhin kah?
Aku: Karma sih karma
Balasannya datang cepat, kasar seperti biasa:
Reza: Ngomong apa sih kontol
Reza: Ga jls amat
Mataku panas, dada serasa dihantam. Kata-katanya benar-benar menusuk. Aku tersenyum miris, lalu berbisik pada diriku sendiri,
"Tertampar kenyataan y bang mungkin iya, tapi gua yang paling keras tertampar. Karena gua masih aja berharap sama orang kayak lo."
Air mataku jatuh lagi, menodai layar yang masih menyala. Aku sadar, aku bukan lagi gadis yang diperlakukan seperti manusia. Aku hanya jadi pelampiasan gratisan.
Aku pun mengetik.
Aku:Jujur aja ngapa
aku:Lo emng di selingkuhin kan sama cewek lo
aku:Sabar ya
Reza membalas dengan nada dingin dan seakan merendahkan, membuat hatiku makin panas:
Reza: Jujur apa sih kontol? Apa yg dijujurin ga jelas, tolol.
Aku tersentak. Tolol? Setelah semua pengorbanan yang aku lakukan untuknya? Tapi aku sadar, memang benar aku tolol masih bisa mencintai cowok mokondo seperti dia, yang sama sekali tak pernah memberiku apa pun, tidak cinta tulus, tidak perhatian, bahkan uang, pulsa atau sepersen pun pengorbanan tak pernah ia keluarkan.
Namun bodohnya aku masih bisa jatuh cinta sama cowok yang tak pernah menganggapku berharga. Kata-katanya menusuk, tapi aku tak bisa berhenti merasakan sakitnya. Aku menatap layar ponsel, napasku tercekat, sementara hatiku hancur berkeping-keping.
Aku pun menatap layar ponsel, dada sesak, dan hatiku terasa panas. Kata-kata Reza begitu menusuk, membuat semua pengorbananku terasa sia-sia. Aku mengetik dengan emosi, suaraku bergetar meski hanya di layar ponsel:
Aku: Jangan marah-marah, asu,Disakitin orang malah marah-marah ke aing. Waktu lagi bahagia kan lo sama dia.
Balasan darinya muncul cepat, dingin dan penuh sinis, seakan ia adalah penguasa hidupku:
Reza: Lah tolol, siapa yg disakitin? Tolol, tolol, ga jelas!
Aku menatap kata-kata itu dengan perasaan hancur. Semua yang aku lakukan setiap pengorbanan, setiap rasa sakit yang aku tahan ternyata dianggapnya sebagai kebodohan. Aku sadar, cintaku padanya tak pernah dihargai; aku hanyalah korban dari sikapnya yang egois dan toksik.
Aku menatap layar ponsel sambil menahan amarah dan rasa sakit yang membara. Jari-jariku gemetar ketika mengetik balasan:
Aku: Terus lo kenapa kayak orang depresi?
Beberapa detik kemudian balasannya muncul, dingin dan menusuk:
Reza: Siapa yg depresi, tolol.
Aku hanya bisa bergumam sambil tertawa getir, pahit, dan sinis:
“Pasti lo gak punya duit, kan? Gara-gara gak bisa nyewa cewek,dan aku gak bisa lo permainkan lagi secara gratisan.”
Aku pun menatap layar ponsel dengan napas tersengal, hatiku campur aduk antara marah dan sakit. Jari-jariku mengetik balasan sambil menggigit bibir:
Aku: O yaudah kontol, jngn marah² ke gua taek.
Tak lama kemudian balasannya muncul, seakan ingin menegaskan dominasinya:
Reza: Lain klo ga usah nnya² pertanyaan yg ga masuk akal, tolol.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan emosi dan menulis kembali dengan nada getir:
Aku: Oh yaudah tolol, gua g akan nanya lagi kok, tolol.
Dan lagi, balasannya singkat tapi menusuk:
Reza: Nah gitu ge kontol, pertanyaan ga jls di tanya-tanya.
Aku menunduk, merasa seperti kata-kataku dipermainkan, tapi juga tersadar aku tidak boleh lagi membiarkan diri terjerat dalam siklus sakit hati ini.
“Aku harus membereskannya hari ini, malam ini sampai aku benar-benar ikhlas.”
Aku menutup mata sejenak, membiarkan kesedihan dan kemarahan bercampur, lalu menarik napas panjang. Malam ini bukan sekadar tentang Reza, tapi tentang aku sendiri tentang harga diriku, tentang perasaanku, dan tentang keputusan untuk berhenti menjadi korban rasa sakit yang tak pernah berakhir.
Aku pun menatap layar ponsel, dada terasa sesak, dan rasa marah bercampur kecewa meledak di hatiku. Aku mengetik dengan penuh emosi, menumpahkan semua yang tertahan:
“Yaudah… Lo knp sih kasar ke gua? Gua salah apa sama Lo? Lo sebenci itukah sama gua?
Gua kurang apa? Apa gua harus secantik di dunia biar Lo hargai? Mau seberat apapun luka yang Lo tuai, tidak akan bisa…”
Hanya satu menit kemudian, balasan dari Reza muncul, singkat tapi menusuk:
“Lu ga layanin gua, makanya salah. Makanya gausah nnya² ga jls.”
Aku menunduk, air mata jatuh tanpa henti, hatiku terasa hampa. Dengan suara bergetar, aku mengetik balasan terakhirku:
“Lo anggap gua manusia atau apa sih?”
Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi, balasannya singkat dan dingin:
“Udh, ga mau nih.”
Aku pun bergumam pelan, rasa sakit bercampur marah.
“Enak aja tubuhku yang masih perawan ini, dia jadikan gratisan. Janda seperti Rara aja dibayar. Masa aku hanya modal panggilan sayang doang, tanpa cinta yang nyata?”
Aku menatap langit-langit kamar, seolah ingin menjerit ke semesta. Semua luka ini terasa begitu nyata, dan di titik ini aku benar-benar merasa dikhianati oleh cinta yang selama ini kusebut milikku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi hati ini tetap terasa panas. Dengan air mata yang menetes, aku mengetik balasan:
“Buat apa? Apakah anda akan mencintai saya? Tidak akan. Anda hanya akan mencintai wanita lain. Saya ingin melupakan anda.”
Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi, balasannya singkat dan dingin:
“Ga mau lagi nih?”
Aku menatap layar dengan perasaan campur aduk marah, sakit, dan bingung.
"Apa dia gak ngerti perasaanku, atau memang benar selama ini Reza gak pernah mencintaiku?" gumamku dalam hati.
Hati ini terasa hancur, seolah semua pengorbanan, semua cinta yang kuberikan, hanyalah angin lalu baginya.
Aku menatap layar ponsel dengan mata yang mulai panas, mengetik balasan dengan nada getir:
“Hahahaha, keliatan banget Lo cuman manfaatin gua.”
Beberapa detik kemudian, balasan Reza muncul:
“Lupa sama omongan sendiri? Lu yg bilang bakal layanin gua trus, kanapa ngomong manfaatin, dari mana manfaatin nya.”
Aku menarik napas panjang, bergumam sendiri:
" Kapan aku janji begitu? Aku hanya berjanji akan mencintai dia sampai akhir hayatku, akan mengabadikannya dalam sastra, tapi kenapa dia malah nagih janji aneh-aneh?"
Rasa frustrasi dan kecewa membuncah dalam dada, membuatku merasa semakin tak berdaya menghadapi Reza yang seolah tak pernah menghargai perasaanku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengetik balasan dengan hati yang campur aduk:
“Oke, gua bakal layanin ko lagi, tapi asal Lo jawab pertanyaan gua dengan jujur. Gua nggak bakal sakit hati kok.”
Beberapa detik kemudian, Reza membalas dengan singkat:
“Jawab apaan?”
Hatiku berdebar, aku memberanikan diri mengetik pertanyaan yang sudah lama ingin kuungkapkan:
“Lo nggak pernah cinta sama gue kan selama ini?”
Rasa takut, penasaran, dan kecewa bercampur aduk. Aku menunggu jawabannya dengan hati yang seakan digelayuti awan gelap.