Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Delapan
Arkan berjalan keluar dari ruangan sang ayah dengan kaku. Berhenti sejenak saat pintu ruang presdir itu sudah tertutup, berbalik dan menatap nanar ruangan itu. Kemudian ia kembali berjalan menuju lift menuju lantai tempatnya bekerja.
Saat ia masuk kedalam lift, tidak ada siapapun dan Arkan bersyukur karena itu. Setidaknya ia bisa sendiri untuk sejenak. Pikirannya sejak ruwet, kacau dan tak terarah. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan dan hal itu membuatnya jadi susah sekali tidur akhir-akhir ini.
Ngomong-ngomong, sejak kejadian mereka melakukannya hari itu. Ia belum bertemu Elira lagi. Ini sudah 5 hari dan Arkan tak bisa berhenti memikirkan Elira.
Elira bilang sih dia sedang sibuk pemotretan, tapi setiap kali dihubungi ia akan memberikan banyak alasan agar panggilannya diakhiri cepat.
Gadis itu seperti sedang menjaga jarak dengan dirinya.
Entah itu hanya perasaannya saja atau tidak.
Arkan bahkan pernah nekat menghubungi Farhan hanya untuk memastikan apakah Elira membohonginya atau tidak.
Dan jawaban sang pengawal pun sama seperti yang Elira katakan.
Tapi tetap saja.. Ada yang terasa janggal disini.
Ponsel Arkan memecah keheningan lift, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka tepat dilantai 16. Ia berjalan keluar sembari mengangkat panggilannya.
Dari Arfan.
"Kak?"
"Bagaimana? Kau sudah bicara dengan Ayah?"
"Hm.. Tapi—"
"Tidak apa-apa. Aku dan Emi akan baik-baik saja. Tidak perlu cemaskan kami.."
"Bagaimana kalau Ayah serius, kak?"
"Hey.. Aku tetap puteranya. Aku yakin ayah takkan sekejam itu.."
"Aku hanya—"
"Sudah.. Jangan pikirkan itu. Pokoknya perjuangkan saja Elira. Aku akan mendukungmu.. Begitu juga istriku.."
"Iyaa.. Pokoknya kau harus menikah dengan Lira oke ? Dia itu lucu sekali tau~" Tiba-tiba saja suara Emi terdengar.
"Ya ampun sayang.. Pelan-pelan.. Ingat perutmu.." Peringat Arfan dari seberang sana pada istrinya.
Hal itu membuat Arkan tersenyum tanpa sadar. Arfan sudah banyak menderita karena dirinya, dan kini ia sudah bahagia bersama cintanya, Emi. Tak lama lagi kebahagiaan itu akan semakin menjadi-jadi ketika bayi mereka lahir nanti.
"Bagaimana keponakanku, kak? Apa sehat?" Tanya Arkan.
Derai tawa Arfan terdengar, "Ya.. Sehat sekali. Setiap pagi dia akan menendang kuat sekali hingga istriku meringis."
"Sepertinya dia akan sepertimu, kak," Ledek Arkan.
"Tentu saja. Kan aku yang menghamili istriku.. Kkkk~" Kekehnya diikuti ringisan karena mendapat cubitan gemas dari Emi.
"Aku tak sabar menantikan sikecil.."
"Begitupun kami..meski baru akan beberapa bulan lagi tapi kamarnya sudah kami dekorasi bahkan sudah lengkap semua peralatan bayinya. Rasanya seperti besok saja akan lahiran.. Hahahahhaa.."
Arkan berhenti ketika sudah berada didepan pintu ruangan kerjanya.
"Ya sudah, Nanti aku akan berkunjung. Aku harus kembali bekerja."
"Baiklah.. Datang lah kapanpun kau suka, tapi jangan sekarang. Kami akan berkencan."
Arkan mendengus tapi ia tersenyum tipis. "Iya, kak."
Arfan memutuskan sambungannya setelah itu. Kemudian Arkan menyimpan ponselnya kembali dan masuk kedalam ruangan bagian administrasi.
Saat masuk, disana bisa ia lihat Ayana yang sedang sibuk bekerja. Kakinya melangkah kearah wanita cantik itu dengan pasti, menarik kursi sebelah yang kosong dan terduduk disampingnya.
Ayana yang merasa ada seseorang disebelahnya pun menoleh, menatap Arkan heran dan melepas kacamata kecilnya.
"Apa?"
"Kak, Apa menurutmu Elira menghundariku?"
Sebelah alis gadis itu terangkat, "Maksudmu?"
"Sudah hampir seminggu ini, ia menolak bertemu denganku dengan alasan sibuk," akunya dengan helaan nafas.
"Kalau dia bilang sedang sibuk. Maka memang begitu adanya."
"Tapi, Ini aneh. Tidak biasanya dia begitu. Seperti ada yang disembunyikan dariku.." Protes Arkan.
"Bagaimana denganmu?" Pertanyaan Ayana telak membungkam Arkan. Ia menatap tepat dimata pria itu dengan tatapan menuntut.
"Aku.. Kenapa?"
Ayana menghela nafas," Bagaimana denganmu, Arkan? Apa kau menyembunyikan sesuatu dari Elira juga?"
Hanya karena ucapan Ayana saja, bibir Arkan jadi terasa kelu sekali. Faktanya, dirinyalah yang menyembunyikan sesuatu dari Elira.
Bahwa ayahnya membatalkan pernikahan mereka dengan alasan yang paling Arkan benci. Tapi ia tak bermaksud menyembunyikannya, Arkan hanya tak ingin Elira terluka maka ia mencoba menyelesaikannya sendiri.
Lama tak ada jawaban, Ayana hanya kembali menghembuskan nafasnya dan memakai kacamatanya lagi lalu kembali fokus pada kerjaannya.
Setelahnya Arkan bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan menuju mejanya sendiri. Terduduk bagai orang linglung disitu.
Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Elira.
Called Eliraku ❤❤..
Tapi hingga dering terakhir Elira tak mengangkat panggilannya sama sekali.
Jadinya ia membuka aplikasi Chatting dan mengirimnya pesan saja.
Eliraku ❤❤
Aku rindu, sayang.. Ayo bertemu.. Kumohon~
Sent
Ia menunggu lama tapi tak juga ada respon, Arkan semakin yakin Elira tengah menghindarinya.
Tapi kenapa?
Padahal ia sedang berjuang mempertahankan hubungan mereka. Kenapa Elira malah bersikap seperti ini l?
Tida bisa begini.
Ia akan melakukan sesuatu.
Jika ini satu-satunya cara, maka tak ada pilihan lain.
Arkan meraih mantel dan kunci mobilnya lalu berlari keluar ruangan begitu saja. Mengabaikan tatapan Ayana yang menatapnya tak mengerti.
Gadis itu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Hey..ini aku..Elira, kau yakin soal ini? Apa kau yakin akan melakukannya? Pikirkan lagi.. Aku tak mau kau menyesal nantinya."
"— iya."
"Baiklah.. Aku mendukungmu saja."
"Terimakasih, kak."
Tutt..
***
Emi cemberut tapi ia tetap membiarkan Arfan mengecupi punggung tangannya meski matanya tetap fokus dijalan.
"Kenapa tidak jalan saja, sih?" Ia masih memprotes keputusan Arfan yang menolak keinginannya untuk berjalan kaki.
Arfan tersenyum lembut, "Kau ingat kata Dokter? Kehamilanmu itu rentan, kau tak boleh kelelahan sama sekali karena berbahaya bagi bayi kita. Aku tak mau terjadi apapun padamu dan calon anak kita, sayang."
"Tapi tetap saja~akan lebih baik kalau berjalan kaki~"
"Ya ampun~lain kali saja, hmm~? Aku janji~"
"Janji?"
"Iya.. Janji.."
Wanita cantik itu tersenyum tapi ia merasa ada yang tidak beres dengan kecepatan mobil mereka. Bahkan Arfan pun terlihat kaget sekali.
"Sayang, Pelankan mobilnya.Terlalu cepat."
Arfan panik ketika ia menginjak rem mobil tapi kecepatan mobil mereka tidak menurun sama sekali. Bahkan semakin melaju dan membuat Emi ketakutan setengah mati.
"Ti-tidak bisa! Remnya blong!"
"Arfan!" Emi menjerit ketakutan bahkan sudah menangis sembari memegang perutnya.
Pria berdimple itu meremat setir mobil kuat, menatap Sang Istri yang sudah menangis sambil menjerit ketakutan. Tapi ia tak bisa melakukan apapun karena dirinya pun tengah ketakutan saat ini.
Perlahan air matanya jatuh begitu saja, ia meraih tangan Emi dan mengecupnya lembut.
"Maaf sayang.. Maafkan aku," ucapnya lalu membanting setir kekiri tepat dibahu jalan dan..
BRAAKK!
Mobil range hitamnya itu menabrak pembatas jalan cukup kuat sekali. Bagian depan mobilnya hancur dan mulai mengeluarkan api.
Arfan terluka parah begitupun istrinya. Tapi kepalanya berkunang-kunang dan sakit sekali tangan dan kakinya. Bisa ia rasakan darah yang merembes dikepalanya. Ia menoleh kearah Emi dan mendapati sang istri dalam keadaan tak sadarkan diri dengan keadaan parah.
"To-tolong... Siapapun.. Tolong selamatkan istriku. Emi, Kumohon sadar sayang. Emilia! Kumohon..siapapun.. SIAPAPUN TOLONG KELUARKAN ISTRIKU!"
***
"Ayah.. Aku akan tetap menikahi Elira!" Tegas Arkan.
Tuan Harsa menatap Arkan dengan senyuman tipis, bersandar dikursi kebesarannya santai sekali dengan kedua tangan yang ia tangkupkan.
"Jadi.. Kau lebih memilih gadis itu ketimbang Arfan?"
Arkan mengepal kedua tangannya erat, "Ayah! Kumohon! Jangan lakukan ini padaku! Aku mencintai Elira! Aku menyayangi Kak Arfan!"
"Maka pilihlah salah satu."
"AYAH TOLONG! Kak Arfan juga puteramu. Kenapa memperlakukannya begini?!."
"Aku tidak butuh dua putera jika salah satunya cacat."
Arkan menatap sang ayah tak percaya. Masih tak mengerti kenapa sang Ayah tega melakukan ini pada mereka?
Kenapa ayah mereka sekejam itu?
Jadi ia menatap telak dimata sang ayah, "Aku takkan berubah pikiran. Aku tetap memilih Elira.." Tegasnya lalu berjalan keluar begitu saja tanpa memperdulikan sang ayah.
Tuan Harsa hanya tersenyum tipis dan menyenderkan punggung tuanya disandaran kursinya.
"Ternyata dia sudah dewasa, tapi tetap saja. Pilihan yang gegabah," Kekehnya lalu mengambil ponselnya menghubungi seseorang.
"Lakukan," Titahnya lalu menutup panggilan begitu saja.
***
Tuan Harsa menatap jalanan kota Jakarta dengan ponsel ditelinganya. Berdiri dengan gaya angkuh dan senyuman miring diwajahnya.
"Kerja bagus," Katanya dan mematikan sambungannya. Memasukkan kembali ponsel kedalam sakunya masih terus menatap mobil-mobil yang berlalu lalang.
"Nah.. Sekarang kita lihat.. Apa yang akan kau lakukan, Arkan."