NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:526
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tolong Buka!

Dion menahan napas, menempelkan tubuhnya pada pintu kamar yang lembap dan gelap. Melalui celah sempit, ia menyaksikan pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Di antara mereka, tertanam di dinding semen yang telah terbuka sebagian, tampak tubuh seorang wanita yang membeku dalam keheningan, menghadap jauh dari mereka.

Tanpa membuang waktu, Dion merogoh saku celana dan meraih ponselnya. Tangannya bergetar ketika ia mengetik pesan singkat kepada Julian, “Telepon polisi sekarang!”

Koridor dipenuhi kegelapan, cahaya sama sekali tidak menembus ke tangga, dan pintu tebal menjadi penghalang antara dirinya dan orang-orang itu. Mereka tidak menyadari keberadaan Dion, dan ia pun tidak punya kesempatan untuk memikirkan hal lain. Napasnya semakin tertahan, matanya tidak berani berkedip sedikit pun.

’Tubuh itu... mereka berusaha mengeluarkannya dari dinding,’ pikirnya dalam hati. Dion tidak berani bergerak, posisi ini terlalu berbahaya, hanya beberapa langkah saja yang memisahkannya dari kelompok itu. Mereka akan melihatnya, jika berbalik untuk berjalan ke kamar tempat ia bersembunyi.

“Apakah kamu sedang bermain-main di pasir pantai? Gunakan kekuatanmu!” suara pemilik penginapan terdengar kasar, diiringi gerutuan pelan. Ia meletakkan karung goni yang terbuka di lantai, lalu berjongkok untuk membersihkan sisa semen yang menempel pada tubuh tersebut. Gerakan mereka begitu hati-hati, nyaris tanpa suara, seolah khawatir membangunkan penghuni lain.

Dinding itu dibuka paksa, dan debu semen berjatuhan memenuhi udara. Setiap orang bekerja dalam diam, peluh membasahi pelipis mereka. Tidak jelas apakah itu keringat karena kerja keras, atau gugup menghadapi sesuatu yang mengerikan. Ini jelas bukan pekerjaan yang pernah dilakukan sebelumnya, gerakan mereka canggung dan penuh keraguan, membuat pekerjaan berjalan lambat.

Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka akhirnya berhasil mengeluarkan tubuh itu dari dinding. Tubuh yang kaku dan pucat itu diletakkan ke dalam karung goni, seakan hanya benda mati tanpa arti.

“Gembul, kamu tetap di sini dan bersihkan kekacauan ini. Sisanya ikut aku, kita bawa ini ke bukit dan kubur sekarang juga,” perintah pemilik penginapan sambil menyerahkan palu besi ke pria gemuk itu.

“Aku ikut denganmu!” pria gemuk itu bersuara panik. Seluruh otot tubuhnya menegang, napasnya berat. Ia tidak sanggup membayangkan sendirian dalam kegelapan dengan pemandangan menyeramkan ini.

“Bisakah kamu sedikit lebih jantan?” balas pemilik penginapan tajam, lalu menoleh pada satu-satunya wanita di kelompok itu. “Kalau begitu, Juwita yang tinggal di sini menemaninya, kami akan menunggu kalian di bukit.”

Setelah itu, ia mengangkat karung goni bersama pria bertato, lalu melangkah menuju tangga. Langkah kaki mereka terdengar bergantian berat dan ringan karena pincangnya. Ketika mereka melewati kamar tempat Dion bersembunyi, tiba-tiba langkah itu terhenti.

“Mengapa ada begitu banyak kapas di lantai?” suara pemilik penginapan memecah keheningan.

Dada Dion serasa diremas, lupa tentang kapas dan potongan kertas yang jatuh ketika merobek boneka-boneka tadi. Dalam gelap, ia tidak menyadarinya, dan sekarang segalanya sudah terlambat untuk diperbaiki.

“Itu hanya sampah, kita urus nanti saja, karena ini lebih penting,” desis pria bertato di belakang, mendesak agar mereka melanjutkan. Pemilik penginapan mengangguk pelan, dan keduanya kembali berjalan menuruni tangga.

“Gembul, jangan diam saja. Bersihkan sekarang,” ujar Juwita dingin. Bersama-sama, mereka mulai mengumpulkan sampah dan menghapus noda darah yang menempel di alat-alat. Beberapa menit kemudian, keduanya juga ikut turun, menyeret karung goni besar yang menimbulkan suara seret mengerikan di lantai.

Langkah kaki mereka menjauh, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya. Barulah lantai tiga kembali tenggelam dalam kesunyian. Dion menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup tidak terkendali. Ia menunggu tiga menit lagi, memastikan tidak ada seorang pun yang kembali.

’Sial! Itu sangat menakutkan.’

Dengan langkah pelan, ia keluar dari persembunyian. Koridor tampak gelap dan kosong. Ia bergerak dengan hati-hati, berjinjit tanpa menghidupkan ponselnya. Tangannya meraba dinding, mencari jalan keluar dalam gulita.

’Orang-orang itu… memang bukan orang baik, tapi sepertinya mayat itu bukan korban mereka,’ pikir Dion sambil melangkah. Jika dipikirkan, mereka hanya orang-orang sial yang merebut properti lansia, lalu terjebak dengan mayat yang tertanam di dalam dinding. Pilihan normal bagi orang kebanyakan adalah menelepon polisi, tetapi mereka tidak berani. Setiap orang dalam kelompok itu punya kejahatan masing-masing, sehingga mereka memilih menutup mata dan ikut menyingkirkan bukti.

’Tidak heran pemilik penginapan itu mengingatkanku berkali-kali untuk tidak berkeliaran di sekitar gedung setelah gelap.’

Ketika mata Dion mulai terbiasa dengan kegelapan, langkahnya menjadi lebih cepat. Ia hanya ingin segera keluar dari tempat ini, bahkan ranselnya ditinggalkan. Keselamatan jauh lebih penting, ia lalu menuruni tangga menuju lantai satu.

’Sial!’

Pintu depan terkunci, Itu berarti ia terjebak di dalam gedung.

’Orang-orang itu bahkan masih sempat mengunci pintu sebelum keluar untuk mengubur mayat?’ Ketakutan menyelimuti hati Dion. ’Jendela-jendela di lantai satu dipasangi jeruji besi anti-maling, sementara yang di lantai tiga ditutup rapat dengan papan kayu. Dengan demikian, satu-satunya jalan keluar hanyalah melalui jendela di lantai dua.’

Semakin lama ia bertahan di dalam apartemen itu, semakin kuat rasa cemas yang mengguncang dadanya. Dion mencengkeram palu yang dibawa ketika kembali ke lantai dua, koridor di depannya tampak mencekam dalam gelap, seperti mulut monster yang siap menelan mangsanya.

’Ini terlalu sunyi.’ Kamar Dion berada di sebelah kamar pemilik penginapan, di ujung koridor. Seluruh tubuhnya tegang, ia takut salah satu pintu kamar tiba-tiba terbuka. Menahan napas, Dion bergerak perlahan, merayap tanpa suara melewati koridor gelap menuju kamarnya.

Untunglah, sejauh ini tidak ada kejutan. ’Jika aku mengikat seprai bersama-sama, panjangnya mungkin cukup untukku memanjat keluar jendela dan turun ke lantai dasar,’ pikirnya. Ia merogoh saku, menemukan kuncinya, lalu menyalakan senter ponsel untuk menerangi lubang kunci. Namun saat hendak menempelkan kunci, tangannya mendadak membeku.

’Di mana rambut yang kutempelkan di lubang kunci?’

Darahnya serasa berhenti mengalir, dan bulu kuduknya berdiri. Ketakutan menyergap dari segala arah, membuat anggota tubuhnya membeku kaku.

’Seseorang telah masuk ke kamarku! Mereka tahu aku tidak ada di kamar.’

Napas Dion mulai memburu, merasa seolah ada bongkahan es menusuk paru-parunya. ’Kapan mereka masuk? Setelah menggali mayat? Atau ketika mereka melihat kapas di lantai?’ Jawabannya sebenarnya tidak penting, yang jelas mereka sudah mengetahui keberadaannya.

Dion melangkah mundur perlahan, mencoba menenangkan diri sambil terus menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. ’Aku tidak boleh masuk ke dalam kamar, mereka mungkin menunggu di dalam untuk menyergapku!’

Ketegangan itu tidak membuatnya panik lama, berkat keberaniannya dengan cepat menyesuaikan diri. ’Aku harus keluar secepat mungkin, atau ini akan berakhir dengan kematianku.’

Tanpa membuat suara sekecil apa pun, Dion mundur lebih jauh ke arah sudut paling kanan koridor. Itu adalah titik terjauh dari kamar, ia tahu benar selain jendela di lantai dua, tidak ada lagi jalan keluar dari apartemen ini.

’Penghuni-penghuni ini jauh lebih berbahaya daripada perkiraanku. Apakah aku bisa bertahan malam ini atau tidak, semuanya bergantung pada taruhan ini.’ Dion menggertakkan giginya, mengangkat palu, lalu menghantam kunci pintu kamar paling ujung dengan keras.

Keheningan aneh Apartemen Seroja mendadak porak-poranda dalam ketegangan yang mencekam. Adimas membanting kunci itu dengan putus asa, seolah-olah kewarasannya telah runtuh. Dari balik lorong, suara gaduh kian mendekat, dan dari arah itu muncullah sosok-sosok yang paling tidak ingin ia temui.

Pintu kamar 208, kamar yang disewa Dion terbuka dengan paksa. Dari dalamnya, pemilik penginapan bersama seorang pria bertato keluar tergesa, masing-masing menggenggam palu besi dan sebilah golok. Tatapan mereka penuh kebencian, langkahnya agresif, lalu mereka serentak menyerbu ke arah Dion dengan wajah yang menakutkan!

“Tolong buka!” seru Dion, hampir kehilangan kendali.

Kunci yang dipelintir dengan paksa akhirnya patah di bawah tekanan. Tanpa berpikir panjang, Dion menghentakkan kakinya keras-keras hingga pintu kamar terbuka lebar!

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!